Pasola

Upacara Adat di Indonesia

Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan.[1] Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.[1] Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.[1] Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba).[1] Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat.[1] Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.[1] Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya.[1]

Berkas:Pasola.JPG
Tradisi pasola menggabungkan keahlian menunggang kuda dan melempar lembing yang diadakan untuk menyambut tahun baru dalam kepercayaan Marapu dan panen.
Pasola, 2016

Sejarah

sunting

Menurut cerita rakyat Sumba, pasola berawal dari seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di Kampung Waiwuang.[2] Rabu Kaba mempunyai seorang suami yang bernama Umbu Amahu, salah satu pemimpin di kampung Waiwuang.[2] Selain Umbu Amahu, ada dua orang pemimpin lainnya yang bernama Ngongo Tau Masusu dan Bayang Amahu.[2] Suatu saat, ketiga pemimpin ini memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka akan melaut.[2] Tapi, mereka pergi ke selatan pantai Sumba Barat untuk mengambil padi.[2] Warga menanti tiga orang pemimpin tersebut dalam waktu yang lama, namun mereka belum pulang juga ke kampungnya.[2] Warga menyangka ketiga pemimpin mereka telah meninggal dunia, sehingga warga pun mengadakan perkabungan.[2] Dalam kedukaan itu, janda cantik dari almarhum Umbu Dula, Rabu Kaba terjerat asmara dengan Teda Gaiparona yang berasal dari Kampung Kodi.[2] Namun keluarga dari Rabu Kaba dan Teda Gaiparona tidak menyetujui perkawinan mereka, sehingga mereka mengadakan kawin lari.[2] Teda Gaiparona membawa janda tersebut ke kampung halamannya.[2] Beberapa waktu berselang, ketiga pemimpin warga Waiwuang (Ngongo Tau Masusu, Bayang Amahu dan Umbu Amahu) yang sebelumnya telah dianggap meninggal, muncul kembali di kampung halamannya.[2] Umbu Amahu mencari isterinya yang telah dibawa oleh Teda Gaiparono.[2] Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang, Rabu Kaba yang telah memendam asmara dengan Teda Gaiparona tidak ingin kembali.[2] Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla.[2] Belis merupakan banyaknya nilai penghargaan pihak pengambil isteri kepada calon isterinya, seperti pemberian kuda, sapi,kerbau, dan barang-barang berharga lainnya.[2] Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti.[2] Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.[2] Pada akhir pesta pernikahan, keluarga Umbu Dulla berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik, Rabu Kaba.[2]

Proses upacara

sunting
 
Tradisi nyale merupakan puncak dari segala kegiatan untuk memulai pasola.

Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai.[3] Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai.[3] Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang.[3] Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya.[3] Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil.[3] Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka. Setelah penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal. Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat memakan korban jiwa. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan. Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah lawan. Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh lawan. Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik alami yang mengiringi permainan ini. Pekikan para penonton perempuan yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan menantang. Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Apabila terjadi kematian dalam permainan pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.

Manfaat

sunting

Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian, tetapi menjadi salah satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.[4] Pasola merupakan kultur religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu.[4] Pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum.[5] Pasola menggambarkan rasa syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat setempat, karena hasil panen yang melimpah.[6] Pasola dapat dijadikan tonggak kemajuan pariwisata Sumba, karena atraksi budaya ini sudah diketahui banyak wisatawan mancanegara.[6] Hal ini terlihat dalam setiap acara pasola selalu ada turis asing yang datang.[6] Warisan budaya ini merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.[6]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g Boro, Paulus Lete.(1995). Pasola, permainan ketangkasan berkuda lelaki Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jakarta. Obor.Hal 1-2.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Inggris) Sumba Pasola Festival-Sumba Island, Lombokmarine. Diakses pada 26 Mei 2010.
  3. ^ a b c d e Pasola, Tragedi Asmara di Padang Savana[pranala nonaktif permanen], Nusacendanabiz. Diakses pada 26 Mei 2010.
  4. ^ a b Saadah, Sri (2002). Aneka budaya masyarakat Dani (Irja) dan Sumba (NTT). Proyek Pemanfaatan Kebudayaan,Direktorat Tradisi dan Kepercayaan, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata 2. Jakarta. Hal 12-13.
  5. ^ Najib, Mohammad (1996). Demokrasi dalam perspektif budaya Nusantara, Jilid 2 Demokrasi dalam perspektif budaya Nusantara. Yogyakarta. LPKSM. Hal 45.ISBN 979-8867-01-7, 9789798867019.
  6. ^ a b c d Tradisi Pasola Diarsipkan 2010-03-23 di Wayback Machine., Kompas. Diakses pada 7 Mei 2010.

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting