Kerajaan Palu
Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu: Besusu (Pandapa), Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh.[1]
Kerajaan Palu | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1796–1960 | |||||||||
Ibu kota | Pandapa (1796-1888) Panggovia (1888-1960) | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Kaili | ||||||||
Agama | Islam | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Magau | |||||||||
Sejarah | |||||||||
• Terlepas dari Kesultanan Gowa | 1796 | ||||||||
• Bergabung dengan Indonesia | 1960 | ||||||||
| |||||||||
Pada tahun 1796 – 1960 Kerajaan Palu masih menggunakan sistim pemerintahan monarki dan ibukota palu pertama bernama Pandapa (1796-1888), lalu yang kedua ibukota palu bernama Panggovia berjalan mulai1888-1960, dan saat Republik Indonesia merdeka tahun 1945, pada tahun 1960 Kerajaan Palu lengser dan bergabung dengan Indonesia. Sebelum berdiri sendiri menjadi sebuah kerajaan, palu masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa asal Sulawesi Selatan sejak era VOC pada tahun 1666.[1]
Belanda pertama kali tiba di Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado pada tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue.[2]
Setelah terjadi perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu, ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.[3]
Daftar Raja Kerajaan Palu
suntingBerikut beberapa nama raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Palu saat itu:[3]
Tahun | Nama |
---|---|
1796–1805 | Pue Nggari (Siralangi) |
1805–1815 | I Dato Labungulili |
1815–1826 | Malasigi Bulupalo (Pue Bongo Muda) |
1826–1835 | Daelangi/Dg. Ntalili (Kodi Palo) |
1835–1850 | Djalalembah |
1850–1868 | Lamakaraka (Tondate Dayo) |
1868–1888 | Radja Maili (Mangge Risa) |
1888–1906 | Jodjokodi |
1906–1918 | Parampasi |
1918–1921 | Idjazah |
1921–1945 | Djanggola |
1949–1950 | Tjatjo Idjazah |
Souraja/Banua Oge (Istana Kerajaan Palu)
suntingDi setiap daerah atau penguasa mempunyai keunikan tersendiri yang kemudian dijadikan contoh teladan, disakralkan, bahkan dikeramatkan oleh rakyatnya. Di Palu, Souraja dijadikan sebagai pusat pemerintahan, semakin menambah kesakralan dan kekeramatan seorang raja. Dalam pemikiran-pemikiran tradisional dikatakan bahwa tempat bersemayamnya seorang raja, baik berupa tempat tinggal atau istana pemerintahannya merupakan tempat suci pilihan penguasa langit.[4] Raja adalah keturunan penguasa langit ("To Manuru" Menurut Suku Kaili) yang diturunkan ke bumi untuk memerintah rakyat yang terpilih.
Melihat sisi fungsi ganda Souraja, maka proses efisiensi dan efektivitas bangunan menjadi perhatian tersendiri, karena bangunan ini semakin megah, mewah, dan sakral, namun kecil. Sehingga timbul satu asumsi bahwa Souraja merupakan cermin dari luas kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan palu yang begitu kecil dan sempit.[4]
Dewasa ini masih ditemui sisa-sisa bangunan yang didirikan oleh Raja-Raja Palu, ketika Kerajaan Palu masih jaya. Salah satunya adalah Souraja yang berada di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu tepatnya. Souraja adalah Istana Raja Palu, karena sejak didirikannya bangunan ini ditempati oleh Raja-Raja Palu dan keluarganya silih berganti. Kepemilikan bangunan ini pun berlaku secara turun-temurun.[5]
Souraja didirikan pada akhir abad ke XIX di tengah-tengah perkampungan Suku Kaili yang merupakan masyarakat pendukung kejayaan Kerajaan Palu. Ada sebuah tradisi pembangunan istana yang dapat menjelaskan tentang suasana Lembah Palu pada saat itu. Di mana pada umumnya, istana-istana didirikan di atas sebidang tanah kosong (tanpa pemilik). Seiring waktu yang terus berputar dengan sendirinya tanah tersebut menjadi tanah kerajaan.
Di sisi lain, istana berada di pusat permukiman penduduk (tengah kota), berarti disekitar istana terdapat rumah-rumah penduduk. Pola ini merupakan sebuah strategi pertahanan militer yang paling jitu. Mengapa? Karena ketika istana diserang musuh, maka secara otomatis, penduduk (rakyat) ikut bertanggung jawab atas keselamatan istana, keluarga raja, dan keselamatan Negara. Rakyat akan bahu-membahu melindungi istana dan rajanya bagaimanapun caranya. Perbuatan demikian dianggap mulia, karena dikatakan sebagai wujud bela Negara.
Ternyata, Souraja sebagai istana raja di Palu didirikan berdasarkan tiga konsep di atas. Sekarang tanah tempat didirikannya istana tersebut adalah milik keluarga kerajaan. Istana ini semakin berada di tengah-tengah permukiman penduduk di Kelurahan Lere. Di sana-sini terdapat lahan-lahan kosong tanpa rumah penduduk, tetapi tanah kosong tersebut adalah milik keluarga kerajaan.
Referensi
sunting- ^ a b Admin 010 (2016-09-02). "Ini Sejarah Kerajaan Di Kota Palu". Kabar Today (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-24. Diakses tanggal 2020-08-19.
- ^ Liputan6.com (2018-10-02). "Palu Pernah Jadi Kerajaan Berpengaruh, Muncul dari Dasar Laut Usai Gempa?". liputan6.com. Diakses tanggal 2020-08-20.
- ^ a b "Sejarah Kota Palu – Pemerintah Kota Palu" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-27. Diakses tanggal 2020-08-20.
- ^ a b bpnbsulut (2018-09-18). "Souraja, di Palu". Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara. Diakses tanggal 2020-08-20.
- ^ Arba. "Rumah Adat Souraja - Palu | Kota Palu | Blog". Wisata Sulawesi Tengah (dalam bahasa Tionghoa). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-17. Diakses tanggal 2020-08-20.