Lamun (Inggris: seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal.[1] Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat.[2] Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae).

Padang lamun di pesisir Florida.

Lamun tumbuh berkerumunan dan biasanya menempati perairan laut hangat yang dangkal dan menghubungkan ekosistem mangrove dengan terumbu karang. Wilayah perairan laut yang ditumbuhi lamun disebut padang lamun, dan dapat menjadi suatu ekosistem tersendiri yang khas.[3]

Istilah sunting

Istilah lamun untuk seagrass, pertama-tama diperkenalkan oleh Hutomo kepada para ilmuwan dan masyarakat umum pada era tahun 1980-an dalam disertasinya yang berjudul “Telaah Ekologik Komunitas Ikan pada Padang Lamun di Teluk Banten”,[4] lamun merupakan kelompok tumbuhan hidup di perairan laut dangkal. Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Berbeda dengan rumput laut (seaweed), lamun memiliki akar, batang dan daun sejati sehingga dikategorikan sebagai tumbuhan tingkat tinggi. Lamun juga berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Selain itu lamun dikenal sebagai tumbuhan berrumah dua, yaitu dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja.[5] Sistem pembiakan generatifnya cukup khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air dan buahnya terendam di dalam air.[6]

Klasifikasi dan penyebaran sunting

Lamun merupakan tumbuhan laut monokotil yang secara utuh memiliki perkembangan sistem perakaran dan rhizoma yang baik. Pada sistem klasifikasi, lamun berada pada kingdom Plantae, Sub kelas Monocotyledoneae, kelas Angiospermae. Di Indonesia sampai saat ini tercatat ada 13 spesies lamun. Kedua belas jenis lamun ini tergolong pada 2 famili dan 7 genus. Ketujuh genus ini terdiri dari 3 genus dari family Hydrocharitaceae yaitu Enhalus, Thalassia dan Halophila, dan 4 genus dari family Potamogetonaceae yaitu Syringodium, Cymodocea, Halodule dan Thalassodendron. Spesies: Cymodocea rotundata, Cymodocea serrrulata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halophila sulawessi, Syringidium isoetifolium, Thalasia hemprichii, Thalasodendrom ciliatum.[7]

Morfologi umum Lamun sunting

Morfologi lamun sama halnya dengan tumbuhan angiospermae di darat yaitu terdiri dari rhizome (rimpang), daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar dan berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga, serta tumbuh akar. Dengan rhizome dan akar inilah tumbuhan tersebut mampu menahan hempasan ombak dan arus. Tumbuhan lamun mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di laut, yaitu: (1). Mampu hidup di media air asin; (2). Mampu berfungsi normal dalam kondisi normal; (3). Mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang biak; (4). Mampu melakukan penyerbukan dan daun generatif dalam keadaan terbenam. Fungsi akar lamun adalah untuk menyerap nutrient dan sebagai tempat penyimpanan O2 hasil fotosintesis dan CO2 yang digunakan untuk fotosintesis.[8] Struktur rhizoma dan batangnya bervariasi di antara jenis-jenis lamun, sebagai susunan ikatan pembuluh pada stele. Rhizoma bersama-sama dengan akar, menancapkan lamun pada substrat. Rhizoma dan akar lamun dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga lamun tahan terhadap hempasan ombak dan arus. Rhizoma biasanya terkubur di bawah sedimen dan membentuk jaringan luar.[9] Tumbuhan lamun tidak memiliki stomata, namun memiliki lapisan kutikula yang tipis pada permukaan daun yang dapat menggantikan fungsi stomata sebagai tempat keluar masuknya udara dan adanya terjadinya transfer zat terlarut.[8]

