Mohammad Zamroni
Mohammad Zamroni (10 Agustus 1935 – 5 Februari 1996)[1] adalah seorang tokoh pemuda dan mahasiswa semasa kebangkitan Orde Baru di Indonesia.[1] Ia adalah salah satu pendiri organisasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).[1][2] Mohammad Zamroni beserta kawan-kawannya (termasuk Soe Hok-gie) sering mengadakan orasi politik di depan Universitas Indonesia dalam rangka memberi kritik kepada pemerintah.[2] Kariernya sebagai pengajar di sekolah sebagai pengajar agama Islam dan menjadi asisten Anggota DPR sejak tahun 1967 kemudian menjadi Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[1]
Mohammad Zamroni | |
---|---|
Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Pusat Ke-2 | |
Masa jabatan 1967 – 1973 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat | 10 Agustus 1935
Meninggal | 5 Februari 1996 RS Fatmawati, Jakarta Selatan ,Indonesia | (umur 60)
Makam | TPU Tanah Kusir |
Sunting kotak info • L • B |
Riwayat Hidup
suntingKegiatan organisasinya dimulai sebagai sekretaris Pelajar Islam Indonesia (PII) di kota Kudus, Jawa Tengah.[1] Ia juga menjadi sekretaris jenderal, pucuk pimpinan Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama di Yogyakarta.[1] Pada tahun 1966, Ia menjabat sebagai ketua presidium KAMMI Pusat bersama wakil-wakilnya, Cosmas Batubara (yang kemudian menjadi Menteri Perumahan Rakyat Kabinet Pembangunan IV), David Napitupulu, Ilyas, dan Mar'ie Mohammad.[1][3] Zamroni juga menjadi Ketua PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) sejak 1967, Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor sejak 1968, dan menjadi Sekretaris Jenderal PB NU sejak tahun 1979.[1]
Referensi
sunting- ^ a b c d e f g h (Indonesia)Hassan Shadily & Redaksi Ensiklopedi Indonesia (Red & Peny)., Ensiklopedi Indonesia Jilid 7 (VAK-ZWI). Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, hal.4029
- ^ a b (Indonesia) Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan Rambitan., Soe Hok-gie-- sekali lagi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, hal. 383
- ^ (Indonesia)J.B. Sudarmanto., Tengara Orde Baru: kisah Harry Tjan Silalahi. Jakarta: Gunung Agung, 2004, Hal. 171