Palium

(Dialihkan dari Pallium)

Palium atau pala (Latin: pallium atau palla, harfiah "mantel wol") adalah salah satu vestimentum gerejawi dalam Gereja Katolik Roma, awalnya dikhususkan bagi Sri Paus, tetapi selama berabad-abad kemudian, palium juga dianugerahkan oleh Paus kepada para uskup metropolit dan primat sebagai lambang dari yurisdiksi yang diembankan kepada mereka oleh Takhta Suci.

Paus Innosentius III dilukiskan mengenakan palium dalam sebuah fresko di biara Sacro Speco.

Deskripsi sunting

Palium model sekarang berupa sehelai selempang, "selebar tiga jari," ditenun dari wol anak domba berwarna putih yang dipelihara oleh para rahib Trappist,[1] melingkar pada pundak di atas Kasula, dan kedua ujungnya masing-masing menjuntai di depan dan belakang; sehingga bilamana dipandang dari depan ataupun belakang palium akan membentuk huruf Y. Palium dihiasi enam salib hitam, satu pada masing-masing bagian yang menjuntai dan empat pada bagian yang melingkar, berjumlah ganda di bahu kiri, diimbuhi depan dan belakang, dengan tiga peniti emas. Dua karakteristik terakhir tampaknya adalah warisan dari zaman tatkala palium Romawi masih berupa sehelai syal sederhana yang dikenakan melingkari leher, bersilang dan disatukan dengan peniti pada pundak kiri.

Mulanya palium dan omoforion adalah vestimentum yang sama. Omoforion adalah selempang kain lebar, lebih besar daripada palium modern, dikenakan oleh semua uskup Ortodoks Timur dan Katolik Timur dari Ritus Byzantium. Teori yang menghubungkan palium dengan figur Sang Gembala Baik yang memanggul anak domba di pundaknya, yang sangat umum dijumpai dalam seni Kristiani, sudah jelas merupakan suatu penjelasan a posteriori. Namun upacara yang terkait dengan penyiapan dan peanugerahannya bagi Paus, menunjukkan simbolisme serupa. Anak-anak domba yang bulunya kelak digunakan dalam pembuatan palium dipersembahkan secara khidmat di altar oleh para biarawati dari biara Santa Agnes.

Penganugerahan palium menjadi kontroversi selama Abad pertengahan, karena para paus mengenakan suatu tarif khusus bagi para pemakai palium. Pengenaan tarif ini melimpahi kepausan dengan ratusan ribu keping emas dan menurunkan reputasi anugerah palium. Proses tersebut dikutuk oleh Konsili Basel pada tahun 1432, yang menyebutnya sebagai "perbuatan paling riba yang pernah diadakan oleh kepausan."[2] Tarif tersebut kemudian ditiadakan karena dituduh sebagai salah satu bentuk praktik simoni.

Untuk kesempatan pelantikannya, Paus Benediktus XVI beralih menggunakan palium model yang lebih awal, dari masa tatkala palium dan omoforion masih identik secara virtual. Palium tersebut lebih lebar daripada palium modern namun tidak selebar omoforion modern, aterbuat dari wol berujung sutera hitam, dan dihiasi lima salib merah, tiga di antaranya bersematkan peniti, lambang kelima luka Kristus dan ketiga paku salib. Hanya palium Paus yang mengambil bentuk istimewa ini.

Kini hanya Paus dan para uskup metropolit yang mengenakan palium, dan seorang uskup metropolit harus menerima palium sebelum menjalani masa jabatan di provinsi gerejawinya, bahkan jika sebelumnya dia telah menjadi uskup metropolit di daerah lain. Uskup biasa, uskup nonmetropolit atau uskup metropolit emeritus tidak diizinkan mengenakan palium kecuali bila memiliki izin khusus. Misalnya, Angelo Kardinal Sodano, Ketua Dewan Kardinal yang baru terpilih, memperoleh hak khusus mengenakan palium di keuskupan suburbicaria Ostia pada tanggal 29 Juni 2005.

