Pakeliran merupakan semua bunyi vokal maupun instumental yang dipergunakan untuk mendukung suasana yang ingin dibangun dalam sebuah pementasan wayang.[1] Musik pakeliran secara umum meliputi gamelan, sindhen, penyanyi laki-laki, pemain gamelan dan lagu karawitan yang semua disesuaikan dengan pertunjukan wayang.[1] Gamelan yang menjadi musik pengiring pertunjukan wayang dimainkan dalam nada pelog atau slendro disesuaikan dengan suasana adegan yang sedang dimainkan.[2] Musik gamelan menjadi pendukung penyampaian nilai-nilai yang ada dalam pertunjukan wayang.[3] Jenis musik gamelan untuk pewayangan beda dengan musik gamelan untuk tari ataupun lagu karawitan biasa.[4] Pada perkembangan adat Jawa, musik gamelan yang mengiri wayang menjadi ciri hiburan kaum priyayi.[3] Dalam perkembangan kemudian, musik yang mengiringi pementasan wayang dikolaborasikan dengan musik modern dan menghasilkan musik pakeliran kontemporer.[5]

Sebuah pementasan wayang selalu didukung musik pakeliran

Unsur-unsur musik pakeliran sunting

Dalam seni pedalangan, musik pakeliran terdiri atas unsur-unsur berikut: gending dan tembang, kombangan, dodogan dan keprakan.[4]

Gending dan Tembang sunting

Gending dan tembang dalam musik pakeliran menggunakan iringan gamelan.[4] Akan tetapi, musik gamelan yang digunakan berbeda dengan musik untuk tarian dan lagu Jawa.[4] Gending atau lagu yang digunakan dalam pewayangan disebut gendhing wayang.[4] Gending ini memang digarap secara khusus untuk keperluan pewayangan demi membangun suasana yang ada dalam adegan-adegan pewayangan.[4] Ada 4 macam gendhing wayang yaitu gendhing patalon, gendhing jejer, gendhing playon dan gendhing perang

Gendhing patalon merupakan istilah untuk musik yang mengiringi pengantar awal pertunjukan wayang.[4] Patalon berasal dari kata talu (Jawa) yang artinya adalah memukul.[4] Musik ini menjadi tanda dimulainya sebuah pertunjukan wayang.[4] Contohnya adalah Cucur Bawuk, Pareanom dan Ketawang Sukma ilang.[4]

Gendhing jejer merupakan musik yang mengiringi adegan-adegan atau latar tertentu dalam pentas wayang.[4] Jejer merupakan bahasa Jawa untuk adegan.[4] Setiap adegan memiliki iringan yang khas.[4] Misalnya untuk adegan Kahyangan Suralaya digunakan Remeng, untuk adengan Astina dipakai gending Kawit.[4]

Gendhing playon adalah musik yang digunakan untuk mengiringi seorang tokoh yang sedang berada dalam perjalanan.[4] Playon dari kata mlayu yang artinya berlari.[4] Misalnya untuk perjalanan Gathotkaca digunakan Palaran Gathotkaca.[4]

Gendhing perang adalah istilah untuk musik yang mengiringi adegan perang.[4] Jenis musik ini mengiringi dua macam adegan perang, yaitu perang sederhana dan perang tanding atau besar.[4] Misalnya untuk perang biasa digunakan iringan dengan gending Srepek Lasem, sementara untuk perang tanding antara ksatria dengan ksatria digunakan Ganjur.[4] Perang antara binatang/raksasa dengan binatang digunakan Gangsaran.[4]

Kombangan sunting

Kombangan adalah kata kiasan yang berasal dari nama binatang berkaki enam kumbang, atau dalam bahasa Jawa Kombang.[4] Ciri khas dari binatang ini adalah mengeluarkan suara ngung atau mbrengengeng.[4] Maka kombangan adalah suara yang dikeluarkan dalang yang bunyinya mirip seperti kumbang.[4] Suara yang cenderung monoton ini mengikuti nada musik yang sedang dimainkan.[4] Fungsi kombangan adalah memantabkan suara gamelan yang sedang bermain, tanda musik akan berhenti atau sebaliknya musik akan bermain dalam tempo yang lebih cepat.[4]

Dhodogan dan Keprakan sunting

Dhodog adalah suara yang dihasilkan dari kotak wayang yang berada di samping seorang dalang.[4] Suara ini dihasilkan dari pukulan dalang pada kotak tersebut dengan alat bernama cempala.[4] Sementara keprak digantungkan di kotak wayang yang berada tepat di telapak kaki dalang.[4] Cara membunyikan keprak adalah dengan menekannya dengan jari atau telapak kaki.[4]

Rujukan sunting

  1. ^ a b Soetarno, dkk (2007). Estetika Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta. ISBN 979-8217-59-4. 
  2. ^ Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 295. 
  3. ^ a b Clifford Geerstz (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. hlm. 373. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Bambang Murtiyoso, dkk (2007). Teori Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta. ISBN 979-8217-60-8. 
  5. ^ Kiky Arisandy (2012). "Perkembangan Pementasan Kesenian Tradisional Wayang Kulit Bagi Masyarakat Desa Purworejo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung". Universitas Negeri Malang.