Jogja Digital Valley


Jogja Digital Valley (JDV) adalah co-working space[1] (ruang kerja bersama) yang diinisiasi oleh PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk atau Telkom Group bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dalam rangka mengoptimalkan potensi industri kreatif digital di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai inkubator industri kreatif digital, JDV[2] memainkan peran penting dalam membangun Jogjakarta menjadi kota digital creative industry. JDV juga memiliki visi untuk mengembangkan ide kreatif berbasis digital dan mengkampanyekan budaya digital kepada masyarakat luas. JDV berlokasi di Jalan Kartini, No. 7, Sagan, Yogyakarta[3] dan dibangun di atas lahan seluas 800 meter persegi serta mampu menampung 50 developer serta 10 perusahaan startup binaan di bidang industri kreatif digital. Keberadaan JDV di Jogjakarta tidak terlepas dari peran PT Telekomunikasi, Tbk atau disebut Telkom Group yang merupakan perusahaan publik BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dibidang teknologi yang berkomitmen untuk mengembangkan ekosistem digital di kalangan masyarakat, terutama masyarakat Jogjakarta. Pendirian Jogja Digital Valley[2] terinspirasi dari Silicon Valley yang berhasil menciptakan ekosistem digital yang kuat dengan adanya integrasi dari berbagai maçam stakeholder, mulai dari public sector, social sector, private sector, dan akademisi.

Awal Mula sunting

Pendirian Jogja Digital Valley tidak terlepas dari peran pemerintah yang melihat pentingnya menumbuhkan budaya digital di kalangan masyarakat. Pertumbuhan budaya digital akan berpengaruh pada terwujudnya kota industri kreatif digital. Namun demikian, pemerintah menilai masih terjadi kesenjangan antara masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang teknologi digital dengan yang tidak, salah satunya masyarakat kalangan berusia 45 tahun ke atas. Hal itu menyebabkan budaya digital belum terinternalisasi ke dalam seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat yang tinggal di Jogjakarta. Persoalan tersebut menjadi awal mula dari komitmen pemerintah untuk membangun sebuah inkubasi yang dapat berperan untuk menumbuhkan budaya digital di masyarakat. Jogja Digital Valley akhirnya didirikan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, melalui Telkom Group lewat program Corporate social responsibility (CSR). Persetujuan yang dilakukan oleh Telkom Group juga sejalan dengan visi mereka dalam rangka pembangunan Non-profit organization. Pembangunan tersebut adalah bagian dari upaya pemerintah untuk membangun budaya digital demi mempercepat pertumbuhan ekosistem industri kreatif digital. Jogja Digital Valley[2] hadir sebagai tempat inkubasi bagi industri kreatif digital di Jogjakarta yang memiliki fungsi sebagai mentor dan asistensi. Sebagai pengembang ekosistem digital, JDV juga memiliki misi untuk mengembangkan ide kreatif berbasis digital dan mengkampanyekan budaya digital kepada masyarakat luas. Fasilitas yang disediakan JDV sebagai sebuah ekosistem diharapkan dapat menunjang kegiatan pendampingan komunitas kreatif digital, di antaranya: co-working space yang nyaman, ruang inkubasi Startup, gadget room, dan meeting room untuk presentasi model bisnis dengan partner kerja atau bertukar ide. Fasilitas-fasilitas yang disediakan tersebut menunjukan perhatian JDV terhadap perkembangan industri kreatif digital. JDV menyadari bahwa budaya digital perlu dikembangkan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sebab, budaya digital di Jogjakarta khususnya, belum terinternalisasi ke dalam seluruh lapisan masyarakat. Pemanfaatan teknologi digital di Jogjakarta hanya dimanfaatkan oleh kelompok tertentu saja, sehingga memunculkan jarak atau kesenjangan digital (digital devide).[4] Oleh sebab itu, JDV memiliki visi jangka panjang untuk mendorong terciptanya swasembada bisnis Informations Communication and Technology (ICT). Melalui swasembada ICT tersebut, selain mengkampanyekan budaya digital, kebutuhan akan konten dan aplikasi nasional juga akan tercukupi oleh para pengembang dalam negeri.

