Perubahan iklim di Jepang

Perubahan iklim di Jepang sedang ditangani di tingkat pemerintahan. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengusulkan dua hipotetis skenario masa depan. Salah satunya adalah Skenario "A1B" berdasarkan asumsi bahwa dunia masa depan akan memiliki pertumbuhan ekonomi global yang lebih banyak (dengan konsentrasi karbon dioksida 720ppm pada tahun 2100). Skenario lainnya yaitu "B1" berdasarkan asumsi bahwa dunia masa depan akan memiliki ekonomi hijau global (dengan konsentrasi karbon dioksida mencapai 550ppm pada tahun 2100).

Perhitungan Simulator Bumi, mengungkap kenaikan suhu rata-rata di Jepang selama periode 2071 hingga 2100. Suhu meningkat sebesar 3,0 °C pada Skenario B1 dan 4.2 °C di skenario A1B, dibandingkan dengan tahun 1971 hingga 2000. Demikian pula, suhu maksimum harian di Jepang meningkat sebesar 3,1 °C pada skenario B1 dan 4,4 °C pada skenario A1B. Curah hujan di musim panas di Jepang meningkat stabil akibat pemanasan global (dengan curah hujan rata-rata tahunan meningkat sebesar 17% pada skenario B1 dan 19% pada skenario A1B selama periode 2071 hingga 2100 dibandingkan dengan tahun 1971 hingga 2000).[1]

Saat ini, Jepang adalah pemimpin dunia dalam pengembangan teknologi baru ramah iklim.[2] Honda dan kendaraan listrik hibrida Toyota disebuut sebagai kendaraan yang memiliki efisiensi bahan bakar tertinggi dengan emisi terendah.[3] Ekonomi bahan bakar dan penurunan emisi disebabkan oleh teknologi maju dengan sistem hibrida, biofuel, dan penggunaan bahan yang ringan dengan rekayasa yang lebih baik.

Sebagai penandatangan Protokol Kyoto, dan penyelenggaraan konferensi 1997 yang membentuknya; Jepang berada di bawah kewajiban perjanjian pengurangan emisi karbon dioksida yang mengambil langkah-langkah yang berkaitan dengan pengendalian perubahan iklim. Kampanye Cool Biz yang diperkenalkan di bawah mantan Perdana Menteri Junichiro Koizumi ditargetkan dapat mengurangi penggunaan energi melalui pengurangan penggunaan AC di kantor pemerintah.

Ibu kota Jepang, Tokyo, bersiap menekan industri supaya membantu dalam pengurangan besar-besaran gas rumah kaca, serta memimpin negara lain untuk berjuang memenuhi kewajiban Protokol Kyoto. Gubernur Tokyo, Shintaro Ishihara, secara terbuka memutuskan untuk melakukannya sendiri dan menciptakan sistem tutup emisi pertama di Jepang. Kebijakannya mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 25 persen pada tahun 2020 dari level tahun 2000.[4]

Pada tanggal 25 Juni 2008, Majelis Metropolitan Tokyo menyetujui peraturan program pengurangan emisi karbon dioksida mulai tahun 2010. Sekitar 1.300 kantor besar dan pabrik di Tokyo yang mengkonsumsi tenaga listrik yang setara dengan 1.500 kilo liter minyak bumi di setiap tahunnya; harus mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 15-20% dari volume rata-rata, dalam tiga tahun terakhir sebelum peraturan ini. Bahkan dengan sistem perdagangan emisi atau pendekatan 'cap and trade', target pengurangan emisi tidak tercapai pada tahun 2020, sehingga harus mengalami hukuman dengan membayar denda sebesar 500.000 yen. Kebijakan denda ini adalah kebijakan pertama yang diterapkan di Jepang.

Rencana Pencapaian Target Protokol Kyoto

sunting

Jepang menciptakan Rencana Pencapaian Target Protokol Kyoto dalam menyusun langkah-langkah yang diperlukan; untuk memenuhi komitmen pengurangan sebesar 6% di bawah Protokol Kyoto. Hal ini pertama kali ditetapkan sebagai hasil evaluasi Program Kebijakan Perubahan Iklim yang dilakukan pada tahun 2004.

Cabang utama dari rencana tersebut adalah memastikan pencapaian di bidang lingkungan dan ekonomi, mempromosikan teknologi, meningkatkan kesadaran masyarakat, memanfaatkan langkah-langkah kebijakan, dan memastikan kolaborasi di tingkat Internasional.[5]

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting