Kelistrikan di Hindia Belanda

Kelistrikan di Hindia Belanda dikelola oleh perusahaan-perusahaan swasta asal Belanda atas ketetapan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1890. Pembangkit listrik pertama yang dibangun di Hindia Belanda berjenis pembangkit listrik tenaga uap dan beroperasi hanya di Batavia pada akhir abad ke-19 M. Setelah pembangkit listrik tenaga air mulai dioperasikan pada awal abad ke-20, penyediaan energi listrik di Hindia Belanda diperluas ke Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah banyak perusahaan listrik swasta yang menangani kelistrikan di Hindia Belanda, penyediaan energi listrik meluas hingga ke kota-kota besar di luar Jawa, yaitu Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Pengelolaan kelistrikan di Hindia Belanda beralih kepemilikan ketika Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942.

Sejarah sunting

Pembangunan PLTU di Batavia sunting

Pemanfaatan energi listrik telah mulai diadakan di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Pada awalnya, pembangkit listrik hanya digunakan pada pabrik teh, pabrik gula dan perkebunan. Skala pembangkitan listriknya juga masih kecil karena tujuannya hanya untuk mendukung bidang usahanya saja.[1]

Pengelolaan tenaga listrik untuk kepentingan umum di Hindia Belanda didasari oleh penetapan Ordonansi atas Staatsblad 1890 Nomor 190. Ordonansi ini ditetapkan pada tanggal 13 September 1890. Ketetapan ini berkaitan untuk pendirian industri gula yang mulai dioperasikan dengan memanfaatkan mesin listrik pada abad ke-19 M. Peraturan ini kemudian memberi peluang bagi berdirinya perusahaan penyedia tenaga listrik untuk kepentingan umum.[2]

Perusahaan listrik pertama di Hindia Belanda didirikan pada tahun 1897. Nama perusahaannya adalah Nederlandssche-Indische Electriciteit-Maatschappij (NIEM) atau Perusahaan Listrik Hindia Belanda. NIEM merupakan anak perusahaan dari N.V. Handelsvennootschap atau dahulu bernama Maintz & Co. Perusahaan induk ini berpusat di Amsterdam, Belanda. NIEM ditugaskan untuk menyediakan energi listrik di Batavia. Karena itu, lokasi perusahaan ini ditetapkan di Gambir. Usaha pertama yang diadakan oleh NIEM adalah membangun pembangkit listrik pertama di Hindia Belanda. Sebanyak 3 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dibangun di tepi sungai Ciliwung. Kapasitas pembangkitan listrik yang dihasilkan masing-masing unit PLTU ini adalah 3.200 kW, 3.000 kW, dan 1.350 kW.[3]

Pembentukan ANIEM sunting

 
Kantor NIGM di Medan.

Setelah berhasil menyediakan energi listrik di Batavia, NIEM memperluas usahanya di bidang gas. Di Kota Surabaya, NIEM mendirikan anak perusahaan bernama Nederlandssche-Indische Gas-Maatschappij (NIGM). Anak perusahaan ini terus beroperasi hingga akhir abad ke-19 M. NIEM kemudian memberikan hak kepada NIGM untuk membangun beberapa pembangkit listrik beserta dengan distribusi tenaga listrik di beberapa kota besar di Jawa sejak tahun 1909. NIGM kemudian mendirikan anak perusahaan bernama Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteit-Maatschappij (ANIEM) pada tanggal 26 April 1909 di Kota Surabaya.[3] ANIEM diberikan hak untuk mengelola kelistrikan di Jawa dan mengadakan pembangunan pembangkit-pembangkit listrik.[4] Sehingga ANIEM kemudian menjadi perusahaan listrik swasta terbesar di Hindia Belanda. Sekitar 40% kebutuhan listrik di Hindia Belanda dikelola oleh ANIEM. Kebijakan pembentukan anak perusahaan diberlakukan oleh ANIEM sehingga dapat melayani wilayah pemasaran hingga ke luar Jawa. Pola kebijakannya adalah desentralisasi produksi dan pemasaran.[3]

 
Pusat pembangkit listrik tenaga diesel ANIEM.

