Kesultanan Singora

(Dialihkan dari Kesultanan Singgora)

Koordinat: 7°12′56″N 100°34′04″E / 7.2155°N 100.5677°E / 7.2155; 100.5677

Kesultanan Singora adalah sebuah negara kota berumur pendek di Thailand Selatan dan pendahulu sebuah kota yang saat ini bernama Songkhla. Kota tersebut didirikan pada tahun 1605 oleh seorang Persia, Dato Mogol, dan berkembang selama pemerintahan putranya, Sultan Sulaiman Shah. Setelah masa konflik, Singora dihancurkan oleh pasukan Siam pada 1680. Sisa-sisa kota tersebut meliputi benteng-benteng, dinding-dinding kota dan makam Sultan Sulaiman Shah. Sebuah meriam dari Singora yang terdapat cap Sultan Sulaiman Shah disimpan di halaman Royal Hospital Chelsea, London.

Kesultanan Singora

1605–1680
Lokasi Kesultanan Singora
Peta
Ibu kotaSingora
PemerintahanKesultanan
Era SejarahZaman Ayuthaya
• Didirikan
1605
• Dibubarkan
1680
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Upeti Bunga Mas yang dikirimkan kepada Siam
Negara-negara vasal Siam di bagian selatan semenanjung menunjukan kesetiaan kepada Ayuthaya dengan mengirimkan upeti. Bersama dengan budak dan senjata, upeti terdiri dari Bunga Mas, sebuah pohon kecil yang dihiasi dengan emas.[1]

Sejarah kesultanan tersebut didokumentasikan dalam catatan, surat, dan jurnal yang ditulis oleh pedagang-pedagang Britania dan Perusahaan Hindia Timur Belanda; keruntuhan kota tersebut didiskusikan dalam buku-buku dan laporan-laporan yang ditulis oleh para anggota duta besar Prancis untuk Siam pada pertengahan 1680an. Sejarah keluarga Sultan Sulaiman juga dikisahkan: diketahui keturunannya meliputi Jenderal Chavalit Yongchaiyudh (Perdana Menteri Thailand ke-22), seorang mantan laksamana Angkatan Laut Kerajaan Thai dan sebuah keluarga penenun sutra di provinsi Surat Thani.

Sultan Sulaiman bukanlah satu-satunya orang Persia yang mengembangkan kekuasaan di Siam pada abad ke-17. Sumber kontemporer mendeskripsikan bagaimana orang-orang Persia mendapatkan posisi otoritas di pusat Siam, Ayuthaya, dan provinsi-provinsinya. Seorang duta dikirim ke Siam atas nama Shah dari Persia pada akhir abad ke-17 menyatakan telah bertemu gubernur berdarah Persia di dua kota utama saat perjalanan menuju Ayuthaya; sumber lainnya menyatakan bahwa orang-orang Persia diberikan status yang tinggi dan diberikan perlindungan oleh raja.

Sejarah awal sunting

Singora, terkadang dikenal sebagai Songkhla di Khao Daeng, adalah pendahulu dari sebuah kota yang saat ini bernama Songkhla.[2][note 1] Kesultanan ini terletak diatas dan sepanjang kaki bukit pegunungan Khao Daeng di Singha Nakhon.[3] Kota ini didirikan pada tahun 1605 oleh Dato Mogol, seorang Muslim Persia yang menjadi suzerainty Siam dan membayar upeti kepada Ayuthaya. Dari awal, tempat tersebut ditetapkan sebagai pelabuhan bebas bea cukai dan bersaing dengan tetangganya Kesultanan Pattani dalam hal perdagangan.[4]

Jeremias van Vliet, direktur pabrik Perusahaan Hindia Timur Belanda di Ayuthaya, mendeskripsikan Singora sebagai salah satu kota penting di Siam dan pusat perdagangan berpengaruh untuk timah, timbal dan lada.[5][6] Pada tahun 1622, Belanda mengekspor lebih dari 500 ton lada dari Singora.[7] Manfaat lain yang diperoleh dari letak Singora adalah: kotanya ideal, pelabuhannya alami,[8] dan merupakan bagian dari jaringan rute darat dan rute sungai yang dapat mempercepat perdagangan antar-semenanjung dengan Kesultanan Kedah.[9]

Dato Mogol wafat pada 1619 dan digantikan oleh putra sulungnya, Sulaiman.[10][note 2]

Kemerdekaan sunting

Pada Desember 1641, Jeremias van Vliet meninggalkan Ayuthaya dan berlabuh ke Batavia. Dalam perjalanannya, ia berhenti di Singora pada Februari 1642 dan mengirimi Sulaiman sebuah surat perkenalan dari Phra Khlang (disebut oleh orang Belanda sebagai Berckelangh), pimpinan Siam yang bertugas untuk urusan luar negeri.

