Kesehatan Jiwa di Afrika Tenggara

Kesehatan jiwa di Afrika Tenggara menjadi perhatian khusus seiring kasus penyakit jiwa terjadi secara signifikan. Masalah kesehatan jiwa di Afrika sering dipandang rendah dan mendapat urutan terbelakang di wilayah Afrika karena bantuan internasional lebih fokus pada penyakit menular dan kekurangan gizi.[1] Setiap negara di Afrika Tenggara selalu dihadapi oleh hambatan yang mengakibatkan kebijakan kesehatan mental cukup sulit untuk ditegakkan, termasuk di antaranya hambatan di bidang sosial dan budaya, peran obat tradisional, HIV/AIDS, dan stigma mengenai masalah kesehatan jiwa.

Prioritas kesehatan jiwa sunting

Profesor Anyang' Nyong'o dalam pesannya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya pada Juni 2011, mengungkapkan bahwa saat ini Kenya sedang menghadapi kesenjangan besar antara kebutuhan masyarakat akan kesehatan jiwa dengan layanan kesehatan jiwa yang ada di semua tingkat sistem pemberian layanan kesehatan."[2]

Meskipun mendapat sedikit perhatian dari sistem pelayanan kesehatan, kesehatan jiwa merupakan masalah utama di negara-negara Afrika Tenggara. Berbagai upaya telah dilakukan di beberapa negara untuk mengalokasikan dana pada isu kesehatan jiwa. Salah satu negara yang tengah menggalakkan kebijakan untuk meningkatkan kesehatan jiwa di Afrika Tenggara adalah Uganda yang baru dibentuk antara tahun 2006 hingga 2007.[3] Tujuan adanya proyek tersebut untuk menghilangkan masalah kesehatan jiwa, gangguan neurologis, serta penggunaan zat yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan proyek tersebut, Kementerian Kesehatan Uganda mulai mengimplementasikan prinsip panduan, mengidentifikasi area prioritas utama, serta menentukan tujuan kebijakan untuk memprioritaskan kesehatan jiwa.[3] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terus bekerja sama dengan negara-negara berkembang di Afrika untuk menerapkan strategi peningkatan situasi dan pelayanan kesehatan mental di negara-negara Afrika Tenggara. Beberapa negara yang memiliki kebijakan yang sama, belum pernah melakukan pembaruan sejak tahun 1990.[4] Uganda saat ini telah mencapai kesuksesan besar mengingat terbentuknya kebijakan kesehatan mental yang baru, terlebih saat ini mereka bekerja sama dengan WHO untuk menyelesaikan kebijakan pelayanan kesehatan di negaranya. Di samping itu WHO juga bekerja untuk memajukan kebijakan kesehatan jiwa di negara-negara lain di Afrika.

Perspektif sunting

Wilayah di Danau-Danau Besar Afrika Tenggara memiliki sejarah praktik pengobatan tradisional oleh suku pedalaman yang sudah ada sejak lama. Meskipun kemajuannya yang lambat karena keterbatasan sumber daya kesehatan jiwa di daerah tersebut, hingga sekarang masih banyak penduduk di pedesaan Afrika Tenggara menggunakan metode tradisional untuk mengobati penyakit jiwa. Menurut Vikram Patel, pakar kesehatan jiwa global dan profesor dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, stigmatisasi penyakit mental disebabkan oleh metode tradisional dan budaya dalam menghadapi situasi tersebut dan hanya dapat diubah melalui peningkatan dukungan, pendidikan, serta kesadaran yang lebih besar.[5] Di pelosok Afrika Tenggara, ketika terjadi masalah kesehatan jiwa, pasien biasanya dirawat tanpa persetujuan dari diri mereka. Apabila pasien menolak atau melakukan kekerasan saat memulai terapi, ia akan dibius oleh dukun atau oleh anggota keluarganya. Setelahnya, mereka akan diisolasi atau dirawat secara paksa untuk mencegah pasien melukai diri sendiri maupun orang lain.[6] Dalam serial CNN, African Voices, seorang psikiater Frank Njenga menjelaskan bahwa ketika seorang pasien mengidap penyakit seperti depresi atau skizofrenia, sejumlah masyarakat dan dukun sering menganggapnya sebagai kerasukan setan atau ilmu sihir.[7]

Penyebab penyakit jiwa sunting

Beberapa penyakit jiwa sering dikaitkan dengan adanya ketidakseimbangan zat kimia di otak yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter ini membantu sel-sel saraf di otak untuk mengirim sinyal atau pesan dari sel saraf ke sel target. Jika zat kimia tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, akan mengakibatkan sinyal atau pesan tidak terkirim dengan baik, yang dapat menyebabkan gejala penyakit jiwa. Selain itu, cacat pada otak atau Traumatic Brain Injury (TBI) juga dikaitkan dengan beberapa kondisi jiwa.