Sejak 5 Juli 1913, ANIEM memulai penyediaan energi listrik di Kota Semarang. Jaringan listrik di Kota Semarang kemudian diperluas ke daerah di sekitarnya, yaitu Kota Salatiga, Ambarawa dan Ungaran.[5] Perusahaan listrik bernama Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken (GEBEO) kemudian didirikan pada 29 Oktober 1918 di Kota Bandung. Tujuannya untuk mengelola pembangkit tenaga listrik di daerah Dago mulai tahun 1921. GEBEO menyediakan energi listrik yang sangat menunjang bagi pengadaan energi fasilitas di Kota Bandung. Ketersediaan energi listrik di Kota Bandung kemudian meningkat setelah menerima pasokan darii pembangkit listrik Sentral Lamajang pada tahun 1924 dari jalur Cisangkuy.[6]

Pembangunan PLTA sunting

Pada tahun 1917, Pemerintah Hindia Belanda mulai mengadakan eksplorasi, survei dan pengembangan tenaga air sebagai penggerak tenaga listrik. Kegiatan ini dilakukan dengan membentuk Divisi Tenaga Air dan Listrik. Divisi ini diberi kewenangan untuk mengadakan penyelidikan sistemik mengenai sumber tenaga air. Wewenang lain yang diberikan ialah pengadaan studi pemetaan, survei tanah dan pengukuran anak sungai. Kegiatan Divisi Tenaga Air dan Listrik didukung dengan pembangunan puluhan stasiun observasi di sekitar sungai-sungai dan danau-danau yang ada di Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Sebanyak 65 stasiun observasi dibangun di Jawa. Sementara di Sumatra dibangun 4 stasiun dan di Sulawesi sebanyak 10 stasiun.[7]

Elektrifikasi sunting

Pembangunan kelistrikan di Hindia Belanda memiliki jangka waktu yang berbeda-beda di tiap daerah. Kota Batavia menjadi yang pertama memulai elektrifikasi yaitu sejak tahun 1893. Pengelolaannya menjadi hak Pemerintah Daerah Hindia Belanda dengan nama Electriciteit Batavia. Elektrifikasi berikutnya kemudian diadakan di Kota Medan dengan hak yang juga diberikan ke Pemerintah Daerah Hindia Belanda. Pengelolaannya diberi nama Electriciteit Bedrijf Medan (Deli). Elektrifikasi baru diadakan di Kota Surabaya sekitar tahun 1907 dengan nama Electriciteit Bedrijf Surabaya. Wilayah lain di Indonesia baru mengalami elektrifikasi pada tahun-tahun berikutnya. Elektrifikasi di Kota Palembang diadakan untuk mendukung usaha pertambangan minyak. Sementara di Kota Makassar dan Kota Ambon, elektrifikasi ditujukan untuk kepentingan militer.[8]

Tiang listrik yang digunakan di Hindia Belanda dibuat dari bahan kayu jati dan jenis kayu lainnya. Sumber perolehannya dari pantai bagian timur Sulawesi. Pengumpulannya berlangsung selama dekade 1900-an hingga 1920-an.[9]

Perdagangan energi listrik sunting

NIEM menjadi perusahaan listrik pertama yang mengadakan jual beli energi listrik di Hindia Belanda. Jual belinya hanya berlangsung di Batavia. Pada tahun 1925, NIEM diambil alih oleh NIGM yang kemudian melanjutkan penyediaan energi listrik di Batavia. NIGM juga memperluas penyediaan energi listrik ke Kota Medan, Kota Palembang, Kota Makassar dan Kota Manado. GEBEO menyediakan energi listrik di Jawa Barat. Sementara ANIEM memberikan penyediaan energi listrik di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kota Pontianak dan Kota Banjarmasin.[2]

Perkembangan dan akhir sunting

Pada tahun 1899, di Batavia telah beroperasi trem listrik untuk pertama kalinya.[10] Kemudian pada tahun 1918, jaringan kereta listrik mulai dibangun di Batavia. Jaringannya hanya menuju ke Bogor dan tidak dibangun di daerah lain di Hindia Belanda. Pembangunan jaringan kereta listrik ini diadakan oleh Nederlandssche-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Rute kereta listrik yang pertama kali beroperasi dari Weltevreden dan Jatinegara menuju ke Tanjung Priok. Operasi kedua rute ini dimulai tahun 1925.[11]

