Keresidenan Semarang

wilayah administratif di Hindia Belanda

Keresidenan Semarang (bahasa Belanda: Residentie Semarang) adalah sebuah subdivisi administratif (Keresidenan) Hindia Belanda yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah dan dinamai sesuai dengan nama ibu kotanya, Semarang.[1]

Rumah residen di Semarang

Sejarah

sunting

Prasejarah

sunting
 
Penaklukan dan ekspedisi Kesultanan Demak

Wilayah di sekitar Semarang merupakan inti Kesultanan Demak pada abad ke-16; setelah kemerosotannya, Kesultanan Mataram datang untuk mengklaimnya.[2] Ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) semakin berkuasa di Jawa pada abad ke-17, mereka bersekutu dengan Mataram dengan imbalan perdagangan dan konsesi teritorial.[2] Meskipun Mataram terus menguasai sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, mereka menyerahkan Kota Semarang dan desa-desa sekitarnya kepada VOC pada bulan Januari 1678.[2][1] Pada awalnya hanya merupakan daerah kantong kecil, namun secara bertahap VOC menuntut perluasan hingga Pakubuwana II terpaksa menyerahkan seluruh pesisir utara di sekitar Semarang kepada mereka pada tahun 1740-an.[2] Mereka pada awalnya tidak terstruktur sebagai suatu keresidenan, tetapi sebagai suatu Kegubernuran (Pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa), dengan Semarang sebagai ibu kotanya.[1][2] Ketika Prancis di bawah Napoleon mengambil alih kembali Hindia Belanda dan mengangkat Herman Willem Daendels sebagai gubernur, ia menghapuskan pembagian administratif sebelumnya dan menciptakan prefektur, termasuk Semarang, Japara, dan Pakalongan.[3]

Keresidenan Semarang

sunting

Setelah berakhirnya masa interregnum kekuasaan Prancis dan Britania Raya di Hindia Belanda pada tahun 1817, Jawa direorganisasi sekali lagi menjadi keresidenan. Semarang menjadi salah satu keresidenan tersebut, meskipun jauh lebih kecil daripada wilayahnya di kemudian hari, dan berbatasan dengan Keresidenan Pakalongan di sebelah barat dan Keresidenan Djapara di sebelah timur laut.[3]

Pada bulan Januari 1901, bekas Keresidenan Djapara ditambahkan ke dalam Keresidenan Semarang.[1] Dewan kotamadya dibentuk untuk kota Semarang pada tahun 1906, diikuti oleh dewan daerah untuk Keresidenan Semarang pada tahun 1908.[1]

 
Peta Keresidenan Semarang, 1909

Pada smasa Perang Dunia I, wilayah ini dibagi menjadi beberapa subdivisi (afdeelingen), yang sebagian besarnya masih ada sebagai Kabupaten di Indonesia saat ini:[1]

Pada akhir tahun 1920-an Keresidenan Semarang menjadi jauh lebih kecil karena restrukturisasi administrasi.[3] Dekrit tentang Organisasi Administratif tahun 1925 mengizinkan pembagian keresidenan-keresidenan yang ada di Hindia Belanda. Akan tetapi, butuh waktu lama untuk menerapkannya dan baru diberlakukan di Provinsi Jawa Tengah (Provincie Midden-Java) pada tahun 1928.[4] Sebagian bekas Keresidenan Semarang dimasukkan ke dalam Keresidenan Koedoes dan Keresidenan Blora yang baru; Semarang hanya mempertahankan Kabupaten Semarang, sebagian besar Kabupaten Kendal, dan Salatiga.[3][5] Pada tahun 1931, batas wilayah diubah sekali lagi; Keresidenan Koedoes dan Blora dihapuskan, Semarang menyerap sebagian wilayah mereka, dan Keresidenan Djepara-Rembang yang baru di timur laut menyerap sisanya.[3]

Sesudah pendudukan Jepang di Hindia Belanda dan Revolusi Nasional Indonesia, Keresidenan-keresidenan di Jawa tidak ada lagi; setelah kemerdekaan Indonesia menambahkan bekas wilayah Keresidenan Semarang ke dalam provinsi Jawa Tengah, dan tetap mempertahankan pembagian wilayahnya sebagai kabupaten (Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, dan seterusnya).

Daftar residen

sunting
  • Hermannus Adriaan Parvé: 1817–1818
  • Jacobus de Bruin: 1818–1820
  • Willem Nicolaas Servatius: 1820–1822
  • Hendrik Jacob Domis: 1822–1827
  • Pieter Hubertus van Lawick van Pabst: 1827–1829
  • Pieter le Clereq: 1829–1834
  • Daniel François Willem Pietermaat: 1834–1834
  • Hendrik Stephanus van Son: 1835–1838
  • Guillaume Louis Baud: 1838–1841
  • Johan Frederik Walraven van Nes: 1842–1843
  • Jacob Willem Hendrik Smissaert: 1843–1846
  • Arnoldus Adriaan Buijskes: 1846–1850
  • Hermanus Douwe Potter: 1850–1857
  • Dirk Carel August van Hogendorp: 1857–1862
  • Theodore van Capellen: 1862–1864
  • Adriaan Anton Maximiliaan Nicolaas Keuchenius: 1864–1867
  • Karel Frederik Stijman: 1867–1868
  • François Henri Adolph van de Poel: 1868–1873
  • Nicolaas Dirk Lammers van Toorenburg: 1873–1875
  • Gerard Marinus Willem van der Kaa: 1875–1877
  • Willem Herman van der Hell: 1877–1881
  • Pieter Frederik Wegener: 1881–1884
  • Jan Marinus van Vleuten: 1884–1885
  • Pieter Frederik Wegener: 1885–1897
  • Pieter Frederik Sythoff: 1897–1905
  • Henri Chrétien Antoine Gérard de Vogel: 1905–1914
  • Petrus Karel Willem Kern: 1914–1920
  • Jan Hendrik Nieuwenhuis: 1920–1922
  • Jacob van Gigch: 1922–1924
  • Adrien Henri Maas Geesteranus: 1924–1925
  • Pieter Johannes van Gulik: 1925–1928
  • Johannes Bijleveld: 1928–1935
  • Karel Johann Alex Orie: 1935–1937
  • Adolph Maximiliaan Pino: 1937–1940
  • Jan Frederik Antonie van Bruggen: 1940–1942

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f Stibbe, D. G., ed. (1919). Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Derde Deel N-Soema (dalam bahasa Belanda) (edisi ke-2). s'-Gravenhage: Nijhoff. hlm. 740–4. 
  2. ^ a b c d e Cribb, R. B. (2000). Historical atlas of Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press. hlm. 86–95. ISBN 0-8248-2111-4. 
  3. ^ a b c d e Cribb, R. B. (2000). Historical atlas of Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press. hlm. 123–6. ISBN 0-8248-2111-4. 
  4. ^ "DE BESTUURSHERVORMING. Midden-Java's indeeling. Elf residenties— De nieuwe formatie van het. B. B. – Standplaatsen van residenten en ass.-residenten." De Locomotief (dalam bahasa Belanda). Semarang. 25 May 1928. 
  5. ^ De nieuwe administratieve indeeling van Java en Madoera (dalam bahasa Belanda). Amsterdam: J. H. De Bussy. 1928. hlm. 3.