Kalijodo

taman publik di Jakarta, Indonesia

Kalijodo adalah sebuah area di sekitar Jalan Kepanduan II, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara di sepanjang bantaran Kanal Banjir Barat. Secara umum, daerah yang dianggap Kalijodo adalah RT 001, RT 003, RT 004, RT 005 dan RT 006 pada RW 05 Kelurahan Pejagalan.[1] Daerah ini terkenal sebagai sarang hiburan malam dan prostitusi untuk kelas bawah. Ia menjadi terkenal karena sorotan dalam cerita dan film Ca Bau Kan, serta menjadi sasaran penertiban pada masa pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Daerah ini sekarang telah menjadi taman dan diresmikan oleh Ahok pada tanggal 22 Februari 2017.[2]

Sejarah sunting

Awalanya nama Kalijodo berasal dari kata Kali dan Jodoh. Tempat ini pada masa lalu adalah salah satu tempat perayaan budaya Tionghoa bernama peh cun, yaitu perayaan hari keseratus dalam kalender imlek. Salah satu tradisi dalam perayaan peh cun adalah pesta air. Pesta ini menarik perhatian kalangan muda dan dibiayai oleh orang-orang berada dari kalangan Tionghoa. Pesta air itu diikuti oleh muda-mudi laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu melintasi kali Angke. Setiap perahu diisi oleh tiga hingga empat perempuan dan laki-laki. Jika laki-laki senang dengan perempuan yang ada di perahu lainnya ia akan melempar kue yang bernama Tiong Cu Pia. Kue ini terbuat dari campuran terigu yang di dalamnya ada kacang hijau. Sebaliknya, jika perempuan menerima, ia akan melempar balik dengan kue serupa. Tradisi ini akhirnya terus berlanjut sebagai ajang mencari jodoh sehingga dari sinilah sebutan Kali Jodoh berasal.[3] Tradisi ini berhenti pada tahun sejak tahun 1958 setelah Wali Kota Jakarta Sudiro yang menjabat diera 1953-1960 melarang perayaan budaya Tionghoa.[3]

Namun menurut versi lain, Kalijodo memang pada awalnya sudah merupakan wilayah prostitusi terselubung. Pada tahun 1600an, banyak pelarian dari Manchuria berlabuh di Batavia, lalu mencari istri sementara atau gundik karena tidak membawa istri dari negara asalnya. Tempat untuk mencari pengganti istrinya di daerah Kalijodo. Para calon gundik ini mayoritas didominasi oleh perempuan lokal, yang akan berusaha menarik pria etnis Tionghoa dengan menyanyi lagu-lagu klasik Tionghoa di atas perahu yang tertambat di pinggir kali. Pada masa tersebut, perempuan yang akan menjadi gundik disebut Cau Bau. Cau Bau, yang bermakna perempuan, dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan pelacur. Kendati demikian, di lokasi tersebut masih berlangsung aktivitas seksual dengan transaksi uang. Aktivitas utamanya adalah menghibur dan mendapat penghasilan, mirip konsep Geisha di Jepang.[4]

Di masa kini, Kalijodo tidak hanya dikunjungi orang-orang etnis Tionghoa, namun juga laki-laki non Tionghoa. Akibatnya Kalijodo berubah menjadi tempat pelacuran sesungguhnya. Bahkan semakin ramai sejak Kramat Tunggak ditutup.[4]

Penertiban sunting

Kalijodo sebenarnya sudah direncanakan untuk ditertibkan sejak tahun 2014 dengan alasan merupakan jalur hijau.[5] Namun kemudian tertunda karena menunggu penertiban Waduk Pluit selesai.[6] Setelahnya, Pemprov DKI mendapat momentum dengan adanya kecelakaan yang melibatkan Toyota Fortuner setelah pengemudinya minum minuman keras sepulang dari Kalijodo.[7] Akhirnya pada tanggal 29 Februari 2016, penduduk Kalijodo direlokasi dengan melibatkan 5000 personel Polri,[8] 2500 personel Satpol PP[9] dan 400 personel TNI [10]

Penertiban berlangsung lancar, dengan penduduk yang memiliki KTP DKI bersedia dipindahkan ke rusunawa Marunda dan Pulogebang atau dipulangkan ke daerah asal.[11]

Pembangunan kembali Kalijodo sunting

Setelah Kalijodo ditertibkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berencana membangun kembali kawasan Kalijodo dengan bekerja sama oleh pengembang swasta untuk mengerjakan beberapa proyek di Kalijodo. Salah satu sasaran pembangunan Ahok di Kalijodo adalah pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau.[12]

Referensi sunting