Ciri-ciri spesies Lamun sunting

  • Cymodocea serrulata Memiliki daun yang berbentuk seperti pita yang lurus atau sedikit melengkung. Setiap tegakkan terdiri dari 2-3 helai daun. Dengan panjang daun 5,9-14,1 cm dan lebar 0,2-0,8 cm. Mempunyai ukuran batang yang pendek dan akar yang bercabang menempel pada rhizoma. Secara umum terlihat rhizoma berwarna kuning sampai kecoklatan.[5] Cymodocea rotundata memiliki tepi daun halus atau licin, tidak bergerigi, tulang daun sejajar, akar tidak bercabang, tidak mempunyai rambut akar, dan akar pada nodusnya terdiri dari 2-3 helai. Selain itu tiap nodusnya hanya terdapat satu tegakan.[10]
  • Thalassia hemprichii memiliki daun spesies ini berbentuk seperti pita dan tumbuh agak melengkung berbentuk seperti sabit yang tebal. Setiap tegakkan rata-rata memiliki 3 helai daun. Mempunyai batang dengan pelepah daun yang menyelimuti dan akar serta rhizoma berbentuk seperti saluran yang berbuku-buku.[5] Thalassodendron ciliatum memiliki rhizoma yang sangat keras dan berkayu, terdapat ligule, akar berjumlah 1-5, ujung daun membentuk seperti gigi, dan helaian daunnya lebar serta pipih. Daun-daunnya berbentuk sabit, dimana agak menyempit pada bagian pangkalnya.[6]
  • Enhalus acoroides memiliki akar berbentuk seperti tali, berjumlah banyak dan tidak bercabang. Panjangnya antara 18,50 – 157,65 mm dan diameternya antara 3,00 – 5,00 mm. Bentuk daun seperti pita, tepinya rata dan ujungnya tumpul, panjangnya antara 65,0 – 160,0 cm dan lebar antara 1,2 – 2,0 cm. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa individu atau kumpulan individu yang rapat. Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mempunyai ukuran paling besar, helaian daunnya dapat mencapai ukuran lebih dari 1 meter. Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter, pada dasar pasir, pasir lumpur atau lumpur.[11]
  • Halodule uninervis memiliki ujung daun yang berbentuk gelombang menyerupai huruf W, jarak antara nodus + 2 cm, dan rimpangnya berbuku-buku. Setiap nodusnya berakar tunggal, banyak dan tidak bercabang. Selain itu juga setiap nodusnya hanya terdiri dari satu tegakan, dan tiap tangkai daun terdiri dari 1 sampai 2 helaian daun.[12] Halodule pinifolia memiliki daun yang sangat panjang sekitar 6,9-15,2 cm dan sangat sempit dengan lebar sekitar 0,1-0,2 cm. Dan setiap tegakan terdapat 1-2 helai daun. Ukuran batang yang pendek dengan akar yang tumbuh dari rhizoma yang memiliki warna coklat kehitaman [5].
  • Halophila decipiens memiliki helai-helai daun yang berbulu, tembus cahaya, tipis menyolok, dan berbentuk oval atau elips. Selain itu mempunyai tepi daun yang bergerigi seperti gergaji, daun yang berpasang-pasangan, rhizomanya berbulu dan sering tampak kotor karena sedimen menempel pada bulu-bulu tersebut. Halophila spinulosa memiliki daun berbentuk bulat panjang, tepi daun tajam, rhizoma tipis dan kadang-kadang berkayu, dan setiap kumpulan daun terdiri dari 10-20 pasang helai daun yang saling berpasangan. Halophila minor memiliki 4-7 pasang tulang daun, daun berbentuk bulat panjang seperti telur, pasangan daun dengan tegakan pendek, dan panjang daun 0,5-1,5 cm.[6] Halophila ovalis adalah spesies yang hidup pada substrat berlumpur, memiliki daun yang berbentuk bulat telur (oval) berpasangan, ujung daun agak bulat dan akar tidak berambut. Serta memiliki rhizoma yang mudah patah.[5] Halophila sulawesii adalah spesies rumput laut baru yang diberinama tahun 2007. spesies ini memiliki ciri hampir mirip dengan Halophila ovalis yang hidup di perairan dalam. Perbedaan keduanya terletak pada posisi bunganya yaitu Halophila ovalis bunga jantan dan bunga betina letaknya terpisah pada dua individu yang berbeda (berumah dua/dioecious). Sedangkan pada Halophila sulawesii, bunga jantan dan betina berada dalam satu individu (berumah satu/monoecious), namun terletak pada ruas yang berbeda.
  • Syringodium isoetifolium memiliki akar tiap nodus majemuk dan bercabang, daun berbentuk silindris dan panjang, rimpangan yang tidak berbuku-buku, dan tiap tangkai daun terdiri dari 2-3 helaian daun. Selain itu juga mempunyai tangkai daun berbuku-buku.[13]