Sulaiman memproklamasikan kemerdekaan politik dari Ayuthaya dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sultan Sulaiman Shah.[4][11] Ia memodernisasikan pelabuhan

Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1668 [11] dan digantikan oleh putra sulungnya, Mustapha.[12] Kepercayaan militer Singora pada saat itu yang dibuktikan dengan memberikan bantuan kepada Pattani saat bertempur dalam sebuah perang. Meskipun kalah jumlah 12:56, Singora menolak upaya mediasi oleh Sultan Kedah dan tepercaya dalam "prajurit yang gagah dan berpengalaman" yang setelah bertahun-tahun perang telah menjadi penembak jitu dan penembak meriam yang terampil. Pada masa pemerintahan Mustapha, seorang petualang Yunani, Constance Phaulkon, datang ke Siam. Setelah tiba di Ayuthaya pada akhir 1670an, ia memulai misi penyeludupan senjata ke Singora. Namun, perjalanannya berakhir dengan bencara saat ia terdapat di lepas pantai Ligor (Nakhon Si Thammarat).[13]

Pemusnahan sunting

 
Benteng 8, Khao Daeng di Gunung Khao Daeng; benteng-bentang di sisi bukit digunakan untuk mempertahankan Singora sebelum kerajaan tersebut dihancurkan

Pada tahun 1679, armada Siam Raja Narai memulai serangan akhir untuk membatalkan pemberontakan Singora. Beberapa peristiwa dilaporkan oleh Samuel Potts, seorang pedagang Perusahaan Hindia Timur Britania yang berbasis di Singora pada waktu itu. Dalam salah satu suratnya, ia melaporkan tentang kota tersebut yang bersiap untuk perang:

"Raja tersebut membentengi Kotanya, menembaki Benteng-Bentengnya yang berada diatas bukit, membuat semua persediaan yang ia dapat untuk pertahanannya, tidak diketahui bagaimana sampai Raja Siam sampai menentangnya."

— Samuel Potts, Samuel Potts di Sangora kepada Richard Burnaby di Siam, 22 Januari 1679.[14]

Dampaknya didokumentasikan oleh perwakilan duta-duta Prancis untuk Siam pada 1685 dan 1687.

Warisan sunting

Ketika Singora dikalahkan, dua putra Sultan Sulaiman diberikan jabatan lain oleh Raja Narai di Siam: Hussein dan Mustapha ditunjuk menjadi Gubernur Phattalung dan Chaiya;[12] Generasi berikutnya dari keluarga Sultan Sulaiman memiliki hubungan erat dengan keluarga kerajaan Siam: Putri Sri Sulalai (permaisuri dari Raja Rama II) adalah keturunan dari Sultan Sulaiman dan ibu dari Raja Rama III.[15] Saat ini, keturunan Sultan Sulaiman meliputi Laksamana Niphon Sirithorn (seorang mantan laksamana Angkatan Laut Kerajaan Thai);[10] Jenderal Chavalit Yongchaiyudh, Perdana Menteri Thailand ke-22;[16] dan sebuah keluarga penenun sutra di provinsi Surat Thani.[12]