Pemerintah juga menyadari, pembangunan JDV tidak serta merta dengan mudah memuluskan rencana pemerintah dalam mengembangkan ekosistem digital. Untuk menyeimbangkan peran JDV, pemerintah akhirnya membentuk Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF).[5] Melalui asosiasi tersebut, industri kreatif digital di Jogjakarta dinaungi secara legal oleh negara. Tujuannya adalah untuk mempererat hubungan antar-pelaku industri kreatif digital di Indonesia. Selain itu, dibentuknya ADITIF juga dimaksudkan untuk menciptakan sinergi antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, lembaga pendidikan, dan Investor. Visi ke depan ADITIF adalah mengembangkan industri kreatif digital di Indonesia secara lebih signifikan sehingga dapat meningkatkan perekonomian daerah, terutama di Jogjakarta. ADITIF bersama dengan JDV bekerja sama untuk menyukseskan misi tersebut.

Edukasi Teknologi Digital sunting

Dalam rangka mewujudkan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kota digital creative industry, JDV bertekad untuk mengembangkan budaya digital melalui sosialisasi dan edukasi berbagai macam produk teknologi digital kepada masyarakat. Program tersebut dilaksanakan melalui Indonesia Digital Community (INDIGO).[6] INDIGO menjadi upaya JDV dalam mengkampanyekan budaya digital pada masyarakat Jogja yang termuat dalam prinsip-prinsip sebagai berikut:

  • Dignity: kesadaran dari dalam diri anak bangsa yang bermartabat dan memegang teguh konsistensi untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu untuk negeri melalui teknologi digital.
  • Innovation: mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan permasalahan dan menjadikan sesuatu lebih baik, lebih produktif, dan lebih positif.
  • Governance: memosisikan sesuatu sesuai pada tempatnya sehingga akan tercipta kinerja yang lebih baik dengan tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
  • Integral: budaya digital mengajak kita untuk berpikir secara holistik, berbagi dan bekerjasama, serta menumbuhkan prinsip-prinsip kebersamaan secara harmonis.
  • Transparency: prinsip budaya digital yang mengandung nilai-nilai keterbukaan sehingga memperkuat keinginan untuk saling berbagi dan berkolaborasi dengan mengedepankan trust (kepercayaan)
  • Appreciative: saling menghargai hak dan karya cipta orang lain sehingga muncul interaksi positif antara stakeholder
  • Legal: pengenalan dan pemahaman yang lebih baik terhadap aspek legal, sehingga dapat mengurangi risiko-risiko pembajakan karya cipta

Untuk menjalankan program sosialisasi dan edukasi digital melalui INDIGO,[6] selain memegang prinsip-prinsip di atas, JDV juga melakukannya melalui beberapa tahap, di antaranya:

  • Awake: menumbuhkan awareness yang bertujuan untuk menginspirasi publik tentang peluang-peluang baru dalam industri kreatif digital.
  • Inspire: dilakukan melalui storytelling yang berisi pesan-pesan pentingnya mengembangkan industri kreatif digital dan mencari bibit unggul yang diharapkan akan sukses mengelola industri kreatif digital
  • Connect: menciptakan ekosistem yang menjalin mata rantai industri kreatif dari hulu ke hilir menjadi produk atau layanan yang akan dipasarkan menjadi produk atau layanan Telkom Group.
  • Engage: mengajak masyarakat dan pelaku industri kreatif digital untuk menjalin hubungan emosional yang harmonis dan sustainable

