Dalam sosiologi, modal budaya terdiri dari aset sosial seseorang (pendidikan, kecerdasan, gaya bicara dan pakaian, dll.) yang mempromosikan mobilitas sosial dalam stratifikasi masyarakat.[1] Modal budaya berfungsi sebagai hubungan sosial dalam praktik ekonomi (sistem pertukaran), yang terdiri dari semua material dan barang simbolis, tanpa distingsi, apakah masyarakat menganggapnya langka dan bernilai.[2] Sebagai hubungan sosial dalam suatu sistem pertukaran, modal budaya merupakan akumulasi pengetahuan budaya yang memberikan status sosial dan kekuasaan.[3][4]

Dalam bab "Cultural Reproduction and Social Reproduction" (1977), Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron merepresentasikan 'modal budaya' untuk menjelaskan secara konseptual, perbedaan tingkat kinerja dan prestasi akademik anak-anak dalam sistem pendidikan Prancis pada tahun 1960-an; dan konsep tersebut dikembangkan lebih lanjut dalam esai "The Forms of Capital" (1985) dan dalam buku The State Nobility: Élite Schools in the Field of Power (1996).

Jenis-jenis modal

sunting

Dalam esai soiologi yang berjudul, "The Forms of Capital" (1985), Pierre Bourdieu mengidentifikasi tiga kategori modal:

  1. Modal ekonomi: memerintah sumber daya ekonomi (uang, aset, properti).
  2. Modal sosial: aktualisasi dan potensi sumber daya yang berhubungan dengan kepemilikan jejaring yang bersifat tahan lama, dan dilembagakan dengan hubungan-hubungan saling kenal dan pengakuan.[5]
  3. Modal budaya: pendidikan seseorang (pengetahuan dan keterampilan intelektual) yang memberikan keuntungan dalam mencapai status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat.[6]
  4. Modal simbolik:

Jenis-jenis modal budaya

sunting

Ada tiga jenis modal budaya: (i) Modal budaya terkandung; (ii) Objektifikasi modal budaya; dan (iii) Modal budaya terlembagakan:

  1. Modal budaya terkandung terdiri dari pengetahuan yang diperoleh dengan sadar dan secara pasif diwariskan, dengan cara sosialisasi lewat budaya dan tradisi. Berbeda halnya dengan properti, modal budaya jenis ini tidak dapat ditransmisikan, tetapi diperoleh dari waktu ke waktu, karena bergantung pada habitus (karakter dan cara berpikir) seseorang, yang pada gilirannya, menjadi lebih mudah menerima pengaruh budaya serupa. Modal budaya linguistik adalah salah satu contoh modal budaya terkandung di mana penguasaan bahasa seseorang atas makna ketika berkomunikasi dan gambaran diri yang diperoleh dari budaya nasional.[7]
  2. Objektifikasi modal budaya terdiri dari barang properti seseorang (misalnya sebuah karya seni, instrumen ilmiah, dll.) yang dapat ditransmisikan sebagai keuntungan ekonomi (jual-beli) yang secara simbolis menyampaikan kepemilikan modal budaya tertentu, karena memiliki barang-barang tersebut. Namun, dalam kepemilikan sebuah karya seni (objektifikasi modal budaya), seorang pengguna atau pemilik karya seni, memahami makna dan landasan historis dari modal budaya sebelumnya dengan tepat. Oleh sebab itu, modal budaya jenis ini tidak dapat ditransmisikan lewat jual-beli karya seni, kecuali jika kebetulan sang penjual barang-barang tersebut menjelaskan signifikansi karya seni tersebut kepada pembeli.
  3. Modal budaya terlembagakan terdiri dari pengakuan lembaga formal atas modal budaya seseorang, biasanya berbentuk kualifikasi akademis atau profesional. Peran sosial terbesar dari modal budaya terlembagakan dalam pasar tenaga kerja. Hal ini merupakan ekspresi 'modal budaya' seseorang yang digunakan untuk mengukur modal budaya kualitatif dan kuatitatif dirinya (yang kemudian dibandingkan dengan ukuran 'modal budaya' orang lain). Pengakuan suatu lembaga formal memfasilitasi pertukaran 'modal budaya' dengan 'modal ekonomi', dengan menyajikan solusi praktis di mana 'penjual' dapat menggambarkan modal budayanya kepada 'pembeli'.[8]

Habitus dan ranah

sunting

Modal budaya seseorang terkait dengan habitus (kecenderungan-kecenderungan alamiah) dan ranah (posisi sosial) yang dimilikinya, yang dikonfigurasi sebagai struktur hubungan sosial.[9] Ranah adalah tempat atau posisi sosial yang didasari konflik-konflik yang terjadi ketika kelompok-kelompok sosial berusaha membangun, serta mendefinisikan apa yang menjadi 'modal budaya' baginya, dalam ruang sosial terberi. Oleh karena itu, berdasarkan ranah sosial, suatu jenis modal budaya dapat sekaligus menjadi sah atau tidak sah. Dengan cara itu, legitimasi (pengakuan sosial) atas suatu jenis modal budaya dapat berubah-ubah dan diturunkan dari modal simbolis.

