Penyiksaan dalam hukum internasional

Larangan penyiksaan adalah suatu norma jus cogens yang harus ditaati dalam hukum internasional — artinya dilarang dalam semua keadaan — serta dilarang oleh perjanjian internasional seperti Konvensi PBB Menentang Penyiksaan yang secara hukum mengikat negara-negara yang telah meratifikasinya.[1]

Konvensi PBB Menentang Penyiksaan sunting

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat mulai berlaku pada Juni 1987. Beberapa Pasal yang penting adalah Pasal 1, 2, 3, dan 16.

Pasal 1

1. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku.

2. Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional atau peraturan perundangundangan nasional yang benar-benar atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan penerapan yang lebih luas.

Pasal 2

1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya.
2. Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.

3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.

Pasal 3

1. Tidak ada satu Negara Pihak pun yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang ke Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat menjadi sasaran penyiksaan.

2. Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi manusia di Negara tersebut.

Pasal 16

1. Setiap Negara Pihak harus mencegah di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1, apabila tindakan semacam itu dilakukan atas atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam pasal 10, 11, 12, dan 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke bentuk-bentuk lain perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.

2. Ketentuan Konvensi ini tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap perangkat internasional atau hukum nasional yang melarang perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia atau yang berhubungan dengan ekstradisi atau pengusiran.

 
Peta dunia dengan negara-negara Pihak dalam Konvensi PBB Menentang Penyiksaan berwarna hijau tua, negara-negara yang telah menandatangani tetapi tidak meratifikasi perjanjian dalam warna hijau muda, dan bukan negara Pihak berwarna abu-abu

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  • Pasal 1: Penyiksaan adalah segala tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk menimbulkan "rasa sakit atau penderitaan yang hebat".[2] Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) mempengaruhi diskursus dalam bidang hukum internasional ini. Lihat bagian Konvensi lainnya untuk rincian lebih lanjut tentang keputusan ECHR.
  • Pasal 2: "Tidak ada keadaan luar biasa apapun di mana suatu negara dapat menggunakan penyiksaan dan tidak melanggar kewajiban perjanjiannya."[3]
  • Pasal 16: Mewajibkan penandatangan untuk mencegah "tindakan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia", di semua wilayah di bawah yurisdiksi mereka.[4]

Referensi sunting

  1. ^ de Wet, E. (2004). "The Prohibition of Torture as an International Norm of jus cogens and Its Implications for National and Customary Law". European Journal of International Law. 15 (1): 97–121. doi:10.1093/ejil/15.1.97. 
  2. ^ ECHR Ireland v. United Kingdom judgment pp. 40,42, ¶ 167 "Although the five techniques, as applied in combination, undoubtedly amounted to inhuman and degrading treatment, although their object was the extraction of confessions, the naming of others and/or information and although they were used systematically, they did not occasion suffering of the particular intensity and cruelty implied by the word torture as so understood."
  3. ^ PDF file of United Nations Committee Against Torture second report on United States of America (CAT/C/48/Add.3/Rev.1) 18 May 2006, Paragraph 14
  4. ^ "Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam" (PDF). ELSAM | Membela Hak Asasi Manusia untuk Keadilan. Diakses tanggal 2022-03-12.