Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok

artikel daftar Wikimedia

Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok adalah perjanjian bilateral antara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia tentang kewarganegaraan ganda warga Tionghoa Indonesia. Perjanjian ini ditandatangani oleh Zhou Enlai, Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Tiongkok, dan Sunario, Menteri Luar Negeri Indonesia, pada tanggal 22 April 1955 semasa Konferensi Asia–Afrika di Bandung. Pasca ratifikasi oleh kedua belah pihak, perjanjian ini diberlakukan tanggal 20 Januari 1960 setelah bertukar dokumen ratifikasi di Beijing.

Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok
Zhou Enlai (berdiri, kedua dari kiri) dan Sunario (duduk, kanan) bertemu di Konferensi Asia–Afrika 1955.
Ditandatangani22 April 1955 (1955-04-22)
LokasiBandung, Indonesia
Efektif20 Januari 1960
SyaratPertukaran dokumen ratifikasi di Beijing
Habis tempo20 Januari 1980
Penanda tanganZhou Enlai (Tiongkok) dan Sunario (Indonesia)
PihakRepublik Rakyat Tiongkok dan Indonesia
BahasaTionghoa dan Indonesia
Persetujuan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwikewarganegaraan di Wikisource

Nama resmi perjanjian ini adalah Persetujuan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwi Kewarganegaraan (Hanzi: 中华人民共和国和印度尼西亚共和国关于双重国籍问题的条约).

Latar belakang sunting

 
Seorang konsul Tiongkok mengunjungi konstituennya di Makassar, Sulawesi Selatan.

Sensus lengkap terakhir Hindia Belanda diadakan tahun 1930 dan menyebutkan bahwa 1.233.000 warga Tionghoa menetap di koloni tersebut.[1] Dari jumlah tersebut, dua per tiga di antaranya lahir di dalam negeri, sedangkan sisanya imigran baru dari Tiongkok. Di bawah Undang-Undang Kewarganegaraan Belanda 1910, warga Tionghoa yang lahir dari orang tua yang berdomisili di dalam negeri tergolong penduduk Belanda meski bukan warga negara Belanda. Hukum tersebut mengikuti prinsip jus soli, atau hak tanah air.[2] Selain itu, pada tanggal 28 Maret 1909, pemerintahan Manchu pada era Dinasti Qing menetapkan hukum kewarganegaraan yang mengakui "setiap anak berbapak atau beribu Tionghoa secara legal atau tidak legal di manapun tempat lahirnya" sebagai warga negara Tiongkok menurut prinsip jus sanguinis, atau hak keturunan. Prinsip ini sebelumnya sudah diterapkan oleh bangsa Tiongkok sehingga warga Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda merupakan penduduk Belanda sekaligus Tiongkok.[3]

Karena warga Tionghoa yang nasionalis menolak "pemaksaan naturalisasi", mereka menuntut perlindungan para konsul Tiongkok. Namun demikian, sebagai imbalan adanya perwakilan konsuler di Hindia Belanda, Belanda dan Tiongkok menandatangani KonvensiKonsuler 1911 yang menetapkan yurisdiksi konsul Tiongkok atas orang-orang yang bukan penduduk Belanda saja. Konvensi ini secara eksplisit tidak menyelesaikan persoalan kewarganegaraan ganda karena catatan yang terlampir di dokumen tersebut menunjukkan bahwa konvensi ini tidak bertujuan menentukan kewarganegaraan.[4] Republik Tiongkok pimpinan Chiang Kai-shek menerapkan jus sanguinis melalui undang-undang kewarganegaraan baru pada tahun 1929. Chiang Kai-shek juga menolak menandatangani Konvensi Kewarganegaraan Den Haag 1930, khususnya Pasal 4 konvensi yang menyatakan bahwa "sebuah negara tidak berhak memberikan perlindungan diplomatik kepada salah satu warga negaranya apabila ia juga memiliki kewarganegaraan di negara asalnya".[5]

Lihat pula sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Wilmott 1961, hlm. 89
  2. ^ Wilmott 1961, hlm. 31, 90
  3. ^ Wilmott 1961, hlm. 30–31
  4. ^ Wilmott 1961, hlm. 32
  5. ^ Wilmott 1961, hlm. 33

Referensi sunting