Program-program tersebut JDV lakukan atas dasar kesadaran bahwa masyarakat telah memasuki era dimana semua lini kehidupan mengandalkan teknologi digital atau Internet of Everything (IoE)[7]. Pemanfaatan teknologi digital tersebut merupakan perwujudan dari munculnya budaya digital. Budaya digital termanifestasi pada penggunaan teknologi dan aplikasi digital untuk mempermudah berbagai aktivitas manusia. Dalam bahasa lain, fenomena tersebut dikenal dengan sebutan cyborgini. Cyborgini adalah sintesa antara manusia dengan mesin sebagai metafora dari situasi kehidupan manusia kontemporer yang telah terbiasa hidup dan menggantungkan urusan kehidupannya pada mesin.[8] Jogja Digital Valley menilai pengguna teknologi digital dianggap perlu memiliki keahlian untuk menggunakan, mengelola, dan senantiasa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi baru.[4] Sehubungan dengan hal itu, Jogja Digital Valley[2] memiliki peran penting untuk memberikan edukasi teknologi digital kepada masyarakat luas. Hal itu diwujudkan dalam bentuk seminar, workshop, talkshow, dan berbagai event lainnya. Upaya edukasi tersebut dilakukan agar masyarakat dapat terbiasa dengan penggunaan teknologi digital. Dalam jangka panjang, teknologi digital ditujukan untuk dapat menjadi sarana guna meningkatkan kualitas kehidupan dan menjadi solusi bagi berbagai jenis permasalahan. Selain itu, upaya edukasi teknologi digital juga dilakukan JDV agar dapat menolong masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan, mendatangkan kemakmuran materiil, membuat kehidupan menjadi lebih efisien, sehingga kehidupan bermasyarakat akan semakin beradab dan mandiri. Dalam konteks menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kota industri kreatif digital, upaya edukasi teknologi digital akan membuat prinsip-prinsip digital community semakin terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Jogjakarta.

Mengembangkan Produk atau Jasa Digital sunting

Dalam rangka mendukung terbentuknya kota industri kreatif digital, JDV[2] memiliki peran yang sangat penting. Selain melakukan upaya edukasi dan sosialisasi, peran utama JDV adalah mengembangkan produk dan jasa digital. Dengan demikian, aktivitas JDV bukan hanya berfokus pada upaya edukasi dan sosialisasi budaya digital kepada masyarakat umum, melainkan juga upaya mengembangkan produk dan jasa digital pelaku industri kreatif digital. Melalui kedua hal itu, masyarakat akan menjadi terbiasa untuk memanfaatkan teknologi digital dalam segala aspek kehidupannya yang akhirnya mampu mewujudkan kota digital creative industry.

JDV mendorong pelaku industri kreatif digital mengembangkan produk dan jasa digitalnya melalui Inkubasi. Inkubasi adalah wahana penciptaan komersialisasi riset dan lapangan kerja baru yang pada akhirnya tercipta rantai lapangan kerja dan usaha yang mempunyai nilai tambah dan menciptakan rangkaian kerja yang erat antara pemerintah-industri-universitas-masyarakat. Proses inkubasi akan mengubah penemuan-penemuan baru menjadi inovasi, sehingga menjadi proses penciptaan nilai (value creation) yang akan berdampak positif pada munculnya komersialisasi teknologi untuk mendorong penciptaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (social wealth creation and improvement).[9]

Program inkubasi yang dilakukan JDV[2] adalah Indigo Inkubator, yaitu sebuah wadah inovasi ide kreatif berbasis digital. Selain itu, Indigo Inkubator juga menjadi program apresiasi kepada startup yang dinilai berhasil membuat ide, produk, maupun bisnis inovatif digital yang diinginkan pelanggan serta mendorong tumbuhnya technopreneurship[10] baru dalam industri digital. Dengan demikian, Indigo Inkubator menjadi program komprehensif yang didesain khusus untuk mendukung perkembangan startup di Indonesia. Inkubator Indigo mengambil tema “Building Strong Indonesia’s Digitalpreneur with Silicon Valley Mindset” dan tagline “Work Together Grow Together”. Peserta Indigo Inkubator bahkan tidak dibatasi pada pelaku industri yang telah menciptakan produk atau jasa saja, melainkan juga khalayak yang baru memiliki ide di bidang industri kreatif digital. Beberapa kategori program Indigo Inkubator adalah innovative idea (ide/prototipe/produk yang belum mempunyai user), innovative product (produk yang sudah divalidasi ke customer dan memiliki user), dan innovative business (produk yang sudah memiliki paid user). Berdasarkan kategori tersebut, berikut ini adalah beberapa startup yang telah diinkubasi oleh JDV dalam Indigo Inkubator:

