Kawih Pangeuyeukan

Kawih Pangeuyeukan adalah naskah Sunda kuno yang berisi perihal tenun.[1][2] Naskah ini disimpan di Perpustakaan Nasional RI, ditulis pada daun lontar, dengan aksara dan bahasa Sunda kuno. Teksnya berbentuk puisi. Di dalamnya berisi informasi berbagai nama bagian alat tenun dengan nama-nama dewi yang mendiaminya.[1][2]

Naskah Kawih Pangeuyeukan

Teks Kawih Pangeuyeukan adalah suatu contoh puisi Sunda kuno yang khas. Puisi ini memiliki tempat tersendiri di antara puisi Sunda Kuno lainnya seperti puisi epik Para Putra Rama dan Rahwana, atau puisi didaktis seperti Sri Ajnyana, Sewaka Darma, dan Kawih Paningkes.[1] Puisi ini umumnya berisi gambaran rinci perihal peralatan tenun, proses, serta masing-masing dewi kahyangan (pwah aci, pwah sari, dan aksari) yang bertanggung jawab terhadapnya.[1] Dari kesusastraan, struktur dalam puisi ini dapat dibandingkan dengan teks Sri Ajnyana.[3]

Inventarisasi

sunting

Saat ini naskah Kawih Pangeuyeukan disimpan di Perpustakaan Nasional RI dalam sebuah peti (laci kabinet) nomor 86, dan diberi kode L 407. Naskah ini pernah dideskripsikan oleh Cohen-Stuart (1872),[2] namun tidak tercatat dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.[4] Rekatalogisasi yang dikerjakan oleh Munawar Holil dan Aditia Gunawan (2010), mencatat deskripsi yang lebih lengkap, dan diberi judul Carita Raden Jaya Keling.[5] Berdasarkan riwayatnya, naskah ini merupakan pemberian dari Bupati Galuh R.A.A Kusumadiningrat (1839-1886), yang diserahkan kepada BGKW, bulan September 1866.[2]

Deksripsi Fisik

sunting

Naskah berbahan daun lontar dengan ukuran 19,5 x 2,5 cm. Disimpan pada kotak kayu (kropak) berwarna coklat tua kehitaman. Jumlah lempir 31 dilengkapi tali pengikat yang dimasukkan pada bagian tengah lontar.[5] Lempir 1r, 27v, 28r-v, 30r-v tidak ditulis, sehingga hanya 56 halaman yang berisi tulisan.[2] Setiap halaman berisi empat baris tulisan. Aksara yang digunakan adalah Sunda kuno. Salinan dengan aksara Latin terdapat dalam kumpulan koleksi Pleyte dengan kode Plt. 101 yang disimpan pada peti 119 di Perpustakaan Nasional. Berdasarkan salinan tersebut, dapat diketahui bahwa tidak ada ada perubahan pada susunan lempir.[2]

Penelitian

sunting

Penelitian komprehensif berupa alih aksara, reproduksi faksimili, suntingan teks, terjemahan dan analisis Kawih Pangeuyeukan dan Pabyantaraan dikerjakan oleh Mamat Ruhimat, Aditia Gunawan dan Tien Wartini.[1] Hasil penelitian itu dipublikasikan tahun 2014. Penelitiannya mencakup tinjauan paleografis yang menunjukkan gejala khas yang digunakan dalam naskah ini. Uraian lain yang disampaikan yaitu aspek kebahasaan, mencakup kosakata, sistem bunyi, kata ganti orang, dan partikel penegas.[1]

Mengenai tenun, Aditia Gunawan membahasnya secara khusus dalam sebuah artikel yang terbit dalam jurnal Archipel.[6] Ia menjelaskan kaitan teks Kawih Pangeuyeukan dengan tradisi menenun dalam budaya Sunda, melalui perbandingan teks carita pantun, dan folklor lainnya.[6]

Bentuk & Sifat Teks

sunting
 
Tradisi menenun di Baduy boleh jadi representasi dari tenun Sunda kuno.

Kawih Pangeuyeukan merupakan teks puisi didaktis, seperti halnya Sri Ajnyana dan Sewaka Darma.[1][7] Teks ini memiliki struktur kesastraan seperti alur, tokoh, dan pengisahan. Bahkan kisahnya berbingkai yaitu saat tokoh Raden Jaya Keling menceritakan asal-mula dunia dan makhluk-makhluk kahyangan yang turun untuk hidup di dalamnya dan tersebar, terutama pada alat-alat tenun. [1]

Teks puisi ini memiliki sifat yang menempatkan perempuan pada tempat yang istimewa. Pada bagian akhir teks, sang pujangga juga menyebutkan bahwa puisi yang digubahnya untuk dinyanyikan etika bertenun, yaitu keahlian khusus perempuan. Hampir semua makhluk kahyangan yang disebutkan adalah perempuan. Dengan demikian, puisi ini mengarah pada kesimpulan bahwa khalayak puisi ini adalah perempuan.[1]

Isi Teks

sunting
 
Keahlian menenun dipelajari sejak kecil
 
Anak perempuan Baduy mulai mempelajari teknik tenun

Naskah ini berisi lima teks yang berbeda. Masing-masing diberi judul Kawih Pangeuyeukan, Silsilah Panjalu, Mantra Putra Suleman, Jampe Nyitu, dan Rajah Nyi Pohaci Dangdayang Tresnawati.[2][1] Kawih Pangeuyeukan berisi ajaran kesakralan menenun.

