Bentеng Du Bus

bangunan kuil di Indonesia
(Dialihkan dari Fort Du Bus)

Benteng Du Bus merupakan benteng pertama yang dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 24 Agustus 1828, yang terletak di Teluk Triton di pantai barat daya Pulau Papua (sekarang di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, Indonesia).[1] Awalnya benteng ini didirikan untuk menghambat gangguan dari pasukan kolonial Inggris dari selatan (Australia). Selanjutnya benteng ini menandai dimulainya secara fisik/teknis kehadiran kekuasaan kolonial Belanda di Papua, meskipun daerah tersebut sudah sejak tahun 1823 dianggap oleh pemerintah Belanda sebagai bagian dari tanah jajahan (koloni) Belanda di Kepulauan Nusantara.

Benteng Du Bus
Terletak di Lobo, Kaimana di Indonesia
Benteng Du Bus pada tahun 1828
Koordinat3°38′40″S 133°41′43″E / 3.64444°S 133.69528°E / -3.64444; 133.69528Koordinat: 3°38′40″S 133°41′43″E / 3.64444°S 133.69528°E / -3.64444; 133.69528
JenisBenteng
Area15 ekar (6,1 ha)
Sejarah situs
Dibangun1828 (1828)
NasibDitinggalkan 1835 (1835)
Léonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies (Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak 4 Februari 1826 sampai dengan 16 Januari 1830)

Nama benteng ini diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa saat itu, L.P.J. Burggraaf du Bus de Gisignies.[2][3]

Latar Belakang sunting

Sebelum abad ke-19, New Guinea Belanda (Nederlandsche Nieuw Guinea) diperintah pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkedudukan di Maluku. Meskipun pesisir pulau ini telah dipetakan pada tahun 1825 oleh Lieutenant Commander D.H. Kolff, belum ada upaya serius untuk membangun pemukiman permanen di New Guinea Belanda. Sementara itu, Inggris menunjukkan minat yang tinggi akan daerah ini, dan mulai mengancam untuk mendudukinya. Untuk mengatasi hal tersebut, Gubernur Maluku Pieter Merkus, mendesak pemerintah kolonial untuk membangun pos-pos di sepanjang pantai. Pada 31 Desember 1827, keluarlah surat persetujuan raja Belanda, dan pada 18 April 1828, berangkatlah sebuah tim ekspedisi kecil yang dipimpin Lieutenant Jan Jacob Steenboom, dilengkapi dua kapal, korvet Triton dan sekunar (schooner) Iris, dari pelabuhan Ambon (Maluku) untuk mencari lokasi yang sesuai untuk membangun pemukiman. Dalam tim tersebut, Lieutenant Commander C.J. Boers bergabung untuk melakukan observasi-observasi nautikal bersama lima orang ahli biologi, Dr. H.C. Macklot (ahli zoologi), Gerrit van Raalten (taxidermis), Pieter van Oort (artis), Salomon Müller (ahli zoologi/botani), dan Alexander Zippelius (botani)[2]

Eksplorasi sunting

Setelah berhenti di Banda pada 25 April 1828, Triton dan Iris melanjutkan pelayaran ke Selat Dourga dan Sungai Oetanata, namun urung dipilih karena berawa dan berkarang. Di suatu lokasi yang tidak dirinci, beberapa perwira dan prajurit terluka akibat serangan penduduk asli. Hingga akhirnya pada awal bulan Juli 1828, Lieutenant Steenboom akhirnya memutuskan memilih lokasi yang layak di hulu teluk yang tertutup yang segera dinamai Teluk Triton (3°42’ Lintang Selatan dan garis meridian 134°15’4” Bujur Timur), yang terletak di timur lokasi yang sekarang menjadi kota Kaimana.[3] Penduduk asli teluk menyebut teluk tersebut sebagai Uru Lengguru.

Pembangunan Pos sunting

Kapal-kapal Triton dan Iris berlabuh selama dua bulan, para awaknya membantu para pemukim membangun beberapa bangunan kecil yang dikelilingi oleh pagar kayu runcing. Pada 24 Agustus 1828, bertepatan dengan ulang tahun Raja Willem I dari Belanda, bendera triwarna Belanda resmi dikibarkan dan klaim Belanda atas New Guinea diumumkan.

