Obskurantisme adalah tindakan yang dengan sengaja menyajikan informasi dengan cara yang berkesan kabur dan sukar dimengerti dengan tujuan agar tidak ada yang mencoba bertanya atau memahami lebih lanjut.[1] Istilah ini juga dapat mengacu kepada pembatasan pengetahuan secara sengaja agar pengetahuan tersebut tidak menyebar.

Cendekiawan humanis Johannes Reuchlin (1455–1522) secara aktif menentang obskurantisme yang bersifat religius.

Istilah ini berasal dari judul satir Epistolæ Obscurorum Virorum yang berasal dari tahun 1515–19. Isi satir tersebut didasarkan pada perdebatan intelektual antara humanis Jerman Johann Reuchlin melawan biarawan Johannes Pfefferkorn dari Ordo Dominikan mengenai apakah semua buku Yahudi harus dibakar akibat bidaah terhadap agama Kristen. Awalnya, pada tahun 1509, biarawan Pfefferkorn telah mendapatkan izin dari Maximilian I, Kaisar Romawi Suci (1486–1519), untuk membakar semua salinan Talmud di Kekaisaran Romawi Suci. Epistolæ Obscurorum Virorum merupakan satir argumen-argumen sang biarawan yang berupaya mendukung pembakaran karya-karya yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen.

Pada abad ke-18, para filsuf Abad Pencerahan menggunakan istilah "obskurantis" untuk semua musuh pencerahan intelektual dan penyebaran pengetahuan. Pada abad ke-19, untuk membedakan antara ragam-ragam obskurantisme di dalam bidang metafisika dan teologi dari obskurantisme yang lebih "halus" di dalam filsafat kritis Immanuel Kant, Friedrich Nietzsche berkata: "Unsur penting dalam seni hitam obskurantisme bukanlah upaya untuk menggelapkan pemahaman individual, tetapi ingin menggelapkan gambaran kita atas dunia, serta menggelapkan gagasan kita mengenai eksistensi."[2]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Oxford English Dictionary . OED Online (edisi ke-3rd). Oxford University Press. 2004. Opposition to inquiry, enlightenment, or reform ... 
  2. ^ Nietzsche, F. (1878) Human, All Too Human Vol. II, Part 1, 27. Cambridge University Press; 2 edition (13 November 1996). ISBN 978-0-521-56704-6