Jemek Supardi (14 Maret 1953 – 16 Juli 2022) adalah seniman teater berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal sebagai penampil pantomim yang menyuarakan ketimpangan sosial masyarakat. Ia telah menghasilkan banyak karya di berbagai medium pertunjukan antara lain di panggung pertunjukan, pasar, jalan, sampai kuburan.[1][2]

Jemek Supardi
Jemek Supardi
Lahir(1953-03-14)14 Maret 1953
Pakem, Sleman, DIY
Meninggal16 Juli 2022(2022-07-16) (umur 69)
Kasihan, Bantul, DIY
KebangsaanIndonesia
Dikenal atasMaestro pantomim Indonesia
AnakKinanti Sekar Rahina

Latar belakang

sunting

Jemek Supardi lahir di Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia merupakan penampil pantomim andal yang pernah dimiliki Indonesia. Latar pendidikannya hanya lulus SMP, dan sempat mengenyam jurusan senirupa di Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia selama tiga bulan. Ia pernah bergabung di sejumlah kelompok teater seperti Teater Alam, Teater Boneka, dan Teater Dinasti. Ketika bersama Teater Dinasti, sekiitar tahun 1977, lantaran ia kesulitan dalam menghafal naskah, akhirnya ia dipercaya mengurusi bidang artistik, seperti properti, make up, dan kostum. Menyadari kelemahannya itu, ia menekuni pantomim sebagai penyaluran hasrat berekspresinya. Keahlian berpantomim ia dapatkan sendiri secara otodidak. Menciptakan seni dalam bahasa gerak berdasarkan imajinasinya. Tidak ada figur yang memberi ilmu pantomin kepadanya. Ia hanya rajin menonton pentas pantomim dari luar negeri yang digelar di Yogyakarta, termasuk pantomim Prancis, [[Marcel Marceau]].[3][4]

Sering berpantomim di tempat tak lazim, semisal di jalan, makam pahlawan, kereta api, dan Rumah Sakit Jiwa Magelang. Dia juga membuat heboh ketika pantomim tak disertakan dalam agenda Festival Kesenian Yogyakarta 1997. Berpakaian kaus hitam-hitam dan muka putih dia berangkat dari rumahnya dengan naik becak ke Pasar Seni FKY. Namun, satuan petugas keamanan di Benteng Vredeburg mencegat dan menggelandangnya keluar. Ia lalu menggelar pantomim Pak Jemek Pamit Pensiun di sepanjang Malioboro, jalan itu pun macet total.[5]

Ia juga pernah menggelar aksi diam sepanjang Yogyakarta-Jakarta saat aksi mahasiswa menuntut Soeharto mundur. Ia setuju jika seniman terlibat dalam berbagai kegiatan dengan menampilkan kemampuannya lewat performance art. Selama lebih dari tiga dasawrsa ia berkesenian, banyak karya telah dilahirkannya. Karya seninya sering dibawakan secara tunggal dan kolektif oleh beberapa kelompok teater.[6]

  • Sketsa-sketsa Kecil (1979)
  • Jakarta-Jakarta (1981)
  • Dokter Bedah (1981)
  • Perjalanan hidup dalam gerak (1982)
  • Jemek dan Laboratorium (1984)
  • Jemek dan Teklek Jeme (1984)
  • Katak Jemek dan Pematung (1984)
  • Arwah Pak Wongso (1984)
  • Perahu Nabi Nuh (1984)
  • Lingkar-lingkar Air (1986)
  • Sedia Payung Sesudah Hujan (1986)
  • Adam dan Hawa (1986)
  • Terminal-Terminal (1986)
  • Halusinasi Seorang Pelukis (1986)
  • Manusia Batu (1986)
  • Kepyoh (1987)
  • Patung selamat Datang (1988)
  • Pengalaman Pertama (1988)
  • Balada Tukang Becak (1988)
  • Halusinasi (1988)
  • Stasiun (1988)
  • Wamil (1988)
  • Soldat (1989)
  • Maisongan (1991)
  • Menanti di Stasiun (1992)
  • Sekata Katkus du Fulus (1992)
  • Se Tong Se Teng Gak (1994)
  • Termakan Imajinasi (1995)
  • Pisowanan (1997)
  • Kesaksian Udin (1997)
  • Kotak-Kotak (1997)
  • Pak Jemek Pamit Pensiun (1997)
  • Badut-badut Republik atau Badut-badut Politik (1998)
  • Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi (1998)
  • Dewi Sri Tidak Menangis (1998)
  • Menunggu Waktu Pantomim (1998)
  • Yogya-Jakarta di Kereta (1998)
  • Kaso Katro (1999)
  • Eksodos (2000)
  • 1000 Cermin Pak Jemek (2001)
  • Topeng-topeng (2002)
  • Kaca (2007)
  • Air Mata Sang Budha (2007)
  • Mata-Mati Maesongan 2 (2008)
  • Menunggu (Kabar) Kematian (2008)
  • Pisowanan (2008)
  • Calegbrutussaurus (2009)
  • Buku Harian Si Tukang Cukur (2012)
  • Jemek Ngudarasa (2013)

Penghargaan

sunting

Referensi

sunting