Antropologi forensik

Antropologi forensik adalah cabang antropologi biologi berbasis osteologi dan anatomi manusia yang digunakan dalam pengidentifikasian individu untuk kepentingan hukum dan peradilan.[1][2][3][4]

Antropologi forensik juga didefinisikan sebagai area penelitian yang fokus pada pemeriksaan material yang dipercaya sebagai manusia, yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait kedokteran dan hukum (medico-legal) yang berhubungan dengan proses identifikasi. Sebagaimana didefinisikan oleh American Board of Forensic Anthropology (ABFA) bahwa antropologi forensik adalah aplikasi dari ilmu antropologi fisik dan biologi yang berkaitan dengan proses hukum (legal). Lebih jauh lagi ABFA menerangkan bahwa ahli antropologi fisik dan biologi yang berkecimpung di bidang forensik menjadikan kerangka manusia sebagai fokus penelitian.[5] Oleh sebab itu antropologi forensik berkembang menjadi cabang ilmu forensik yang utamanya bertujuan dalam individuasi rangka.[2] Secara tradisional, peran ahli forensik antropologi dibatasi pada pengembangan dan penetapan profil biologis dari kerangka manusia. Namun kini peran ahli forensik antropologi telah meluas seiring sering dilibatkannya ahli forensik antropologi dalam proses identifikasi korban bencana.[5] Pada kasus tertentu, misalnya kecelakaan pesawat atau ledakan bom, kebanyakan korban ditemukan dalam keadaan terfragmentasi dalam kepingan-kepingan dan terlempar ke segala arah disertai besarnya risiko pencampuran bagian tubuh antar korban.[3][5] Pengalaman yang dimiliki ahli antropologi forensik berguna dalam penilaian akan bagian tubuh manusia dengan kondisi yang terpisah-pisah atau hangus terbakar tersebut. Ahli antropologi forensik dapat menentukan jumlah individu minimum, membedakan antara potongan tubuh dan/atau tulang yang berasal dari manusia atau bukan, serta dapat menentukan profil biologis seperti umur, jenis kelamin, dan etnis dari potongan tubuh manusia yang belum teridentifikasi.[5]

Identifikasi Forensik sunting

Antropologi forensik juga menunjang pelayanan yang diberikan kedokteran forensik- salah satu jenis forensik yang sering dipakai untuk mengungkap tindak kejahatan pidana- dalam melakukan identifikasi forensik untuk membantu penyidik saat memenuhi permintaan visum et repertum, untuk menentukan identitas seseorang.[4][6][7] Peran kedokteran forensik dalam identifikasi forensik terutama dilakukan pada jenazah yang tidak dikenal. Identitas seseorang dapat dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil yang tidak meragukan.[6][7] Keterangan ahli kedokteran forensik dalam perkara pidana menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, serta dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, tertuang dalam visum et repertum.[8][9] Namun pada kasus pidana, korban akan tetap berada di tahap lanjutan dekomposisi hingga antropologi forensik dapat mengidentifikasi identitas jenazah yang dimutilasi/tidak dikenali tersebut.[8][10] Peran penting antropologi forensik itu memerlukan adanya bantuan keluarga, teman-teman, dan orang-orang di sekitar pada proses akuisisi data antemortem untuk dijadikan informasi kunci pada proses identifikasi dan keberlanjutan penyelesaian kasus dalam mengungkap pelaku dan penegakan keadilan.

Proses identifikasi dilakukan dengan minimal menggunakan salah satu dari tiga kriteria primer yang ada, yakni gigi, tulang, sidik jari, atau DNA. Kriteria sekunder dapat berasal dari bukti foto dan properti benda yang ditemukan.[3] Kemampuan dalam antropologi forensik yang antara lain terdiri dari: 1) pemeriksaan tulang-belulang manusia; 2) pemeriksaan titik antropologi manusia; 3) pemeriksaan kematangan tulang manusia; dan 4) pelaksanaan rekonstruksi wajah digunakan untuk mengetahui ras, jenis kelamin, serta umur.[1][3] Beragam metode telah dikembangkan dalam antropologi forensik untuk menyelesaikan bermacam kasus forensik yang memerlukan identifikasi identitas jasad manusia.[3] Salah satu metode yang digunakan dalam antropologi forensik ialah antropometri. Antropometri merupakan metode dengan cara mengukur bagian tubuh. Pengukuran antropometri dilakukan berdasarkan tinggi badan, panjang dan lebar kepala, sidik jari, bentuk hidung, telinga, dagu, warna kulit, warna rambut, tanda pada tubuh, atau DNA.[6][8][10][11] Pengukuran panjang segmen tertentu, misalnya panjang tulang tertentu, yang kemudian dimasukkan ke dalam rumus tinggi badan juga dapat digunakan, sebab tinggi badan merupakan salah satu profil biologis utama pada tubuh manusia.[8][12] Sebagai contoh, salah satu bagian tubuh yang dapat diukur untuk menentukan tinggi badan ialah tinggi kepala. Korelasi antara tinggi badan dengan tinggi kepala dapat ditemukan. Pertambahan tinggi badan berbanding lurus dengan pertambahan tinggi kepala. Sehingga, untuk setiap penambahan tinggi badan akan diikuti pula dengan penambahan tinggi kepala.[8] Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbandingan antara tinggi kepala dan tinggi badan ialah 1: 7 baik pada laki-laki maupun perempuan, demikian pula dengan perbandingan yang sama, terdapat korelasi antara panjang kedua telapak kaki dengan tinggi badan.[6][8]