Penggunaan palium pada masa modern sunting

 
Paus Benediktus XVI mengenakan palium model Romawi kuno
 
Paus Yohanes Paulus II mengenakan palium modern

Palium modern adalah sehelai selempang berbentuk lingkaran, selebar kira-kira dua inci, disampirkan di sekitar leher, pundak dan dada. Palium memiliki dua juntai masing-masing di sisi depan dan belakang, selebar kira-kira dua inci dan sepanjang kira-kira dua belas inci, masing-masing bagian terujung dari kedua juntai dibungkus dengan sutera hitam. Keseluruhan bagian palium lainnya dibuat dari wol putih, berasal dari dua ekor anak domba yang dipersembahkan tiap tahun sebagai pajak dari biara Santo Yohanes menurut aturan kanon Lateran pada hari peringatan St. Agnes (21 Januari, nama Agnes berarti "anak domba"), dengan khidmat diberkati pada altar utama Gereja St. Agnes seusai Misa Kudus Pontifikal, kemudian diserahkan kepada Sri Paus. Ornamen palium terdiri atas enam salib hitam kecil—satu pada masing-masing juntai, satu pada masing-masing bahu, dan masing-masing satu pada dada dan tengkuk. Ornamen salib di bagian dada, tengkuk dan pundak kiri memiliki celah untuk menyematkan pin emas bertatahkan permata. Palium dikenakan di atas kasula.

Pemakaian palium dikhususkan bagi Sri Paus dan para uskup metropolit (yang mengepalai satu provinsi gerejawi), tetapi para uskup agung tersebut tidak boleh mengenakannya sebelum dianugerahkan kepada mereka oleh Sri Paus, biasanya pada hari Perayaan Santo Petrus dan Paulus pada 29 Juni. Palium juga dianugerahkan kepada Patriark Yerusalem Ritus Latin. Tradisi-tradisi masa lampau yang mingizinkan beberapa uskup lain untuk mengenakan palium diakhiri oleh Paus Paulus VI dalam sepucuk motu proprio pada tahun 1978.[3] Seorang uskup metropolit dapat mengenakan palium sebagai tanda yurisdiksinya bukan hanya di keuskupan agungnya sendiri melainkan juga di semua tempat dalam provinsi gerejawinya kapanpun dia merayakan misa tetapi ia tidak boleh mengenakannya di luar wilayah provinsi gerejawinya, meskipun jika penggunaannya disetujui uskup diosesan setempat. (Kanon 437, Hukum Kanonik, 1983)[4]

Meskipun palium sekarang dikhususkan, menurut hukum dan norma-norma liturgis, bagi para uskup metropolit, satu-satunya pengecualian yang ada tampaknya mulai mentradisi: Paus Yohanes Paulus II menganugerahkan Palium kepada Joseph Alois Kardinal Ratzinger tatkala Ratzinger menjadi dekan dewan kardinal dan yang karena itu sekaligus menjabat sebagai Kardinal-Uskup Ostia, suatu gelar kehormatan belaka dan tanpa membawahi suatu keuskupan agung ataupun suatu wilayah metropolit. Ketika Kardinal Ratzinger kemudian terpilih menjadi Paus Benediktus XVI, dia meneruskan tindakan pengecualian tersebut tanpa komentar apa pun dengan menganugerahkan palium kepada Angelo Kardinal Sodano, dekan dewan kardinal yang baru.[5]

Bilamana dikenakan oleh Sri Paus, palium melambangkan plenitudo pontificalis officii (kepenuhan jabatan kepausan); bilamana dikenakan oleh para uskup agung, palium melambangkan partisipasi mereka dalam kuasa pastoral tertinggi dari Sri Paus, yang diterima mereka atas provinsi gerejawinya masing-masing. Oleh karena itu seorang uskup agung yang belum menerima palium tidak boleh menjalankan fungsinya sebagai uskup metropolit, hak prerogatif sekalipun. Demikian pula setelah pengunduran dirinya, dia tidak boleh lagi mengenakan palium; bila dia dipindahkan ke keuskupan agung lain, dia harus mengajukan petisi kepada Bapa Suci untuk memperoleh sehelai palium baru. Palium-palium yang baru dibuat diberkati dengan khidmat setelah ibadah vesper kedua pada hari Pesta Santo Petrus dan Paulus, kemudian disimpan dalam kotak perak khusus di dekat Confessio Petri (makam Santo Petrus) sampai tiba saatnya diperlukan. Penganugerahan palium mula-mula dilakukan di Roma oleh seorang kardinal diakon, dan di luar Roma oleh seorang uskup; dalam kedua kasus tersebut upacaranya dilangsungkan seusai perayaan Misa dan pengambilan sumpah. Sejak Konsili Vatikan II, liturgi penganugerahan Palium sebagaimana yang termuat dalam buku-buku liturgi dilangsungkan pada awal Misa pada saat uskup agung yang bersangkutan menduduki jabatannya, akan tetapi Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI lain pula praktiknya yakni memanggil semua uskup agung baru ke Roma untuk menerima palium secara langsung dari tangan Sri Paus sendiri pada hari peringatan Santo Petrus dan Paulus.