Dikisahkan seorang perempuan bernama Deuwi Rasa Tineung Sakean Adi Larangan, tiba-tiba terbangun dari tidurnya, karena bermimpi yang sangat aneh. Dalam impian, ia mendengar banyak suara. Suaminya yang bernama Raden Jayakeling (Adi Rasa Jaya Keling) terjaga karena kegelisahan sang istri. Ketika terbangung, ia melihat sang istri sedang memangku kain tenun sambil menangis. Suaminya menghibur dengan rayuan dan nasihat tentang keutamaan perempuan. Ia juga memuji jenis kain, motif, sampai warna kain tenun yang dipangku oleh istrinya.[2][1]

Ia lalu menyarankan istrinya untuk menyelesaikan tenunannya. Sebelum itu, ia menyuruh istrinya ke sungai untuk membersihkan diri, baik lahir maupun batin. Deuwi Rasa Tineung menurutinya. Ia melepaskan benang yang melingkar pada kakinya, melipat baik-baik kain tenunnya, dan menyimpan seluruh peralatan tenunnya. Ia kemudian menghadap dengan takzim kepada suaminya, kemudian menceritakan mimpi buruk yang menyebabkannya terjaga di tengah malam dan meminta nasihat dari suaminya. Jaya Keling menjawab dengan tenang bahwa memang sudah selayaknya seorang suami dijadikan tempat bertanya, sebab mengetahui berbagai pengetahuian, aturan etis, hukum, dan ilmu leluhur yang didapatkan dari berbagai tempat. [2][1]

Jaya Keling mengisahkan cerita para dewata dari kahyangan. Aci Dewata, pemimpin para dewata, menyuruh brahmanya untuk mengisi dunia agar menjadi lebih baik, sebab sangat disayangkan jika hasil ciptaannya itu tidak diisi. Pada waktu itu bumi masih kosong, belum ada air dan angkasa, belum ada cahanya di langit, serta belum ada awan. Semuanya bertebaran tanpa tempat. Itulah yang disebut 'asali yang bening'. Seruan untuk mengisi dunia diulang untuk kedua kali. Para dewa, aksari, dan pwah aci turun dari kahyangan ke bumi dengan sukacita, tetapi mereka idak ingin berlama-lama. Aci Dewata malam mempersilakan jika para dewata ingin berlama-lama di dunia. Ia memanggil seluruh aksari dan pwah aci. Adik Aci Dewata, yaitu Sang Hyang Sri, mengajak semua dewi-dewi turun (kembali) ke bumi. Di tempat baru ini mereka bersenang-senang dan bercengkerama. [2][1]

Setelah itu disebutkan secara rinci nama masing-masing pwahaci dan aksari serta tempat bersemayamnya di dunia. Tempat persemayamannya itu, semua berkaitan dengan tenun, baik menyangkut bahan, proses, maupun peralatan yang digunakan, serta berkaitan dengan keutamaan perempuan. Kepada dewi-dewi yang mendiami alat-alat tenun berikut yang menemani saat prosesnya itulah dipersembahkan nyanyian pada saat seorang perempuan bertenun. [2][1]

Nasihat sang suami berlanjut dengan menyebut para pwah aci yang berdiam di bagian tubuh, lagi-lagi dapat dipastikan bagian tubuh wanita, karena menyebutkan air susu, dan rahim. Bagian terakhir berisi nasihat bahwa seorang wanita haurs bisa terampil menenun tanpa harus diajari. Teks ditutup dengan kolofon. [2][1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Kawih pangeuyeukan : tenun dalam puisi Sunda kuna dan teks-teks lainnya. Ruhimat, Mamat,, Gunawan, Aditia,, Wartini, Tien,, Perpustakaan Nasional (Indonesia),, Pusat Studi Sunda,. Jakarta. ISBN 978-979-008-685-2. OCLC 894878344. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Tata pustaka : sebuah pengantar terhadap tradisi tulis Sunda kuna : kajian. Perpustakaan Nasional (Indonesia),, Masyarakat Pernaskahan Nusantara,. Jakarta. ISBN 978-623-200-245-6. OCLC 1162374023. 
  3. ^ Noorduyn, J.; Teeuw, A. (2006). Three Old Sundanese Poems (dalam bahasa Inggris). KITLV Press. ISBN 978-90-6718-182-2. 
  4. ^ Behrend, T. E. (1998). Katalog induk naskah-naskah nusantara: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yayasan Obor. 
  5. ^ a b Munawar Holil & Aditia Gunawan (2010). "Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi". Sundalana. 9: 103–146. 
  6. ^ a b Gunawan, Aditia (2019-12-03). "Textiles in Old-Sundanese Texts". Archipel. Études interdisciplinaires sur le monde insulindien (dalam bahasa Inggris) (98): 71–107. doi:10.4000/archipel.1332. ISSN 0044-8613. 
  7. ^ Sewaka darma (Kropak 408) ; Sanghyang siksakandang karesian (Kropak 630) ; Amanat Galunggung (Kropak 632): transkripsi dan terjemahan. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1987.