Benteng-benteng di Khao Daeng sunting

Reruntuhan Singora terbuka bagi publik.[3][17] Empat belas reruntuhan benteng dapat dikunjungi: enam diantaranya (benteng 4,5,6,7, 8 dan 10) terletak diatas pegunungan Khao Daeng; yang lainnya berada di sepanjang kaki bukit.[18] Salah satu yang paling dapat dijangkau adalah benteng 9: benteng tersebut berada di atas sebuah bukit kecil dan dapat dilihat dari jalan utama yang mengarah dari Singha Nakhon menuju Pulau Ko Yo. Benteng 8 juga mudah dijangkau. Hal ini dapat diakses melalui tangga dekat masjid Sultan Sulaiman Shah dan menawarkan pemandangan Pulau Tikus dan Songkhla. Namun, benteng yang memiliki pemandangan yang bagus adalah benteng 6 yang berada di atas Khao Daeng. Benteng tersebut dapat dicapai dengan naik penerbangan yang dimulai dekat museum arkeologi kecil. Pendakian ke puncak melewati benteng 4 dan 5 berada di puncak juga terdapat dua pagoda: Keduanya dibangun di atas pangkalan benteng 10 pada tahun 1830an untuk memperingati kekalahan pemberontakan di Kedah (pada saat diduduki oleh Siam).[18][19]

 
Meriam Singora di Royal Hospital Chelsea di London

Makam Sultan Sulaiman Shah sunting

Terletak di pemakaman Muslim yang berjarak sekitar 1 km dari utara Khao Daeng, makam Sultan Sulaiman Shah dirumahkan dalam ukuran kecil dengan paviliun bergaya Thai yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar.[20] Makam tersebut disebutkan dalam Sejarah Kerajaan Melayu Patani, sebuah naskah Javi yang berasal dari Hikayat Patani.[21] Teks tersebut mendeskripsikan Sultan Sulaiman sebagai seorang raja Muslim yang wafat dalam pertempuran dan makam tersebut sebagai "penuh ketiadaan tapi hutan".[22] Makam tersebut adalah tempat ziarah di selatan Thailand, dimana Sultan Sulaiman sama-sama dihormati baik oleh kaum Muslim maupun kaum Buddhis.[23]

Meriam Singora di London sunting

Meriam tersebut tetap berada disana sampai direbut saat perang Burma-Siam 1765–1767 dan dibawa ke Burma. Meriam tersebut kemudian diambil oleh Britania pada saat Perang Inggris-Burma Ketiga (1885–1887) dan dibawa ke Inggris. Pada tahun 1887, meriam tersebut diperlihatkan di Royal Hospital Chelsea di London dan diletakan pada penyimpanan di samping tiang bendera di halaman Dewan Tokoh. Pada meriam tersebut terdapat sebelas inskripsi, sembilan diantaranya diukir dengan tulisan Arab dan dilapisi dengan perak. Salah satu inskripsi menyebutkan nama pengukirnya, Tun Juma'at Abu Mandus dari Singora; yang lainnya (ukiran gambar) dibuat dengan ornamen desain lingkaran dan terbaca "Cap Sultan Sulaiman Shah, Raja Kemenangan".[24][25][26]

Orang-orang Persia di Siam pada abad ke-17 sunting

Sultan Sulaiman Shah dan keluarganya bukanlah satu-satunya orang Persia yang mengembangkan kekuasaan di Siam pada abad ke-17. Naskah Ayuthaya menyatakan bahwa saudara-saudara Persia Sheikh Ahmad dam Muhammad Said datang ke Siam pada awal 1600an. Sheikh Ahmad memiliki hubungan akrab dengan Raja-Raja Songtham dan Prasat Thong, dan kemudian diangkat menjadi Phra Khlang. Keturunannya, keluarga Bunnag, menonjol secara politik pada tiga abad berikutnya.[27] Dalam surat tertanggal 1679, seorang karyawan Perusahaan Hindia Timur Britania mendiskusikan tentang perdagangan di semenanjung barat dan menyatakan bahwa "perdagangan yang cukup besar ini dikembangkan oleh orang-orang Persia dan Moor";[28] Diplomat Prancis Simon de la Loubère menyatakan bahwa dewan pimpinan dan provinsi-provinsi penting berada "di tangan-tangan Moor";[29] seorang pemimpin Persia, Aqa Muhammad, adalah salah satu punggawa kesayangan Raja Narai pada 1670an;[30] dalam Kapal Sulaiman, sebuah catatan dari seorang perwakilan yang dikirim ke Siam pada tahun 1685 atas nama Shah dari Persia, Sulaiman I, seorang narator menceritakan tentang pertemuan gubernur-gubernur berdarah Persia di Mergui (kemudian bagian dari Siam) dan Phetchaburi;[31] Jeremias van Vliet, Direktur pabrik Perusahaan Hindia Timur Belanda di Ayuthaya, menemukan bahwa "orang-orang Moor" dilindungi oleh raja.[32]