   
Kiri: Palium yang digunakan Paus Fransiskus pada awal masa jabatannya.
Kanan: Palium yang digunakan saat ini oleh Paus Fransiskus.

Paus Fransiskus awalnya menggunakan palium seperti yang digunakan Paus Benediktus XVI. Ia kemudian mengubah penggunaan palium menjadi seperti pada masa sebelum Paus Benediktus XVI. Sejak tahun 2015, ia juga melakukan pengubahan penerimaan palium kepada para Uskup Agung, di mana upacara penerimaan akan berlangsung di keuskupan asal Uskup Agung Metropolitan yang baru, tidak lagi Basilika Santo Petrus, Vatikan. Upacara penerimaan akan dilaksanakan dalam dua tahap, di mana pada tahap pertama adalah pemberkatan palium yang diambil dari makam Santo Petrus, dalam Misa pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, setelah para Uskup Agung yang akan menerimanya mengucapkan janji. Misa ini berlangsung tetap di Vatikan, umumnya di Basilika Santo Petrus. Tahap kedua adalah penerimaan palium di keuskupan asal Uskup Agung Metropolitan, yang akan dipimpin oleh Nuncio Apostolik untuk negara tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Perayaan Liturgi Kepausan, Mgr. Guido Marini bahwa tujuan pengubahan ini adalah melambangkan persekutuan antara Penerus Petrus dan para uskup serta memungkinkan keikutsertaan Gereja lokal "dalam momen penting kehidupan dan sejarahnya.[6]

Sejarah sunting

Ridaklah mungkin untuk mengindikasikan dengan tepat bilamana palium pertama kali diperkenalkan. Menurut "Liber Pontificalis" (Kitab riwayat para paus) palium pertama kali digunakan pada paruh pertama abad ke-4. Menurut kitab ini, dalam riwayat Paus Markus (†336), ia memberi hak mengenakan palium kepada Uskup Ostia, karena konsekrasi Sri Paus merupakan urusan Uskup Ostia. Pada tingkat tertentu, mengenakan palium adalah lazim pada abad ke-5; hal ini diindikasikan oleh kitab tersebut dalam riwayat Santo Markus yang berpenanggalan awal abad ke-6, serta penganugerahan palium kepada Santo Cæsarius dari Arles oleh Paus Symnakus pada tahun 513. Selain itu, dalam banyak referensi lain pada abad ke-6, palium disebut sebagai suatu vestimentum yang sudah lama membudaya. Tampaknya sejak semula, paus sajalah yang memiliki hak absolut untuk mengenakan palium. Pemakaiannya oleh orang-orang lain ditoleransi hanya dengan izin paus. Diketahui bahwa palium dianugerahkan kepada orang lain, sebagai suatu tanda pembeda, sejak abad ke-6. Kehormatan tersebut biasanya dianugerahkan kepada para uskup metropolit, khususnya mereka yang dinominasikan sebagai vicarius (wakil) oleh paus, tetapi kadang kala dianugerahkan kepada uskup-uskup biasa (antara lain kepada Syagrius dari Autun, Donus dari Messina, dan Yohanes dari Syracuse oleh Paus Gregorius I). Penggunaan palium di antara para uskup metropolit belum membudaya sampai abad ke-6, ketika diwajibkan bagi semua uskup metropolit agar mengajukan petisi terlebih dahulu untuk mengenakan palium disertai sebuah pengakuan iman secara khidmat, semua konsekrasi terlarang bagi mereka sebelum penerimaan palium. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk membawa para uskup metropolit ke dalam hubungan yang lebih akrab dengan tahta kesatuan dan sumber dari semua hak prerogatif takhta metropolit, yakni Takhta Suci, untuk melawan aspirasi-aspirasi dari berbagai mopropolitan yang menghendaki otonomi, yang tidak sehaluan dengan Konstitusi Gereja, dan untuk melawan pengaruh buruk yang timbul darinya: ketentuan tersebut dimaksudkan, bukan untuk membunuh, melainkan untuk menghidupkan kembali yurisdiksi metropolit. Janji kesetiaan yang diikrarkan oleh para penerima palium kini, tampaknya berasal dari abad ke-11, pada masa jabatan Paus Paskalis II (1099-1118), menggantikan pengakuan iman. Dapat dipastikan bahwa sejak abad ke-6 ada semacam upeti yang harus diserahkan oleh para penerima palium. Kebiasaan ini dihapus oleh Paus Gregorius I pada Sinode Roma tahun 595, tetapi dihidupkan kembali di kemudian hari sebagai salah satu sumber dana Takhta Suci. Sumbangan dana dari palium ini sejak abad pertengahan sering menjadi subyek kontroversi, dan menurut para kritikus tidak dapat dipertahankan dan tidak dapat dibenarkan.

