Kongō Gumi

perusahaan asal Jepang

Kongō Gumi Co., Ltd. (株式会社金剛組, Kabushiki Gaisha Kongō Gumi) adalah sebuah perusahaan konstruksi Jepang yang sekali waktu pernah menjadi perusahaan tertua di dunia yang masih beroperasi lebih dari 1400 tahun, sampai akhirnya diserap oleh perusahaan yang lebih besar. Berkantor pusat di Osaka, perusahaan konstruksi yang dikelola oleh keluarga Kongo secara turun temurun ini bermula dari tahun 578 Masehi, saat salah seorang tukang kayu Korea asal Baekje yang diundang oleh Pangeran Shotoku ke Jepang untuk membangun kuil Buddha Shitenno-ji memutuskan untuk menjalankan usahanya sendiri.

Beberapa karyawan Kongō Gumi, awal abad ke-20.

Selama berabad-abad, Kongo Gumi terlibat dalam pembangunan banyak bangunan terkenal di Jepang, termasuk bangunan indah abad ke-16, Istana Osaka. Sebuah gulungan sepanjang 10 kaki dari abad ke-17 menuliskan ke-40 generasi keluarga Kongo sejak awal pendirian perusahaan. Seperti layaknya perusahaan swasta Jepang lainnya, anak laki-laki menantu sering kali masuk ke dalam klan dan menyandang nama keluarga istrinya. Selama bertahun-tahun, perusahaan ini dijalankan oleh baik anak lelaki maupun perempuan.

Perusahaan ini mengalami kebangkrutan besar dan dilikuidasi pada bulan Januari 2006. Asetnya dibeli oleh Takamatsu Construction Group.[1][2] Sebelum dilikuidasi, Kongo Gumi mempekerjakan lebih dari 100 orang pegawai dan pendapatan tahunannya mencapai ¥ 7,5 triliun ($ 70 juta) pada tahun 2005; di mana usahanya dikhususkan pada pembangunan kuil Buddha. Presiden terakhirnya adalah Masakazu Kongo, generasi ke-40 keluarga Kongo. Pada akhir tahun 2006, Kongo Gumi melanjutkan operasinya sebagai cabang dari Takamatsu dan perlu diketahui, keluarga Kongo masih tetap berprofesi sebagai tukang kayu.

Referensi sunting

  1. ^ (Jepang) Announcement of business transfer from Kongō Gumi Takamatsu Corporation IR Topics, 14 December 2005.
  2. ^ "End of the Road for World's Oldest Firm" Diarsipkan 2008-09-19 di Wayback Machine. Digital Chosunilbo (English Edition), 15 December 2005.

Pranala luar sunting