Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock

sebuah karya seni dari Nicolaas Pieneman

Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock (bahasa Belanda: De onderwerping van Diepo Negoro aan luitenant-generaal baron De Kock) adalah sebuah lukisan yang dilukis oleh seniman Belanda Nicolaas Pieneman antara tahun 1830 dan 1835. Hal ini dalam koleksi Rijksmuseum di Amsterdam, Belanda. Lukisan tersebut menggambarkan penangkapan pemimpin pemberontakan Jawa Diponegoro oleh pasukan kolonial dibawah komando Letnan Jenderal Hendrik Mercus de Kock.

Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock
Belanda: De onderwerping van Diepo Negoro aan luitenant-generaal baron De Kock
Seorang pria yang mengenakan sorban menyerahkan dirinya kepada otoritas Belanda
SenimanNicolaas Pieneman
Tahunsekitar 1830–1835
Ukuran77 cm × 100 cm (30 in × 39 in)
LokasiRijksmuseum, Amsterdam, Belanda
Cagar budaya Indonesia
Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock
PeringkatInternasional
KategoriBenda
No. Regnas07/1907
Lokasi
keberadaan
Amsterdam, Belanda
No. SK202/M/1907
Tanggal SK07 April 1907
Tingkat SKMinister
PengelolaRijksmuseum
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya

Catatan sejarah

sunting
 
Diponegoro

Diponegoro (1785-1855), keturunan Sultan Yogyakarta dan putra tertua Hamengkubuwono III, dilewati dalam suksesi takhta tetapi tidak melepaskan klaim kepemimpinannya di kalangan elit Jawa. Mendeklarasikan perang suci melawan penjajah dan memproklamirkan dirinya sebagai Ratu yang Adil, ia memberontak melawan sultan yang berkuasa dan pemerintah kolonial Belanda.

Dalam perang 5 tahun berikutnya di sebagian besar wilayah Jawa Tengah saat ini, lebih dari 200.000 tentara Jawa dan 15.000 tentara Belanda tewas. Setelah serangkaian kemenangan besar, penangkapan sebagian besar pemimpin pemberontakan dan mencapai titik balik dalam perang yang menguntungkan Belanda.

Pada tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro diundang oleh Letnan Hendrik Merkus de Kock ke rumah penduduk di Magelang untuk mengakhiri perdamaian dan mengakhiri permusuhan, dimana ia ditangkap karena kebuntuan dalam negosiasi setelah menolak untuk mengakui statusnya sebagai pemuka agama umat Islam se-Pulau Jawa.

Kemudian dia dimasukkan ke dalam kereta ke Batavia (nama lama dari Jakarta), dari mana dia dikirim ke Manado di pulau Sulawesi; kemudian dipindahkan ke Makassar, di mana ia meninggal dalam pengasingan dua dekade kemudian. Setelah dirinya, Diponegoro meninggalkan sejarah pemberontakan Jawa yang ditulis secara pribadi beserta autobiografinya.

Dalam kerangka konstruksi ideologis Indonesia merdeka, diyakini bahwa bangsa Indonesia muncul dalam nyala api perang Jawa serta ingatan akan perjuangan, prestasi, dan penderitaan Diponegoro membuka jalan bagi pembebasan terakhir bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme pada tahun 1945. Pada tahun 1973, ia secara anumerta diproklamasikan sebagai "Pahlawan Nasional Indonesia".

Hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan dan alun-alun untuk menghormati Diponegoro, sebuah universitas di Semarang dinamai menurut namanya dan sebuah monumen didirikan di Jakarta. Sebuah museum di Magelang tempat Diponegoro ditangkap telah dibangun dan dibuka untuk umum.

Komposisi

sunting

Lukisan berukuran 77×100 cm ini dilukis dengan cat minyak di atas kanvas. Hari yang cerah, Pangeran Diponegoro berdiri di depan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di tangga sebuah rumah besar berpilar kolonial yang diapit oleh lambang kerajaan. Sang pangeran berada satu langkah dibawah letnan jenderal, yang mendominasi seluruh komposisi. De Kock digambarkan sebagai pemenang yang murah hati dan pemberani, wajahnya tidak menunjukkan kemarahan atau kedengkian terhadap orang Jawa.

Letnan jenderal menunjukkan kepada pangeran kereta kuda yang akan membawanya ke pengasingan. Sawah dan gunung terlihat dari kejauhan. Diponegoro mengangkat tangan dengan bingung, seolah tak mengerti apa yang terjadi padanya, dia terlihat dengan rendah hati tunduk pada kehendak penguasa kolonial dan mengucapkan selamat tinggal kepada para pengikut yang kalah, kepada istri dan anak-anaknya.