Arti penting palium sunting

Sejak awal abad ke-6 palium dipandang sebagai sehelai vestimentum liturgis untuk hanya dikenakan di dalam gedung gereja, dan sesungguhnya hanya selama perayaan Misa, kecuali ada pengecualian khusus selain itu. Hal ini dibuktikan dalam korespondensi antara Paus Gregorius I dengan Yohanes dari Ravenna mengenai penggunaan palium. Ketentuan-ketentuan yang mengatur penggunaan awal dari palium tidak dapat diketahui dengan pasti namun penggunaannya, bahkan sebelum abad ke-6, tampaknya sudah memiliki karaktek liturgis tertentu. Dari permulaannya pembatasan-pembatasan yang lebih atau kurang ekstensif membatasi penggunaan palium untuk hari-hari tertentu saja. Penggunaannya yang tanpa diskriminasi, diizinkan bagi Hincmar dari Reims oleh Paus Leo IV (851) dan bagi Bruno dari Cologne oleh Paus Agapitus II (954) bertolak belakang dengan kebiasaan yang umum pada masa itu. Pada abad ke-10 atau ke-11, sama seperti sekarang, ketentuan umum membatasi pemakaian palium pada beberapa perayaan tertentu dan beberapa kesempatan luar biasa lainnya. Karakter simbolis yang kini dikaitkan dengan palium berasal dari masa tatkala ada kewajiban bagi semua uskup metropolit untuk mengajukan petisi kepada Takhta Suci untuk menerima izin mengenakan palium. Evolusi dari karakteristik ini selesai sekitar akhir abad ke-11; sejak saat itu palium selalu tercantum dalam Bulla paus sebagai lambang dari plenitudo pontificalis officii. Pada abad ke-6 palium menjadi lambang jabatan paus dan kekuasaan paus, dan karena alasan inilah maka Paus Felix mewariskan paliumnya kepada diakon agungnya, ketika, berlawanan dengan kebiasaan, dia menominasikannya sebagai penggantinya. Di lain pihak, bilamana dikenakan oleh para uskup metropolit, palium mulanya hanya menunjukkan persatuan dengan Takhta Apostolik, dan merupakan lambang dari hiasan kebajikan yang semestinya menghiasi kehidupan si pemakai.

