Pakandei atau pakaddei adalah upacara adat menyambut besan yang dilaksanakan oleh Suku Mentawai, terutama di Kecamatan Siberut Utara. Upacara adat ini merupakan rangkaian upacara perkawinan berupa pesta makan daging babi bersama. Upacara pakandei dapat diartikan sebagai penyambutan pihak keluarga perempuan terhadap pihak keluarga laki-laki yang telah menjadi anggota baru dalam uma atau keluarga mereka karena sebuah perkawinan.[1][2]

Pakandei berasal dari kata dasar "kandei" yang berarti besan. Di Mentawai, orang tua (ayah dan ibu) seorang mempelai laki-laki akan menyebut dan memanggil orang tua mempelai perempuan dengan sebutan kandei, begitu pula sebaliknya. Istilah kandei berlaku untuk kedua orang tua kandung mapun orang tua lainnya dalam satu suku atau uma.[3]

Pakandei masih dijalankan oleh Suku Mentawai hingga saat ini, tetapi tahap-tahapannya mengalami penyesuaian dengan kondisi zaman.[3]

Persiapan

sunting

Upacara pakandei dilaksanakan setelah upacara pangurei atau perkawinan yang waktunya disesuaikan dengan kesiapan pihak keluarga perempuan. Upacara ini memerlukan kelengkapan berupa bahan-bahan makanan seperti babi, ayam, sagu, kepala, keladi, dan lain sebagainya. Masa persiapan hingga pelaksanaan pakandei bisa memakan waktu satu hingga dua minggu. Mengumpulkan babi biasanya merupakan persiapan yang membutuhkan waktu paling lama. Total jumlah babi yang dibutuhkan minimal 19 ekor.[3]

Sebelum pakandei terdiri, terdapat beberapa tahapan. Pertama, paruruk atau musyawarah yang dilakukan untuk menentukan waktu pelaksanaan pakandei. Dalam paruruk, pihak keluarga perempuan datang ke pihak keluarga laki-laki dengan membawa hantaran berupa satu ekor babi. Setelah kesepakatan waktu didapat, pihak keluarga perempuan menyerahkan sejumlah ekor ayam ke pihak keluarga laki-laki.[3]

Kedua, poselat, yakni ketika pihak keluarga perempuan kembali menemui pihak keluarga laki-laki dengan membawa hantaran berupa satu ekor babi. Dalam tahap ini, kedua pihak bermusyawarah untuk menyiapkan bahan-bahan makanan dan perlengkapan pakandei. Biasanya bahan-bahan makanan disiapkan oleh pihak keluarga perempuan, sedangkan alat-alat memasak disiapkan oleh pihak keluarga laki-laki. Usai poselat, pihak keluarga laki-laki memberikan beberapa ekor ayam kepada pihak keluarga perempuan.[3]

Ketiga, panggalak, yakni ketika utusan pihak keluarga perempuan datang menjemput pihak keluarga laki-laki untuk datang ke uma mereka. Dalam tahap ini, pihak keluarga perempuan kembali membawa hantaran berupa satu ekor babi.[3]

Pelaksanaan

sunting

Setelah pihak keluarga laki-laki berada di uma pihak keluarga perempuan, barulah pakandei dimulai. Para perempuan mengolah dan memasak makanan, sedangkan para laki-laki menyembeli dan memasak semua babi yang sudah disiapkan. Setelah masakan selesai, maka akan dilakukan makan bersama.[3]

Setelah makan, kedua mempelai melewati prosesi mandi dengan air bekas rendaman kikiniban, sejenis jahe-jahean yang dicampur dengan air kunyit. Sehabis mandi, kedua mempelai mengenakan pakaian adat. Pengantin perempuan memakai ogok pinatundak (hiasan kepala yang terbuat dari lindik gambuat atau bulu ayam), ngalou (kalung manik-manik), silekkau (pengikat lengan dari manik-manik), dan mangok (gelang pergelangan tangan dari manik-manik). Adapun pengantin laki-laki memakai riasan berupa kabit (cawat dari kulit kayu), luat dan laigak leleu di kepala, tundak dan ngalou di leher, silekkau di lengan, dan mangok di pergelangan tangan. Di bagian pinggang, dikenakan thothoibok dan kikiniban, buah totonan, dan daun surak.[2]

Setelah kedua mempelai berpakaian adat, tataliku (para menantu) menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke uma pihak keluarga laki-laki. Di antaranya kelapa, sagu, keladi, ayam dalam laktang (tong besar), dan sejumlah babi. Babi yang dibawa disusun berdasarkan ukuran. Babi yang paling besar berada di urutan depan, sednagkan yang paling kecil berada di urutan belakang. Babi-babi tersebut dibawa dengan diarak menuju uma keluarga laki-laki.[3]

Rujukan

sunting
Catatan kaki
Daftar pustaka