Kebakaran hutan Indonesia 1997

Kebakaran hutan Indonesia 1997 adalah serangkaian kebakaran yang berlangsung hingga tahun 1998 di Indonesia dan merupakan salah satu kebakaran hutan terbesar dalam dua abad terakhir.[1]

Polusi udara di Asia Tenggara pada Oktober 1997

Pada pertengahan 1997, kebakaran hutan di Indonesia mulai berdampak pada negara-negara tetangganya. Angin meniupkan kabut asap ke Malaysia dan Singapura. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berusaha menyelesaikan masalah ini[2] dengan mengirim tim Jabatan Bomba dan Penyelamat Malaysia (Dinas Pemadam Kebakaran dan Basarnas Malaysia) ke Indonesia dalam Operasi Haze. Operasi ini dilakukan untuk mengurangi dampak kabut asap terhadap ekonomi Malaysia. Kabut asap menyebabkan PDB Malaysia turun sebesar 0,3 persen.[3] Kabut dan kebakaran mereda saat musim hujan pada awal Desember, tetapi terjadi kembali saat musim kemarau. Pada tahun 1998, kabut asap tertiup ke Brunei dan sebagian kecil wilayah Thailand, Vietnam, Filipina, dan Australia utara. Ketika musim kebakaran 1997-98 usai, lebih dari 8 juta hektar lahan diketahui telah terbakar dan jutaan orang terpapar polusi udara.

Sebab dan akibat sunting

Kebakaran hutan Indonesia tahun 1997 disebabkan oleh peladangan tebang bakar yang dilakukan para petani di Indonesia. Pembukaan lahan dengan cara tebang bakar diterapkan selama bertahun-tahun karena murah dan mudah. Lahan bekas kebun karet produktif di Sumatra dan Kalimantan juga dibakar bersama pohon-pohonnya untuk menghilangkan biomassa, kemudian ditanami lagi.

Api digunakan untuk menetapkan batas lahan di pulau-pulau dan provinsi yang kepemilikan lahannya tidak jelas. Baik pemilik tanah kecil maupun perusahaan besar menerapkan cara yang sama. Setelah membumihanguskan lahan pemilik sebelumnya, pemilik yang baru meladang di sana agar klaim lahannya jelas meski dipersengketakan.[butuh rujukan]

Saat musim kebakaran, bahan organik kering dengan cepat terbakar dan membentuk kebakaran liar yang besar. Pemadaman pun sulit dilakukan dan terlalu mahal, apalagi ketika lahan gambut yang rawan api juga ikut terbakar. NASA mengaitkan El Niño dengan cuaca pemicu kemarau di Indonesia. Dulu, El Niño diartikan sebagai pertanda masa berburu. Hewan liar bermunculan ketika pohon-pohon tua mulai berbuah dan menopang kehidupan suku-suku yang mengumpulkan benih. Akan tetapi, akibat perubahan guna lahan besar-besaran di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di Kalimantan dan Sumatra, El Niño dipandang sebagai pemicu kebakaran hutan massal yang menyebarkan kabut asap dan kerugian ekonomi di seluruh Asia Tenggara.

Pemicu perubahan guna lahan paling dasar dan besar dampaknya adalah maraknya barang mewah yang dibuat menggunakan kayu "tua" seperti mahoni dan jati. Dua jenis kayu ini dinilai tidak berkelanjutan [4] dan turut berperan dalam kebakaran hutan walaupun secara tidak langsung.

Perkiraan kerugian sunting

Kerugian total diperkirakan sekurang-kurangnya mencapai US$4,47 miliar. Kerugian terbesar dialami oleh Indonesia. Angka ini tidak termasuk kerugian yang sulit diukur atau dinilai dalam uang seperti korban jiwa, penyakit jangka panjang, dan musnahnya keragaman hayati.

Kebakaran hutan di Indonesia tahun 1997 diperkirakan melapaskan antara 0,81 sampai 2,57 gigaton karbon ke atmosfer, kurang lebih 13-40% emisi karbon dioksida tahunan dari bahan bakar fosil.,[5][6]

Dalam rangka mencegah munculnya kabut asap pada masa yang akan datang, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menyetujui pembangunan sistem peringatan awal dalam Regional Haze Action Plan (RHAP) 1998 untuk mencegah kebakaran hutan dan kabut asap dengan memperbaiki kebijakan dan penanganan bencana, misalnya penerapan Fire Danger Rating System (FDRS).[7]

Negara yang terdampak sunting

Lihat pula sunting

Referensi sunting

Pranala luar sunting

Pranala luar sunting