Habitus sesorang tersusun atas disposisi intelektual yang disematkan kepadanya oleh keluarga atau lingkungan kekeluargaan, yang termanifestasikan sesuai sifat alamiah orang tersebut.[10][11][12] Dengan demikian, formasi sosial dari habitus seseorang dipengaruhi oleh keluarga,[13] akibat perubahan tujuan dalam kelas sosial,[14] yang juga diakibatkan interaksi sosial dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.[12] Selain itu, habitus seseorang juga dapat berubah ketika dia mengubah posisi sosial di dalam 'ranah'-nya.[13]

Penelitian teoretis

sunting

Konsep tentang modal budaya telah menerima perhatian luas di seluruh dunia, mulai dari teoritisi hingga para peneliti. Konsep ini sebagian besar digunakan dalam hubungannya dengan sistem pendidikan dan diskursus tertentu. Penggunaan konsep modal budaya Bourdieu dapat diurai ke dalam beberapa kategori dasar. Pertama, adalah mereka yang mengekplorasi teori ini sebagai alat eksplanasi kerangka kerja untuk penelitian. Kedua, adalah mereka yang menggunakannya untuk membangun atau memperluas teori. Ketiga, adalah mereka yang mencoba menyangkal temuan Bourdieu, dan mencari teori alternatif. Sebagian besar peneliti menggunakan teori Bourdieu untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, dan sebagian kecil menerapkan teorinya dalam kasus-kasus ketimpangan dalam masyarakat.

Kritik

sunting

Konsep modal budaya Bourdieu memuat banyak kritik, salah satunya adalah kurangnya kejelasan konseptual.[15] Hal ini menyebabkan para peneliti mengoperasionalisasikan konsepnya dengan cara-cara yang beragam, yang dapat dilihat dari kesimpulan mereka yang bervariasi. Sementara beberapa peneliti akan dikritik karena menggunakan pendekatan modal budaya yang hanya berfokus pada aspek-aspek tertentu dari budaya 'intelek'. Hal ini merupakan 'kritik' di mana konsep Bourdieu bekerja. Beberapa kajian telah diterapkan untuk memperbaiki pengukuran modal budaya, dalam rangka memeriksa aspek-aspek budaya kelas menengah mana saja yang benar-benar memiliki nilai dalam sistem pendidikan.[16][17][18][19]

Teori Bourdieu telah banyak diamati, khususnya mengenai gagasannya tentang habitus; yang sepenuhnya deterministik, dan tidak ada lagi tempat bagi masing-masing individu atau bahkan kesadaran individu.[20][21] Bourdieu juga dikritik atas kurangnya perhatian akan gender. Kanter (dalam Robinson & Garnier, 1986) menunjukkan kurangnya minat Bourdieu dalam topik ketidaksetaraan gender di pasar tenaga kerja dalam karyanya. Namun, Bourdieu membahas topik gender dalam bukunya yang berjudul Masculine Domination, yang diterbitkan tahun 2001. Dia juga menyatakan di halaman pertama pada pendahuluan buku tersebut, bahwa dominasi maskulin adalah contoh utama kekerasan simbolis.[22]

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Harper-Scott & Samson 2009, hlm. 52-55.
  2. ^ Derek et al. 2009, hlm. 127.
  3. ^ Harker 1990, hlm. 13.
  4. ^ Barker 2004.
  5. ^ Bourdieu 1986, hlm. 56.
  6. ^ Bourdieu 1986, hlm. 46-58.
  7. ^ Bourdieu 1990, hlm. 114.
  8. ^ Bourdieu 1986, hlm. 47.
  9. ^ King 2005, hlm. 223.
  10. ^ Harker 1990, hlm. 10.
  11. ^ Webb, Schirato & Danaher 2002, hlm. 37.
  12. ^ a b Gorder 1980, hlm. 226.
  13. ^ a b Harker 1990, hlm. 11.
  14. ^ King 2005, hlm. 222.
  15. ^ Sullivan, A. 2002, hlm. 144–166.
  16. ^ Sullivan, A. 2001, hlm. 893–912.
  17. ^ DiMaggio, P. 1982, hlm. 189–201.
  18. ^ Crook, C. J. 1997.
  19. ^ De Graaf, N. D., De Graaf, P. & Kraaykamp, G. 2000, hlm. 92–111.
  20. ^ DiMaggio, P. 1979, hlm. 1460–74.
  21. ^ King, A. 2000, hlm. 417–433.
  22. ^ Bourdieu 2001, hlm. 1.

Referensi

sunting

Bacaan lanjut

sunting