Perkembangan sunting

Ada perbedaan besar antara bentuk palium modern dan bentuk palium yang lazim pada era awal Kekristenan, sebagaimana yang digambarkan dalam mosaik-mosaik Ravenna. Palium abad ke-6 berbentuk selempang putih panjang, lebarnya sedang, dihiasi pada titik-titik tertentu dengan salib hitam atau merah, dan ujung-ujungnya diberi juntaian tassel; disampirkan pada tengkuk, pundak, dan dada dengan cara tertentu sehingga membentuk huruf V di bagian depan, kedua ujungnya menjuntai turun dari bahu kiri, yang satunya di depan dan satunya lagi di belakang (lihat ilustrasi). Pada abad ke-8 sudah menjadi kebiasaan untuk membiarkan kedua ujungnya menjuntai turun, yang satunya pada tengah-tengah dada dan satunya lagi di tengah-tengah punggung, serta merapikannya dengan peniti-peniti, bentuknya menjadi seperti huruf Y. Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad ke-9 (berdasarkan gambar-gambar dari abad tersebut, mula-mula di luar Roma di mana orang tidak terlalu ketat memelihara tradisi-tradisi kuno): selempang, yang mulanya dipertahankan bentuk dan posisinya dengan peniti-peniti, dijahit berbentuk huruf Y, tetapi tanpa dipotong. Bentuk melingkar yang ada sekarang berasal dari abad ke-10 atau ke-11. Dua contoh awal dari bentuk tersebut adalah palium milik uskup agung Santo Heribertus (1021) dan palium milih uskup agung Santo Anno (wafat 1075), yang kini disimpan di Siegburg, Keuskupan Agung Cologne. Dua bagian palium yang menjuntai vertikal sangat panjang sampai abad ke-15, tetapi kemudian sedikit demi sedikit diperpendek hingga kini panjangnya hanya sekitar 12 inci. Illustrasi tersebut menunjukkan perkembangan historis palium. Mulanya satu-satunya hiasan pada palium adalah dua salib masing-masing pada dada kiri dan kanan. Hal ini dibuktikan oleh mosaik-mosaik di Ravenna dan roma. Tampak bahwa penambahan jumlah ornamen salib pada palium belum menjadi kebiasaan sampai pada abad ke-9, ketika beberapa salib kecil dijahitkan pada palium. khususnya pada pundak. Namun selama abad pertengahan, tidak ada ketentuan tertentu yang mengatur jumlah ornamen salib itu, juga tidak ada ketentuan mengenai warnanya. Warna ornamen salib umumnya gelap, tetapi kadang-kala merah. Peniti-peniti, yang mulanya berfungsi untuk menjaga agar palium tetap pada bentuk dan tempatnya tetap dipertahankan sebagai ornamen bahkan setelah palium dijahit untuk memperoleh bentuknya yang sama, meskipun peniti-peniti tersebut tidak lagi memiliki fungsi praktis. tambahan kecil pada kedua ujung palium baru terjadi pada abad ke-13 dibuktikan oleh penemuan palium yang meliliti jenazah Paus Bonifasius VIII, dan fragmen-fragmen palium yang ditemukan pada makam Paus Klemens IV.

Asal-muasal sunting

Ada banyak pendapat yang berbeda-beda mengenai asal usul palium. Sebagian pihak berpendapat bahwa palium berawal dari suatu perlengkapan busana Kaisar Konstantinus I (atau salah satu penerusnya); yang lain berpendapat bahwa palium merupakan tiruan dari efod Ibrani, perlengkapan pakaian kebesaran Imam Besar. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa palium bermula dari sehelai mantel milik Santo Petrus, yang merupakan lambang jabatannya sebagai gembala tertinggi Gereja. Hipotesis keempat menyatakan palium bermula dari suatu mantel liturgis, yang, menurut mereka, digunakan oleh para paus terdahulu, dan seiring zaman disederhanakan dalam bentuk sehelai selempang; hipotesis kelima menyatakan palium bermula dari kebiasaan melipat mantel-palium biasa, yakni sehelai busana luar yang digunakan pada zaman kekaisaran; hipotesis keenam menyatakan bahwa palium awalnya memang muncul sebagai suatu busana liturgis kepausan, yang, meskipun demikian, mulanya bukanlah berbentuk sehelai selempang, melainkan, seperti yang ditunjukkan oleh namanya, berupa sehelai kain lebar, oblong, dan panjang. Mengenai beragam hipotesis ini lihat Braun, "Die liturgische Gewandung im Occident und Orient," bagian iv, ch. iii, n. 8; di sini hipotesis-hipotesis ini diuji dan diulas habis-habisan. Menelusuri jejak asal usul palium hingga ke perlengkapan busana kaisar, efod Imam Besar Yahudi, ataupun mantel Santo Petrus yang legendaris itu tidaklah dapat diperbolehkan. Mungkin pendapat yang benar mengenai palium adalah bahwa palium memang awalnya digunakan sebagai lencana liturgis paus, dan bukannya tidak mungkin bahwa palium adalah tiruan dari omoforion yang lazim dipergunakan dalam Gereja Timur.

Catatan kaki sunting

  1. ^ "A tradition in evolution". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-05-13. Diakses tanggal 2006-09-15.  Teks "Catholic News Service" akan diabaikan (bantuan)
  2. ^ Peter de Rossa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy (Corgi, 1988) p.137.
  3. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-06. Diakses tanggal 2007-02-17. 
  4. ^ http://www.intratext.com/IXT/ENG0017/_P1I.HTM
  5. ^ http://whispersintheloggia.blogspot.com/2006/01/of-provinces-and-pallia.html
  6. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-16. Diakses tanggal 2016-07-02. 

Sumber dan referensi sunting