Studi mengenai antropologi forensik diberikan di sekolah/fakultas kedokteran dan kuliahnya masuk dalam kurikulum kesehatan dan bencana. Namun, tidak semua fakultas kedokteran menawarkan kelompok keahlian di bidang antropologi forensik ini.[3]

Perspektif Antropologi sunting

Selain membutuhkan pemahaman di bidang osteologi dan odontologi serta pengalaman pemeriksaan tulang dari berbagai ras dan budaya, pemahaman mengenai kerangka waktu, lokasi geografis, dan lingkungan kematian berdasarkan perspektif antropologi merupakan hal yang sangat berharga saat melakukan proses identifikasi. Pada kasus bencana alam, peran antropologi forensik bahkan sering kali melebihi aspek teknis identifikasi para korban di lokasi. Hal yang ditangani para ahli antropologi forensik pada kasus bencana alam terlebih lagi meliputi menemui keluarga yang kehilangan anggota keluarganya, menemui pihak media yang membutuhkan berita, menemui pihak berwenang dari negara asal warga yang ikut tewas akibat bencana, serta menemui warga masyarakat agar memahami proses identifikasi yang sedang berjalan.[3]

Kekuatan dan pentingnya penggunaan antropologi di samping kebutuhan akan ilmu pertulangan (osteologi) dalam menuntaskan proses identifikasi tergambarkan pada berbagai kasus di berbagai tempat di dunia, termasuk di Indonesia, baik yang terjadi akibat bencana alam maupun bencana buatan.[3][13][14][15][16][17][18] Namun demikian, antropologi forensik yang merupakan bidang keahlian dengan spesialisasi yang tinggi ini sering dilupakan dan dipandang rendah di Indonesia. Para ahli di bidang ini pun sangat sedikit jumlahnya.[3] Pada operasi DVI/Disaster Victim Identification (identifikasi korban bencana), peran ahli antropologi forensik tidak selalu dipahami dengan benar oleh pemerintah dan instansi-instansi penegak hukum lainnya. Pada beberapa kasus pendapat dari ahli antropologi forensik tidak diperhitungkan oleh karena adanya anggapan bahwa ahli antropologi forensik hanya berhubungan dengan potongan tubuh atau kerangka manusia saja. Pada beberapa kasus seperti Bom Bali I dan II serta Bom di Kedutaan Australia, tim DVI Indonesia mendapatkan bantuan dari ahli antropologi forensik dari Australia dalam menangani aspek antropologi forensik pada kasus-kasus tersebut.[19]

Prosedur DVI (Disaster Victim Identification) Interpol sunting

Ketika sebuah bencana terjadi, baik secara alami maupun akibat buatan manusia, terdapat lima langkah dalam identifikasi korban bencana/Disaster Victim Identification (DVI) berdasarkan acuan komite polisi internasional/International Police (Interpol). Indonesia menggunakan prosedur DVI Interpol ini untuk menemukan dan mengidentifikasi jasad manusia. Namun, tidak semua negara menggunakan acuan ini. Ada negara-negara yang tidak menggunakan prosedur DVI berdasarkan acuan Interpol, misalnya Amerika Serikat. Lima langkah prosedur DVI berdasarkan acuan Interpol ialah: 1) proses pencarian dan evakuasi, 2) memasukkan ke kamar mayat untuk pemeriksaan postmortem, 3) mengumpulkan data antemortem, 4) rekonsiliasi data antemortem, dan 5) menyampaikan atau mengeksekusi hasil/release debrief.[3]

Fase I: Lokasi sunting

Pada fase I ini, berlokasi di tempat kejadian dan area di sekitarnya, dilakukan proses pencarian tubuh/anggota tubuh dan benda-benda yang mempunyai keterkaitan, pemetaan terhadap area bencana, pemberian label (untuk setiap lokasi yang berbeda diberi label yang berbeda), dokumentasi, dan penyimpanan tubuh/anggota tubuh ke dalam kantung yang telah disiapkan. Informasi mengenai tempat ditemukan tubuh/sisa tubuh serta posisi anatomis tubuh/sisa tubuh juga sangat penting. Para evakuator yang telah mendapat pelatihan DVI akan sedapat mungkin mendapatkan informasi tersebut. Namun, yang seringnya terjadi ialah orang-orang di sekitar lokasi kejadian yang tidak mengetahui prosedur DVI yang datang melakukan evakuasi pertama kali.

