Ngayau

tradisi pemburuan kepala dalam suku Dayak
(Dialihkan dari Pengayauan)

Ngayau merupakan ritual Pemburuan kepala oleh Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Pada praktik Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala. Karya Carl Bock, The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1882 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu kepala”.[2]

Temenggong Koh Anak Jubang (kiri) panglima perang dari suku Dayak Iban dengan kepala musuh di belakangnya.[1]

Praktik berburu kepala adalah salah satu bentuk komplek perilaku sosial dan sudah memancing munculnya beragam penjelasan dari berbagai penulis, baik dari kalangan “penjelajah” maupun kalangan akademisi.[3][2]

Tradisi Dayak Ngaju

sunting

Bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tradisi mengayau dilakukan untuk kepentingan upacara Tiwah, yaitu upacara sakral besar dalam agama Kaharingan yang tujuannya untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh. Di kalangan masyarakat Kenyah, perburuan kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu pesta pemotongan kepala, yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai upacara inisiasi untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk para prajurit perang. Pemburu-pemburu kepala yang berhasil berhak memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung enggang, dan sebuah tato dengan desain khusus. Serangan-serangan para pemburu kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam dan tiba-tiba. Mereka sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya burung-burung. Setelah digunakan dalam upacara-upacara Mamad, kepala-kepala itu digantung di beranda rumah panjang, berhadapan dengan ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal ketua rumah panjang. Pada masa lalu Suku Dayak Iban dilaporkan sebagai pemburu kepala yang paling terkenal di Kalimantan. Suku Dayak Iban melakukan upacara perburuan kepala yang disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang.[4]

Keyakinan suku Dayak

sunting

Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya, menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak penganut agama Kaharingan, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia, dan di masa lalu kepala hasil berburu Ngayau digunakan sebagai kurban dalam upacara Tiwah, Wara, Dallo, Kwangkey, dan sebagainya. Dipercaya bahwa sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru. Sementara itu Mc Kinley menggambarkan ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.

Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Kepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial. Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.[5]

Alegori Dayak Iban

sunting

Dalam kajiannya tentang Suku Dayak Iban, Freeman mengatakan bahwa berburu kepala semata simbolik berkaitan dengan kesuburan. Paralel-paralel antara kepala manusia dan kesuburan merupakan sesuatu yang sentral dalam pembahasan tentang praktik berburu kepala. Puncak dari alegori luar biasa yang menjadi hal yang sentral dalam upacara perburuan kepala yang dilakukan oleh orang-orang Iban yang ketika sudah disenandungkan oleh dukun-dukun pembaca mantra, dilakukan oleh calon-calon pemburu kepala, adalah sebuah ritual yang dikenal dengan nama Ngelampang yang secara harfiah berarti mencincang atau memotong menjadi bagian-bagian kecil. Di dalam bagian alegori ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah kepala tiruan atau antu pala oleh seorang Lang Singalang Burong yaitu dewa perang suku Iban. Lang melakukan ritual ini (sesuatu yang melambangkan pemenggalan kepala musuh yang sesungguhnya) dengan satu tebasan pedang (mandau) yang dilakukannya dengan sangat cepat, dan dari kepala yang dibelahnya itu mengalir benih-benih yang bila ditaurkan akan timbul menjadi sesosok tubuh manusia.

Ngayau dalam tradisi Suku Lain

sunting

Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau.[2][3] Seperti halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling tinggi di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.[2]

Seorang Dayak yang akan berangkat mengayau tidak terlalu menggantungkan kemampuannya pada kemampuan senjatanya, tetapi pada kekuatan jiwa untuk mencapai tujuannya. Pusat kekuatan jiwa terdapat di kepala manusia hasil kayauan.[6]

Perjanjian Tumbang Anoi

sunting
 
Kampung Tumbang Anoi (tempo dulu) di sungai Kahayan

Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung yaitu ketika pada tahun 1894 Damang Batu (Kepala Suku Dayak Kahayan) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumbang Anoi. Musyawarah tersebut dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi. Dalam musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat Dayak di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan tradisi mengayau. Karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku Dayak. Akhirnya, dalam musyawarah tersebut segala perselisihan dikubur dan pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat Dayak.

Pertemuan Tumbang Anoi diprakarsai oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka merasa tidak nyaman waktu mulai masuk Pulau Borneo, karena berada dalam keadaan yang sangat rawan, terutama di pedalaman karena sering terjadi pengayauan di antara suku-suku Dayak.[7]

Meskipun hingga kini tidak ada satupun analisis yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dari tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan sedemikian misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan salah satu simbol suatu identitas kesukuan. Pemotongan kepala/ngayau kembali muncul ketika terjadi kerusuhan antar-etnis melanda Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu.[5]

Konflik Sampit

sunting
 
Praktik Ngayau dilakukan kembali selama Konflik Sampit.

Saat Konflik Sampit meletus pada 2001, praktik Ngayau dimunculkan kembali dengan target orang-orang dari suku Madura.[8] Setidaknya terdapat 100 orang yang dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini.[9]

Peristiwa ini juga menarik perhatian media massa ketika itu. Karena praktik ini telah dinyatakan punah sejak berlakunya Perjanjian Tumbang Anoi. Tragedi ini membuat orang-orang percaya bahwa praktik Ngayau belum sepenuhnya punah.[10]

Referensi

sunting
Catatan kaki
  1. ^ Seng, Alan Teh Leam (2018-06-03). "The greatest Dayak leader | New Straits Times". NST Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-12-20. 
  2. ^ a b c d Bock 1882.
  3. ^ a b Aloy 2019.
  4. ^ Aloy 2019, hlm. 39-41.
  5. ^ a b Maunati 2004.
  6. ^ Aloy 2019, hlm. 35.
  7. ^ Aloy 2019, hlm. 37.
  8. ^ "Kalimantan's Agony: The failure of Transmigrasi". CNN. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-31. Diakses tanggal 2008-08-13. 
  9. ^ Elegant, Simon (March 5, 2001). "The Darkest Season". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-25. Diakses tanggal 2008-08-13. 
  10. ^ "Beheading: A Dayak ritual". BBC. February 23, 2001. Diakses tanggal 2008-08-13. 
Daftar pustaka