Pantjawarna (EYD: Pancawarna) adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1941.

Pantjawarna
Iklan koran
Iklan koran
SutradaraNjoo Cheong Seng
ProduserTjho Seng Han
Pemeran
Perusahaan
produksi
Oriental Film
Tanggal rilis
  • Maret 1941 (1941-03) (Hindia Belanda)
NegaraHindia Belanda
BahasaIndonesia

Alur sunting

Seorang perempuan muda harus membesarkan kedua putrinya meski menghadapi banyak rintangan dan menerima kenyataan bahwa suaminya dipenjara.[1] Ia akhirnya diurus oleh bangsawan Raden Gatot. Keduanya pun jatuh cinta. Setelah ia menceraikan suaminya, ia menikahi Gatot. Setelah bebas dari penjara, mantan suaminya memutuskan untuk menantang Gatot. Sang ibu pun harus memilih jodoh yang baik untuk putrinya.[2]

Produksi sunting

Pantjawarna diproduseri Tjho Seng Han dan disutradarai Njoo Cheong Seng untuk Oriental Film.[3] Njoo telah bekerja di perusahaan ini sejak 1940, ketika ia dan istrinya, Fifi Young, dikontrak untuk pembuatan film Kris Mataram.[4]

Film ini diiringi 12 lagu, termasuk keroncong, gambus, dan musik Sunda.[5] Film ini lantas disebut sebagai film musikal pertama di Hindia Belanda.[3] Pantjawarna dibintangi oleh Young, Mochtar Widjaja, Dhalia, Idris Martha, Omar Rodriga, S Poniman, Siti Aminah, Iyem Cilacap, dan Soerip.[3]

Rilis dan tanggapan sunting

Pantjawarna dirilis bulan Maret 1941[1] dan dikhususkan untuk penonton di atas usia 13 tahun.[6] Seorang kritikus di Soerabaijasch Handelsblad memuji film ini karena memiliki humor yang bagus dan elemen drama yang kuat. Pujiannya lebih diarahkan pada aspek teknis film dan pemeranan tokoh oleh Dhalia dan Young.[1] Ulasan lain di Bataviaasch Nieuwsblad memuji akting Young.[2]

Ini adalah film terakhir Njoo untuk Oriental. Ia dan Young kemudian pindah ke Majestic Film. Oriental tutup pada tahun 1941 setelah merilis film terakhirnya, Panggilan Darah.[5] Film tersebut dibintangi Dhalia dan Soerip yang berperan sebagai kakak adik yatim piatu yang berusaha bertahan hidup di ibu kota kolonial Batavia (sekarang Jakarta). Film tadi juga dibintangi Poniman dan Mochtar Widjaja.[7] Mochtar berhenti dari industri perfilman pasca penutupan Oriental. Dhalia, Soerip, dan Poniman masih aktif sampai beberapa dasawarsa selanjutnya.[8]

Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Film-film yang dibuat di Hindia Belanda direkam di film nitrat yang mudah terbakar. Setelah kebakaran menghanguskan sebagian besar gudang Produksi Film Negara tahun 1952, film-film nitrat lama ikut dimusnahkan.[9] Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[10] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Misbach Yusa Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[11]

Referensi sunting

Sumber sunting