Klaim tersebut berbunyi sebagai berikut: “Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja Nederland, Pangeran Oranje van Nassau, Hertog Agung Luxemburg dan seterusnya, bagian dari Nieuw Guinea, serta daerah-daerah di pedalaman yang mulai pada garis meridian 141° sebelah timur Greenwich di pantai selatan dan dari tempat tersebut ke arah barat, barat daya dan utara sampai ke Tanjung Harapan Baik di pantai utara, selain daerah-daerah Mansarai, Karondefer, Amberpura dan Ambarpon yang dimiliki oleh Sultan Tidore, dinyatakan sebagai miliknya.”

Beberapa orang kepala suku setempat menyaksikan pengumuman tersebut dan menyatakan kesetiaan kepada Raja Willem I dari Belanda. Upacara pada tanggal tersebut di atas dianggap di Eropa sebagai tanda bahwa sejak waktu tersebut Belanda memiliki kedaulatan atas wilayah yang dinyatakan dalam proklamasi tersebut, sehingga wilayah tersebut tidak boleh lagi di tempati oleh kekuasaan-kekuasaan Eropa lainnya.

Segera setelah pendirian benteng pertama ini, hubungan antara pihak Belanda dan penduduk pribumi ditentukan dalam surat-surat perjanjian. Surat perjanjian ini ditandatangani oleh Sendawan (Raja Namatota), Kassa (Raja Lahakia), dan Lutu (Orang kaya di Lobo dan Pulau Miwara).[Catatan 1][4] Mereka diangkat sebagai kepala di daerah masing-masing oleh Belanda dengan diberi surat pengangkatan sebagai kepala daerah, berikut tongkat kekuasaan berkepala perak. Selain ketiga kepala daerah ini, diangkat pula 28 kepala daerah bawahan.

Orang-orang Belanda di benteng ini segera membuka perdagangan dengan suku-suku pesisir Asmat dan pedalaman Papua, selain dengan pedagang-pedagang dari Seram yang datang dengan perahu-perahu beratap berukuran 15-30 kaki. Mereka menukar (barter) kulit massoia, kayu-kayu beraroma, pala, teripang, burung cendrawasih, dan sarang burung. Namun, para pemukim terjangkit berbagai penyakit, terutama malaria, dan diserang oleh suku-suku dari Seram dan Goram. Pada tahun 1835, keluar perintah dari Ambon, untuk membongkar dan meninggalkan pemukiman tersebut.

Pada tahun 1839, penjelajah Prancis Jules Dumont d'Urville mengunjungi tempat ini dan menemukan jalan yang diapit pohon-pohon kelapa, kebun jeruk dan beberapa sisa bangunan. Petugas-petugas kolonial Hindia Belanda terus mengunjungi Teluk Triton secara sporadis setelahnya.

Catatan sunting

  1. ^ Tiga orang tesebut berdasarkan, Koetjaraningrat dkk (1994), Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Awalnya kerajaan dipimpin oleh seorang bernama Sendawan Mawara, akibat perpecahan ia meninggalkan wilayahnya di Pulau Miwara, sedangkan Ulontua Keliobas (Ulon Swarga), seorang dari Gorong diangkat oleh sebagian masyarakat yang pindah di Pulau Namatota menjadi Raja. Masyarakat awal yang masih menetap di Miwara kemudian mengangkat pemimpin sendiri dengan jabatan Orang kaya dari keturunan Sendawan Mawara dan diberi gelar Sendawan.

Referensi sunting

  1. ^ Saragih 2019, hlm. 11.
  2. ^ a b (Belanda) G.F. Mees, 1994.Vogelkundig onderzoek op Nieuw Guinea in 1828 Terugblik op de ornithologische resultaten van de reis van Zr. Ms. Korvet Triton naar de zuid-west kust van Nieuw-Guinea. Zool. Bijdr. Leiden 40, 30.xii.1994:1-64 ISBN 90-73239-39-7 PDF Diarsipkan 2014-02-25 di Wayback Machine.
  3. ^ a b Supplementary Papers, Volume 1; Royal Geographical Society (Great Britain), J. Murray, 1886; http://books.google.com/books?id=g-KfAAAAMAAJ&dq=fort+du+bus&source=gbs_navlinks_s Diarsipkan 2023-07-23 di Wayback Machine.; retvd 5 12 14
  4. ^ Mawara, Agustinus (2021-12-31). "PULAU MIWARA PUSAT NIAGA MASA LAMPAU: Tinjauan Sejarah Perdagangan Tradisional di Teluk Triton". Kebudayaan. Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (Kemendikbud). 16 (2). doi:10.24832/jk.v16i2.379. ISSN 2685-8088. 

Daftar pustaka sunting

Saragih, Maylina (2019). Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala. Subdisjarah Dispenau.