Faktor-faktor yang mempengaruhi Lamun sunting

  1. Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada kisaran 5 – 35 ⁰C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 – 30 ⁰C.[14]
  2. Salinitas. Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun akan mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian apabila berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10 – 45 ‰,[15] dan dapat bertahan hidup pada daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah hipersaline sehingga salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara gradien.[16]
  3. Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat dengan proses fotosintesis. Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk proses fotosintesis dalam proses pertumbuhannya.
  4. Substrat merupakan media bagi tumbuhan untuk memperoleh nutrien. Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang dan batu karang. Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat hidup pada substrat karang batu.[17]

Manfaat Lamun sunting

  1. sumber makanan. Lamun dapat dimakan oleh beberapa organisme. Avertebrata hanya bulu babi yang memakan langsung lamun, sedangkan dari vertebrata yaitu beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung, sedangkan bebek dan angsa memakan lamun jika lamun tersebut muncul pada surut terendah.[18]
  2. Stabilisator dasar perairan. Sebagai akibat dari pertumbuhan daun yang lebat dan sistem perakaran yang padat, maka vegetasi lamun dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang, oleh karena itu komunitas lamun dapat bertindak sebagai pencegah erosi dan penangkap sedimen. Rimpang dan akar lamun dapat menangkap dan menggabungkan sedimen sehingga meningkatkan stabilitas permukaan di bawahnya dan pada saat yang sama menjadikan air lebih jernih.[19]
  3. Padang lamun merupakan daerah asuhan untuk beberapa organisme. Sejumlah jenis fauna tergantung pada padang lamun, walaupun mereka tidak mempunyai hubungan dengan lamun itu sendiri. Banyak dari organisme tersebut mempunyai kontribusi terhadap keragaman pada komunitas lamun, tetapi tidak berhubungan langsung dengan nilai ekonomi. Beberapa organisme hanya menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di padang lamun dan beberapa dari mereka adalah ikan dan udang yang mempunyai nilai ekonomi penting. Telah diketahui bahwa pengerukan terhadap padang lamun di Florida mengakibatkan hilangnya udang komersial, Penaeus duorarum.[20]
  4. Suatu komoditas yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun modern. Secara tradisional, lamun telah dimanfaatkan antara lain untuk, pembuatan keranjang, dibakar untuk diambil garamnya, soda atau penghangat, untuk pengisi kasur, sebagai atap rumbia, untuk kompos dan pupuk, digunakan untuk isolasi suara dan suhu, dapat sebagai pengganti benang dalam membuat nitrosellulosa, dan sebagainya. Sedangkan pemanfaatan secara modern adalah sebagai penyaring limbah, penstabilitasi pantai, bahan untuk kertas, pupuk, dan makanan ternak, serta sebagai bahan obat-obatan.[20]