No. Start-Up Keterangan
1. Layerfarm Aplikasi untuk memonitor dan menganalisis performasi produksi telur harian dari suatu kandang yang dimiliki peternak ayam petelur
2. GoPos Aplikasi kasir instan yang memudahkan pemilik bisnis mencatat dan merekap laporan serta mencetak struk penjualan
3. DecaDeco Sebuah start-up yang bergerak di bidang e-comerce untuk dekorasi rumah.
4. Pora Game android berupa puzzle-game yang mengharuskan penggunanya membersihkan Danau Toba dalam berbagai game play yang menarik.

Tabel 1: Jenis Stat-up yang diinkubasi oleh Jogja Digital Valley

Untuk mendukung tumbuhnya budaya digital dan membangun Jogjakarta menjadi kota industri kreatif digital, JDV berperan melakukan kampanye pemanfaatan teknologi digital dan mengembangkan produk atau jasa aplikasi melalui program Indigo Inkubator. Melalui inkubasi tersebut, pelaku industri kreatif digital dapat menghasilkan produk atau jasa digital yang memberikan manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, Telkom Group melalui Jogja Digital Valley berharap dapat mendorong dan mempercepat swasembada ICT khususnya aplikasi digital. Dengan demikian, kebutuhan aplikasi digital nasional dapat dipenuhi oleh pelaku industri dalam negeri. Pemenuhan kebutuhan digital nasional akan membuat masyarakat semakin memahami dan mengerti manfaat menggunakan teknologi apabila dibandingkan dengan cara manual. Dengan begitu, kebutuhan-kebutuhan kehidupan akan dapat dipenuhi dengan cara yang lebih efisien. Dalam konteks Jogjakarta menuju kota digital creative industry, bukan mustahil lagi akan dicapai.

Referensi sunting

  1. ^ "Tech in Asia Indonesia - Komunitas Online Startup di Asia". id.techinasia.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-25. 
  2. ^ a b c d e f "Jogja Digital Valley – Co-Working Space and Digital Startup Incubator". jogjadigitalvalley.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-25. 
  3. ^ "Google Maps". Google Maps. Diakses tanggal 2017-10-25. 
  4. ^ a b Tunjungsari, Prima Ratih. (2015). Jogja Digital Valley (JDV) dan Budaya Digital: Studi pada Industri Kreatif Digital di Jogjakarta. Universitas Negeri Yogyakarta: tidak dipublikasikan.
  5. ^ "ADITIF - Asosiasi Digital Kreatif Indonesia – Creative Digital Association of Indonesia". aditif.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-25. 
  6. ^ a b "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-25. Diakses tanggal 2017-10-25. 
  7. ^ "What is Internet of Everything (IoE)? - Definition from WhatIs.com". IoT Agenda (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-25. 
  8. ^ Darmawan, Ruli. (2008). E-Government dalam Perspektif Budaya Tekno (Technoculture). UPN “Veteran” Jogjakarta. Seminar Nasional Informatika
  9. ^ Florida, Richard. 2002. The Rise of the Creative Class. And How It’s Transforming Work, Leisure, and Everyday Life. New York: Basic Books.
  10. ^ "Technopreneurship Definition and the importance of Techpreneurs". Business Blog For Successful Entrepreneurs (dalam bahasa Inggris). 2017-06-01. Diakses tanggal 2017-10-25.