Catatan sunting

  1. ^ Pengucapan alternatifnya adalah Singgora dan Singkhora.
  2. ^ Tanda tangan di atas makam Sulaiman diberikan tanggal penobatannya pada tanggal 1619; sebuah plakat baja dekat museum arkeologi negara "Situs ini dikenal sebagai sebuah kota pelabuhan berpengaruh selama zaman Ayuthaya pada abad ke-17 Masehi. Ia memainkan peran penting baik secara lokal maupun antar-wilayah pada waktu itu. Datoh Mogal, yang ditunjuk sebagai gubernur Singora, adalah orang yang berinisiasi dan mengembangkan perdagangan maritim dengan pedagang-pedagang internasional. Dengan mengenalkan dan mengembangkan kota tersebut sebagai sebuah pelabuhan internasional, Datoh Mogal mendapatkan pendapatan dalam jumlah besar dari kapal-kapal asing bagi pusat ibu kota Ayuthaya. Datoh Mogal digantikan oleh putranya, Sultan Sulaiman, pada tahun 1620. Sultan Sulaiman diangkat oleh Raja Songtham (1610-1628) dari Kerajaan Ayuthaya. Singora di bawah kekuasaan Sulaiman adalah tempat perdagangan terkenal."

Referensi sunting

  1. ^ Ravenswaay, pp. 37–38.
  2. ^ Chounchaisit, p. 1.
  3. ^ a b Chounchaisit, p. 126.
  4. ^ a b Choungsakul, pp. 44–45.
  5. ^ Ravenswaay, p. 11.
  6. ^ Ravenswaay, halaman 68.
  7. ^ Colonial Papers. East Indies Diarsipkan 2014-08-29 di Wayback Machine. (Lihat entri dari 11 Januari 1622; Batavia)
  8. ^ Jacq-Hergouach, p. 80.
  9. ^ Falarti, pp. 147–148
  10. ^ a b Sejarah keluarga Sultan Sulaiman Diarsipkan 2014-01-02 di Wayback Machine. Angkatan Laut Kerajaan Thai (Thai). Artikel ini terdiri dari dua halaman: halaman pertama mendiskusikan tentang keluarga Dato Mogal; halaman kedua menyatakan tentang Laksamana Siriton adalah keturunan dari Sultan Sulaiman.
  11. ^ a b Umar, p. 15.
  12. ^ a b c Good Man Town: Surat Thani Tourist Information, pp. 33–35. Halaman 33 dari terbitan pemerintahan Thai dalam bahasa Thai menyebutkan Mustapha dan Hussein; halaman 35 dalam versi bahasa Inggris hanya menyebutkan Mustapha.
  13. ^ Hutchinson, pp. 3–4.
  14. ^ Catatan nengenai hubungan antara Siam dan negara-negara asing pada abad ke-17. Vol. 2, p.214.
  15. ^ Putthongchai, halaman 98.
  16. ^ Putthongchai, p. 82.
  17. ^ "Kota Tua di Kaki Bukit Khao Daeng". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-03-22. Diakses tanggal 2014-04-15. 
  18. ^ a b Reruntuhan dan dinding kota Singora Kementerian Kebudayaan Thai (Thai)
  19. ^ Dua pagoda Diarsipkan 2016-03-05 di Wayback Machine. Cultural Office, Songkhla (Thai)
  20. ^ Makam Sultan Sulaiman Shah Kementerian Kebudayaan Thai (Thai)
  21. ^ Montesano, p. 84.
  22. ^ Syukri, p. 10.
  23. ^ Montesano, p. 20. See also pp. 282–283.
  24. ^ Blagden, pp. 122–124.
  25. ^ Sweeney, pp. 52–53.
  26. ^ Scrivener, pp. 169–170.
  27. ^ Scupin, pp. 63–64.
  28. ^ Laporan tentang hubungan antara Siam dan negara-negara asing pada abad ke-17. Vol. 2, pp. 208–209.
  29. ^ Loubère, p. 112.
  30. ^ na Pombejra p.82.
  31. ^ Marcinkowski, pp. 19–24
  32. ^ Ravenswaay, p. 66.

Sumber sunting

Pemerintah Thai / Perpustakaan Nasional Vajiranana sunting

Tesis PhD sunting

Buku sunting

Jurnal sunting