Penyakit jiwa juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain, di antaranya stresor psikososial dan sosial ekonomi,[8] seperti kerusuhan politik, kekerasan, kemiskinan, migrasi, konflik keluarga dan segala jenis kecanduan. Faktor tersebut kemungkinan berpengaruh terhadap tingginya jumlah penyakit jiwa di Afrika Tenggara. Perawatan yang memadai kemungkinan tidak tersedia, selama stigma di masyarakat terhadap penderita penyakit jiwa masih kuat. Pembalikan stigma ini disebabkan kurangnya sumber daya pendidikan seperti adanya fasilitas laboratorium.[2] Di Afrika Tenggara, banyak orang mengidap gangguan stres pascatrauma yang berkaitan dengan genosida, perang saudara, bentrokan suku, pengungsian, dan kemiskinan.[9] Di Rwanda dan Uganda, gangguan stres pasca-trauma mempengaruhi sejumlah besar penduduk, karena konflik baru-baru ini seperti genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[10]

Referensi sunting

  1. ^ Gureje, O; Alem, A (2000). "Mental health policy development in Africa" (PDF). Bulletin of the World Health Organization. 78 (4): 475–482. 
  2. ^ a b Kenya National Commission on Human Rights (2011). Silenced minds: The systemic neglect of the mental health system in Kenya (PDF). Nairobi: Kenya National Commission on Human Rights. 
  3. ^ a b Ssebunnya, Joshua; Kigozi, Fred; Ndyanabangi, Sheila (2 Okt 2012). "Developing a National Mental Health Policy: A Case Study from Uganda". PLOS Medicine (dalam bahasa Inggris). 9 (10): e1001319. doi:10.1371/journal.pmed.1001319. ISSN 1549-1676. PMC 3462746 . PMID 23055832. 
  4. ^ Institute of Medicine (US) Forum on Neuroscience and Nervous System Disorders; Uganda National Academy of Sciences Forum on Health and Nutrition (2010). Mental, Neurological, and Substance Use Disorders in Sub-Saharan Africa: Reducing the Treatment Gap, Improving Quality of Care: Workshop Summary. The National Academies Collection: Reports funded by National Institutes of Health. Washington (DC): National Academies Press (US). ISBN 978-0-309-14880-1. PMID 21452453. 
  5. ^ "Mental Health Remains An Invisible Problem in Africa". Think Africa Press (dalam bahasa Inggris). 2011-09-08. Diakses tanggal 2022-03-28. 
  6. ^ Omonzejele, F. P. (2004). "Mental health care in African traditional medicine and society: A philosophical appraisal". Eubios Journal of Asian and International Bioethics. 14: 165–169. 
  7. ^ Lillian, L (Januari 2012). "Kenya doctor fights mental health stigma in 'traumatized continent'". CNN. Diakses tanggal 2022-03-28. 
  8. ^ Monteiro, Nicole M. "Addresing Mental Illness in Africa: Global Health Challenges and Local Opportunities" (PDF). Community Psychology in Global Perspective. 1 (2): 78–95. 
  9. ^ Njenga, Frank G; Nguithi, Anna N; Kang'ethe, Rachel N (2006). "War and mental disorders in Africa". World Psychiatry. 5 (1): 38–39. ISSN 1723-8617. PMC 1472262 . PMID 16757994. 
  10. ^ Pham, Phuong N.; Weinstein, Harvey M.; Longman, Timothy (2004-08-04). "Trauma and PTSD Symptoms in RwandaImplications for Attitudes Toward Justice and Reconciliation". JAMA. 292 (5): 602–612. doi:10.1001/jama.292.5.602. ISSN 0098-7484.