Padang lamun sunting

Padang lamun (seagrass bed) adalah hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir/laut dangkal yang terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman yang padat (dense) atau jarang (sparse). Ekosistem lamun (seagrass ecosystem) adalah satu sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik (air dan sedimen) dan biotik (hewan dan tumbuhan).[20] Padang lamun dapat membentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh membentuk padang lebat, sedangkan vegetasi campuran terdiri dari 2-12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendrom ciliatum. Sedangkan yang tumbuh dengan vegetasi campuran adalah Cymodocea rotundata, Halodule pinifolia, dan Syringodium isoetifolium.[5] Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan pantai yang sangat penting, baik secara fisik maupun biologis, karena selain memiliki produktivitas primer tinggi, pendaur zat hara, tempat untuk mencari makan (feeding ground), berpijah (spawning ground), pembesaran (nursery ground) dan berlindung (shelter) berbagai biota laut, seperti ikan, krustasea, moluska (Pinna sp., Lambis sp., dan Strombus sp.), ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp., Linckia sp.) dan cacing (Polichaeta).[10] Secara ekologi, lamun memainkan peranan penting di perairan laut dangkal, sebagai pelindung dasar perairan dari erosi.[21] Padang lamun juga berfungsi sebagai penyaring nutrient yang berasal dari sungai atau laut, pemecah gelombang dan arus, serta meningkatkan kualitas air laut dengan membantu pengendapan substrat dan menstabilkan sedimen.[22] Dilihat dari pola zonasi lamun secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem penting yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun sangat berhubungan erat dan berinteraksi serta sebagai mata rantai (link) dan sebagai penyangga (buffer) dengan mangrove di pantai dan terumbu karang ke arah laut.

Upaya pemulihan Lamun sunting

Transplantasi lamun merupakan salah satu usaha restorasi pada lamun yang telah mengalami kerusakan baik itu karena ancaman dari manusia seperti peningkatan kegiatan antropogenik di daerah pesisir (perikanan, pembangunan, pelabuhan, perumahan, rekreasi), juga ancaman tidak langsung seperti sebab-sebab alami (angin siklon dan banjir).[23] Transplantasi lamun adalah suatu metode penanaman lamun yang telah dikembangkan untuk melakukan usaha restorasi di daerah padang lamun yang telah mengalami kerusakan.[24] Transplantasi adalah memindahkan dan menanam di tempat lain; mencabut dan memasang pada tanah lain atau situasi lain. Restorasi adalah membuat kembali atau meletakkan kembali ke bentuk sebelumnya atau keadaan yang asli, memperbaiki; memperbarui; membuat kembali.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ WOOD, E.J.F., W.E. ODUM and J.C. ZIEMAN 1969. Influence of seagrass on the productivity of coastal lagoons. In: Memoirs Symposium International Costeras (UNAM-UNESCO).. Nov’ 28-30-1967: 495-502
  2. ^ THOMLINSON, P.B. 1974. Vegetative mor-phology and meristem dependence - the Foundation of Productivity in seagrass. Aquaculture 4: 107-130.
  3. ^ (Indonesia)Lamun, pelindung biota laut yang terlupakan - Lipi.go.id
  4. ^ Hutomo. 1985. Telaah Ekologi Komunitas Ikan pada Padang Lamun di Teluk Banten. Fakultas Pasca Sarjana. IPB, Bogor
  5. ^ a b c d e f Sakey, F., Weby, Wagey, T., Bily dan Gerung, S., Grevo. 2015. Variasi Morfometrik pada Beberapa Lamun di Perairan Semenanjung Minahasa. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis 1 (1):1-7
  6. ^ a b c PHILLIPS, R.C. and G. MENEZ 1988. Seagrasses. Smithsonian Inst. Press, Washington. 193 pp.
  7. ^ Philips, C.R. and E.G. Menez.1988. Seagrass in: Smithsonian Contribusion to the Marine Science no.34. Smithsonian Institutions Press, Washington D.C.
  8. ^ a b Tomascik, T, AJ Mah, A Nontji, and MK Moosa. 1997. The Ecology of Indonesian Seas Part Two. Periplus Edition
  9. ^ Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia: Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi–LIPI. Jakarta, Indonesia.
  10. ^ a b Nybakken. J. 1998. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia, Jakarta
  11. ^ Kiswara, W., 1992, Community Structure and Biomass Distribution of Seagrass at Banten Bay, West Java, Indonesia.
  12. ^ Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
  13. ^ Romimohtarto, K. Juwana, S. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan, Jakarta.
  14. ^ Marsh JA, WC Dennison, RS Alberte. 1986. Effects of Temperature on Photosynthesis and Respiration in Eelgrass (Zostera marina). J. Exp. Mar.Biol. Ecol. 101: 257-267
  15. ^ Hemminga, M. A. dan Duarte. C. M. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge: Cambridge University Press . Australia.
  16. ^ McKenzie, L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory 18- 20 Oktober. Cairns, Australia. Hal: 9–16.
  17. ^ Kiswara, W dan Hutomo, M, 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun. Oseana, Volume X, No 1. LIPI. Jakarta.
  18. ^ McROY, C.P. and C. HELFFREICH 1980. Applied aspects of seagrass. In:Handbook of seagrass biology: an ecosystem perspective (R.C. Philiiips and C.P. McRoy, eds.).: 297-343.
  19. ^ THORHAUG, A. and C.B. AUSTIN 1976. Restoration of seagrass with economic analysis. Env. Conserv 3 (4): 259-267.
  20. ^ a b c Azkab, H., M. 2006. Ada Apa dengan Lamun. Jurnal Oseana XXXI (3): 45 - 55
  21. ^ Fortes, M.D., 1989. Seagrasses: a resources unkown in the ASEAN region. ICLARM Education Series 5: 46 pp.
  22. ^ Purnomo, K., H., Yusniawati, Y., Putrika, A., Handayani, W. dan Yasman. 2017. Keanekaragaman Spesies Lamun pada Beberapa Ekosistem Padang Lamun di Kawasan Taman Nasional Bali Barat. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 3 (2): 236-240.
  23. ^ Kiswara W. 2009. Perspektif Lamun dalam Produktivitas Hayati Pesisir. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun “Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim”. 18 November 2009. PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI. Jakarta
  24. ^ Hutomo M &Soemodihardjo S. 1992. Prosiding Lokakarya Nasional Penyusunan Program Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia–Universitas Diponegoro.

Bacaan lebih lanjut sunting

  • den Hartog, C. 1970. The Sea-grasses of the World. Verhandl. der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Natuurkunde, No. 59(1).
  • Duarte, Carlos M. and Carina L. Chiscano “Seagrass biomass and production: a reassessment” Aquatic Botany Volume 65, Issues 1–4, November 1999, Pages 159–174.
  • Green, E.P. & Short, F.T.(eds). 2003. World Atlas of Seagrasses. University of California Press, Berkeley, CA. 298 pp.
  • Hemminga, M.A. & Duarte, C. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University Press, Cambridge. 298 pp.
  • Hogarth, Peter The Biology of Mangroves and Seagrasses (Oxford University Press, 2007)
  • Larkum, Anthony W.D., Robert J. Orth, and Carlos M. Duarte (Editors) Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation (Springer, 2006)
  • Orth, Robert J. et al. "A Global Crisis for Seagrass Ecosystems" BioScience December 2006 / Vol. 56 No. 12, Pages 987–996.
  • Short, F.T. & Coles, R.G.(eds). 2001. Global Seagrass Research Methods. Elsevier Science, Amsterdam. 473 pp.
  • A.W.D. Larkum, R.J. Orth, and C.M. Duarte (eds). Seagrass Biology: A Treatise. CRC Press, Boca Raton, FL, in press.
  • A. Schwartz; M. Morrison; I. Hawes; J. Halliday. 2006. Physical and biological characteristics of a rare marine habitat: sub-tidal seagrass beds of offshore islands. Science for Conservation 269. 39 pp. [1]
  • Waycott, M, McMahon, K, & Lavery, P 2014, A guide to southern temperate seagrasses, CSIRO Publishing, Melbourne

Pranala luar sunting