Kebutuhan listrik di Hindia Belanda mengalami peningkatan menjelang tahun 1926. Karena itu, di Batavia didirikan lagi perusahaan listrik bernama NV Industrieele Maatschappij Gebroeder van Swaay (IMGS). Perusahaan ini merupakan perusahaan swasta yang kepemilikannya oleh van Swaay bersaudara. IMGS menjadi salah satu perusahaan listrik yang memiliki banyak wilayah operasi tenaga listrik di Hindia Belanda. Hingga awal Perang Dunia II, IMGS beroperasi di Batavia sebagai pusatnya. Lalu membangun jaringan listrik di Kota Surabaya, Bandung, Medan, Balikpapan, dam Bagansiapi-api. IMGS juga membangun pembangkit listrik tenaga diesel di tambang timah di Singkep. Lalu di Jawa Timur, IMGS membangun pembangkit listrik tenaga air. Di sisi lain, IMGS juga memproduksi turbin gas di Palembang. Selain itu, IMGS juga membangun sentrum yang merupakan jaringan kabel listrik untuk stasiun kereta api di Batavia. IMGS juga membangun jaringan listrik untuk Hotel des Indes, pabrik opium, pabrik ban Good Year di Bogor dan instalasi listrik di gedung-gedung lainnya.[12]

Infrastruktur kelistrikan di Hindia Belanda berakhir pada tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang. Pasukan pendudukan Jepang di Hindia Belanda kemudian menguasai kelistrikan di Hindia Belanda.[13] Kapasitas pembangkitan listrik di Hindia Belanda yang dibuat pada masa Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Pendudukan Jepang mencapai sekitar 140 MW. Perhitungan ini diadakan pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang mewarisi wilayah negara Hindia Belanda.[14]

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Sulistyo 2021, hlm. 19.
  2. ^ a b Poesponegoro 2019, hlm. 205.
  3. ^ a b c Sulistyo 2021, hlm. 4.
  4. ^ Santosa, H., Yudono, A., dan Tolle, H. (November 2021). Manajemen Digitila Bangunan Bersejarah di Kota Malang: Teknik Pengembangan Sistem Aplikasi Geo-Historic Building. Malang: Media Nusa Creative. hlm. 44. ISBN 978-602-462-792-8. 
  5. ^ Yuliati, D., Susilowati, E., dan Suliyati, T. (Juli 2020). Rukardi, ed. Riwayat Kota Lama Semarang dan Keunggulannya sebagai Warisan Dunia (PDF). Semarang: Sinar Hidoep. hlm. 1. ISBN 978-602-61966-4-4. 
  6. ^ Yulianto, E., dkk. (November 2020). Achdian, Andi, ed. Geliat Kota Bandung: Dari Kota Tradisional Menuju Modern (PDF). Jakarta: Bank Indonesia Institute. hlm. 61. ISBN 978-979-8086-60-1. 
  7. ^ Sulistyo 2021, hlm. 4-5.
  8. ^ Kumpulan Buklet Hari Bersejarah II. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1994. hlm. 124. 
  9. ^ Rabani, L. O., Husain, S. B., dan Khusyairi, J. A. (2022). Rempah, Kolonialisme, dan Kesinambungan Ekonomi di Pantai Timur Pulau Sulawesi (PDF). Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. hlm. 43. ISBN 978-602-244-918-8. 
  10. ^ Istianto, Bambang (Desember 2019). Transportasi Jalan di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya (PDF). Depok: Melvana Publishing. hlm. 5. ISBN 978-623-7439-14-1. 
  11. ^ Santoso, A., dkk. (2015). Naskah Sumber Arsip Perkeretaapian di Indonesia. Arsip Nasional Republik Indonesia. hlm. 9. 
  12. ^ Poesponegoro 2019, hlm. 206.
  13. ^ Sulistyo 2021, hlm. 18.
  14. ^ Aprieska, R., dan Napitupulu, E. Y. (September 2022). Simandjuntak, Djisman, ed. Gema Kebangkitan Masyarakat Kepengusahaan Indonesia Volume 1: Perjalanan 40 Tahun Universitas Prasetiya Mulya. Jakarta: Prasetiya Mulya Publishing. hlm. 459. ISBN 978-602-1571-55-2. 

Daftar pustaka sunting