Peristiwa 2 September 1985


Peristiwa 2 September 1985 merupakan sebuah peristiwa ketika DPRD Tingkat I Riau memilih Ismail Suko daripada petahana, Imam Munandar, sebagai gubernur Riau periode 1985-1990. Peristiwa ini merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat, yang waktu itu mendukung Imam Munandar menjadi gubernur Riau. Peristiwa ini penting bagi Riau dan juga dalam dinamika politik pada masa Orde Baru karena mengawali gerakan demokratisasi di Indonesia.[1]

Latar Belakang sunting

Pada masa Orde Baru, pemilihan kepala daerah tergantung pada pemerintah pusat, karena calon kepala daerah sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Hal ini bertentangan dengan konsep demokrasi di Indonesia. Hal ini diperburuk karena pejabat yang diangkat menjadi Gubernur Riau tidak dihormati oleh masyarakat karena berasal dari kalangan militer dan bukan warga setempat. Karena itulah, pemilihan Gubernur Riau periode 1985-1990 terdapat gerakan politik untuk melawan pemerintah pusat.

Walau selama menjabat, Imam Munandar mendorong pengembangan dibidang pertanian masyarakat Riau, seperti pengembangan pertanian lahan gambut, perkebunan teknis, dan perkebunan hibrida, tetapi dia tidak mendapat simpati masyarakat Riau sepenuhnya. Hal ini terjadi karena Imam Munandar tidak memprioritaskan warga asli Riau dalam mengisi jabatan Kepala Daerah Tingkat II Provinsi Riau.[2]

Jalannya Peristiwa 2 September 1985 sunting

Pada September 1984, sejumlah tokoh masyarakat Riau mengadakan pertemuan rahasia di Hotel Aryaduta untuk membahas pemimpin Riau ke depannya. Rapat tersebut dihadiri H. Mohammad Akil, dr. Muzni Tambusai, Drs. H. Samad Thaha, Drs. Baharudin Yusuf, Drs. H. Abdul Rivaie Rachman, Ir. Firdaus Malik, dan Dr. H. Muchtar Ludi, MA. Hasil dari pertemuan rahasia tersebut yakni sepucuk surat yang ditujukan kepada Presiden Soeharto. Terdapat lima hal yang dimuat dalam lampiran surat tersebut yang membahas mengenai Gubernur Imam Munandar selama menjabat sebagai gubernur Riau. Sebagai bentuk mewujudkan aspirasi masyarakat Riau agar warga asli daerah dapat ikut serta dalam pengisian jabatan di institusi pemerintahan daerah, Ismail Suko ditetapkan sebagai calon gubernur Riau periode 1985-1990.

Pada tanggal 31 Agustus 1985, diadakan pertemuan di malam hari di rumah Mohammad Adnan yang merupakan anggota Fraksi Karya Pembangunan untuk mengatur strategi memenangkan Ismail Suko dalam pemilihan. Pada tanggal 2 September 1985, para anggota DPRD Tingkat I Riau mulai mengambil posisi masing-masing beserta tokoh masyarakat Riau lainnya untuk melaukan pemilihan gubernur. Calon gubernur tersebut terdiri dari tiga orang calon, antara lain Imam Munandar, Abd. Rachman Hamid, dan Ismail Suko. Pemerintah pusat berharap calon yang diusungnya, Mayjen TNI Purn. H. Imam Munandar, memenangi pemilihan tersebut. Namun, justru Drs. H. Ismail Suko yang mendapatkan suara terbanyak dengan rincian hasil akhir 17 suara untuk Imam Munandar, 1 suara untuk Abd. Rachman Hamid, dan 19 suara untuk Ismail Suko. Hal ini membuat Ismail Suko yang merupakan warga asli daerah Riau terpilih untuk menjadi gubernur Riau periode 1985-1990. Dalam memenangkan pemilihan gubernur saat itu, terdapat peran dari Thamrin Nasution sebagai "panglima lapangan".

Tokoh-Tokoh Penting sunting

  1. Drs. H. Ismail Suko (gubernur Riau periode 1985-1990)
  2. Mayjen TNI Purn. H. Imam Munandar (gubernur Riau periode 1980-1985)
  3. Abd. Rachman Hamid (mantan wali kota Pekanbaru/pembantu gubernur Riau wilayah II)
  4. H. Mohammad Akil (anggota FKP DPR RI)
  5. dr. Muzni Tambusai (anggota FKP DPR RI)
  6. Drs. H. Samad Thaha (anggota FKP DPR RI)
  7. Drs. Baharudin Yusuf (Ketua Bappeda)
  8. Thamrin Nasution
  9. Drs. H. Abdul Rivaie Rachman
  10. Ir. Firdaus Malik
  11. Dr. H. Muchtar Ludi, MA

Referensi sunting

  1. ^ Asril (St.), Zaili (2002). Tragedi Riau menegakkan demokrasi: peristiwa 2 September 1985. Panitia Peringatan 17 tahun "Peristiwa 2 September 1985". 
  2. ^ Wati, Destra; Nopriyasman, Noriyasman; Samry, Wannofri (2020). "Riau Pasca Keluar Dari Sumatera Tengah 1957-1985". NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. 7 (1): 47.