Diponegoro digambarkan mengenakan pakaian hijau dan sorban serupa ini mengisyaratkan bahwa dia adalah pemimpin umat Islam di Jawa. Di sebelah kiri pangeran dan letnan jenderal adalah barisan tentara dan perwira Belanda dengan tombak terangkat yang baru saja melucuti senjata orang Jawa. Di dekatnya ada pengikut Diponegoro yang tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan, beberapa dari mereka dengan rendah hati berlutut di depan pangeran, senjata mereka terlipat di tanah. Di atas mansion tinggi di langit, 3 warna bendera Belanda berkibar dengan bangga.

Sejarah, persepsi, takdir

sunting

Lukisan itu dilukis pada tahun 1830-1835, ditugaskan oleh keluarga de Kock atau mungkin dirinya sendiri, oleh seniman dan pelukis potret Belanda Nicolaas Pieneman putra Jan Willem Pieneman, seorang pelukis terkenal dan direktur Royal Academy of Fine Arts di Amsterdam.

Kanvas berjudul Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Baron de Kock disebut juga Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal de Kock tanggal 28 Maret 1830 dimana perang dimulai di Jawa. Pieneman belum pernah ke Jawa dan dalam karyanya dipandu oleh sketsa dan potret ajudan dan menantu de Kock, Mayor Francois de Stuers yang juga orang pertama yang membuat sketsa Diponegoro setelah penangkapannya (gambar diketahui dari litografi, karena disimpan di perpustakaan Duchess Anna Amalia di Weimar dan dibakar bersamanya pada tahun 2004).

 
Penangkapan Pangeran Diponegoro, Saleh

Sekitar 25 tahun setelah Pieneman, pada tahun 1857, seniman Jawa Raden Saleh yang mengenyam pendidikan seni rupa di Eropa dan kemudian kembali ke tanah air lalu melukis lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (112 × 179 cm, cat minyak diatas kanvas).

Saleh tentu saja akrab dengan lukisan Pieneman, salah satu seniman Belanda paling terkenal pada masanya dan bahkan mungkin berhasil membuat salinannya. Ingin menantang versi visual Belanda tentang peristiwa sejarah penting seperti penangkapan Diponegoro, Saleh menyajikannya dalam versi Jawanya sendiri dan tidak sejalan dengan pemikiran kolonial Pieneman.

Sekitar waktu Pieneman membuat lukisannya, de Kock juga memesan potret dari Pieneman (106 x 90 cm, setelah tahun 1826). Saleh mungkin pernah menjadi mahasiswa Pieneman dan terlibat dalam lukisan potret, misalnya dia bisa sibuk mengisi latar belakang.

Kritikus seni menyebut karya Pieneman dan Saleh sebagai 2 lukisan paling terkenal tentang sejarah Indonesia. Pada saat yang sama, Pieneman melukis lukisannya segera setelah berakhirnya perang Jawa, tetapi sebelum Raden Saleh. Menurut kritikus dengan menggambarkan kerendahan hati yang lengkap, seorang pria yang tunduk dan kalah dengan tangan ke bawah bukannya pemimpin pemberontakan yang marah dan menantang (seperti Saleh) dan selain berdiri dibawah pemenang Belanda, Pieneman dengan demikian secara simbolis menunjukkan bahwa Diponegoro telah kehilangan kekuasaannya.

Perbedaan juga terlihat pada nama lukisan Penyerahan oleh Pieneman dan Penangkapan oleh Saleh, dimana orang dapat melihat bahwa Diponegoro tidak tunduk kepada Belanda. Secara keseluruhan, gambaran Pieneman yang agak resmi memberi kesan bahwa, meskipun de Kock menunjukkan kekejaman terhadap Diponegoro, pengaturan penangkapan dan pengasingannya adalah demi kepentingan terbaik orang Jawa seperti seorang ayah yang penuh kasih mengasingkan putranya yang bersalah untuk memberinya pelajaran berharga.

Setelah menangkap kemenangan para pemenang dan kekagumannya sendiri atas kemenangan ini, Pieneman menulis karyanya dalam genre orientalisme, yaitu menggambarkan orang Jawa sesuai dengan persepsi Belanda tentang mereka sebagai pribumi terbelakang dari sudut pandang penjajah.

Pada tahun 1907, lukisan Pieneman disumbangkan oleh keturunan de Kock ke Rijksmuseum di Amsterdam, dimana ia tetap sampai hari ini.

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting