Kyai Mursalin adalah seorang ulama dari Kepulauan Seribu, tepatnya dari Pulau Panggang, yang juga piawai ilmu bela diri. Ilmu bela diri yang dikuasai oleh Kyai Mursalin disebut dengan pukulan Nek Aing. Oleh karena itu, ia juga kerap dipanggil sebagai Nek Aing. Pada awalnya, ilmu silat Nek Aing difungsikan untuk melindungi diri dari marabahaya. Dalam perkembangannya, Kyai Mursalin menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya sebagai media dakwah di pulau-pulau terpencil di Kepulauan Seribu. Siapa saja yang ingin mempelajari ilmu bela diri dari Kyai Mursalin, diharuskan mendalami agama Islam lebih dulu, misalnya dengan belajar tentang Asmaul Husna.

Kehidupan awal

sunting

Kyai Mursalin lahir dan besar di Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Ayahnya bernama Nailin, merupakan seorang pendatang dari Cemplang, Cibatok, Bogor. Menurut riwayat, Kyai Mursalin masih keturunan Kyai Muhiddin dan Pangeran Jayakusuma dari garis sang ayah. Kedatangan ayah Kyai Mursalin di Kepulauan Seribu bermula dari perintah hijrah untuk keperluan dakwah Islam. Bersama adiknya, Nailun, ayah Kyai Mursalin berangkat dari Cemplang tanpa tujuan pasti dengan menaiki sebuah getek. Nailin dan Nailun sampai di muara Cisadane dan singgah di Desa Kramat Panjang, Rawa Sabang, Jakarta. Keduanya kemudian menetap di sana dan menikahi gadis setempat. Nailin dan istrinya dikaruniai seorang putra, yaitu Kyai Mursalin.

Sejak kecil, Kyai Mursalin sudah ikut bersama ayah dan ibunya memperluas lahan untuk bertani kelapa. Pembukaan lahan terus dilakukan sampai akhirnya melebar ke Pulau Kotok, Pulau Karya, dan Pulau Panggang. Di Pulau Panggang inilah mereka membangun rumah dan menetap sebagai pedagang sekaligus berdakwah.

Kiprah

sunting

Selain berdakwah, Nailin dan Nailun juga mengajarkan ilmu pencak silat yang mereka kuasai di Pulau Panggang. Kyai Mursalin pun mewarisi ilmu pencak silat dari ayahnya, yang kemudian berkembang menjadi pukulan Nek Aing. Selain dari sang ayah, Kyai Mursalin juga mengembangkan ilmu bela dirinya dengan berguru dari para pendekar Parung Sapi, Bogor, Banten, Betawi, Bugis, dan Mandar, yang ia jumpai di Kepulauan Seribu. Tidak disangka, penduduk Panggang banyak yang antusias untuk mempelajari ilmu pencak silat yang dikuasainya.

Oleh karena itu, tercetus ide di benak Kyai Mursalin untuk menjadikan ilmu bela diri sebagai wadah untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Bagi siapa pun yang ingin belajar silat Nek Aing, diharuskan memahami lebih dulu ilmu agama Islam, misalnya belajar tentang Asmaul Husna. Selain itu, muridnya juga diminta mengaji terlebih dulu di mushala dan barulah selepas salat Isya akan turun ke halaman untuk berlatih pukulan.

Jurus pukulan Nek Aing

sunting

Gaya silat yang diajarkan oleh Kyai Mursalin berbeda dari ilmu bela diri pada umumnya yang didominasi oleh gerakan fisik. Gerakan Kyai Mursalin lebih menekankan pada ilmu kebatinan Islam. Untuk melumpuhkan musuh, metode utama yang digunakan adalah ilmu tenaga dalam atau kracht. Ada 99 jurus dari pukulan Nek Aing, yang nama-namanya diambil dari Asmaul Husna. Salah satu ciri khas dari pukulan Nek Aing adalah jeblag, yaitu mendorong satu atau kedua tangan yang disertai dengan pengelolaan napas perut sambil melafalkan nama Allah menggunakan kuda-kuda tegak berdiri yang disebut Alif Amantubillah.

Sayangnya, saat ini ilmu pencak silat Nek Aing sudah tidak terlalu dilestarikan di Pulau Panggang. Murid-murid yang dulu sempat belajar langsung dengan Kyai Mursalin juga sudah banyak yang meninggal. Sebagai langkah agar jasa Kyai Mursalin selalu diingat masyarakat, namanya diabadikan sebagai nama jalan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.[1]

Referensi

sunting