Fase II: Mortuarium sunting

Pada fase II dilakukan yang disebut pemeriksaan postmortem, biasanya dilakukan di rumah mayat/kamar mayat yang ada di rumah sakit. Tahapan pada fase II ini yaitu:

  1. Menerima kantung berisi tubuh/bagian tubuh di rumah mayat setelah pengambilan sidik jari dan penandatanganan formulir pelacakan untuk menunjukkan dari mana kantung itu berasal.
  2. Menuliskan nomer kantung tubuh dan mencocokkannya dengan formulir postmortem (merupakan tugas ahli patologi forensik dan orang yang melakukan pencatatan).
  3. Melepaskan pakaian, perhiasan, atribut pada tubuh/sisa tubuh, membersihkan (mencuci dan membilas) tubuh/sisa tubuh tersebut, memberikan deskripsi, dan membuat dokumentasi (merupakan tugas ahli fotografi dan orang yang melakukan pencatatan).
  4. Melakukan identifikasi jenis kelamin, umur, tinggi badan, serta ras oleh ahli antropologi forensik.
  5. Mengambil pemeriksaan Sinar-X pada dada bila para korban berusia lanjut untuk lebih memudahkan pada proses pencocokan dengan rekaman yang sudah ada.
  6. Melakukan otopsi, merekam tato, luka, bukti luka-luka, penyakit, dan ketidaknormalan fisik yang dapat teramati (merupakan tugas ahli patologi forensik).
  7. Menandatangani formulir pelacakan.
  8. Memeriksa gigi, mengambil radiografi gigi, mengamati bila ada tambalan gigi, gigi palsu, dll untuk dicocokkan dengan rekaman gigi yang sudah ada.
  9. Merekam fragmentasi tubuh (pada kasus tubuh yang terfragmentasi) untuk mendapat informasi bagian tubuh yang hilang (kanan atau kiri, atas atau bawah, dst.), yang berguna dalam proses identifikasi. Misalnya, seseorang tidak mungkin mempunyai dua telinga kiri, dsb., pada kasus tubuh yang kehilangan kepala atau kepala yang kehilangan tubuh, dst.
  10. Mengambil sampel (darah, jaringan tubuh) untuk kemungkinan pemeriksaan tes DNA lebih jauh.

Seluruh data postmortem atau seluruh data yang didapatkan dari fase II ini kemudian disimpan dalam formulir yang berwarna merah muda.

Fase III: Data Antemortem sunting

Data antemortem dikumpulkan melalui informasi dari anggota keluarga maupun teman-teman, orang terdekat, berupa data mengenai tanda di tubuh/ciri khusus, barang-barang yang dikenakan- perhiasan, jam tangan, pakaian- untuk dicocokkan dan dijadikan kriteria sekunder teridentifikasi. Selain itu, catatan medis dari dokter dan dokter gigi juga dibutuhkan untuk keperluan mencocokkan kriteria primer teridentifikasi dengan data yang sudah ada.

Data antemortem ini seluruhnya dimasukkan ke dalam formulir berwarna kuning. Pembedaan warna formulir data antemortem dari hasil pemeriksaan postmortem sangat penting agar tidak tercampur.

Terdapat formulir A hingga G di dalam formulir kuning antemortem yang membutuhkan ketelitian dalam pengisiannya. Data antemortem yang dikumpulkan dari anggota keluarga dan teman, contohnya: kapan waktu terakhir bertemu, pakaian apa yang dikenakan, berapa ukuran sepatu, berapa tinggi badan, apakah menyimpan foto terakhir, apakah pernah dioperasi atau memiliki karakter fisik yang unik. Dan untuk mendapatkan data mengenai tinggi badan, diperlukan informasi jenis kelamin, golongan darah, sidik jari, serta catatan kesehatan atau catatan gigi, dsb.

Fase IV: Rekonsiliasi sunting

Fase ini merupakan tahap dimana hasil pemeriksaan postmortem dicocokkan dengan data antemortem. Perdebatan sering terjadi pada fase IV ini ketika metode identifikasi primer yang meliputi gigi, sidik jari, dan DNA tidak sesuai dengan metode identifikasi sekunder yang meliputi barang-barang properti, rekaman medis, foto, serta dokumen lainnya.

Fase V: Release Debrief sunting

Pada fase ini jenazah sudah dapat diidentifikasi dan dikembalikan kepada keluarga bersamaan dengan surat pelepasannya.

Peran seorang ahli antropologi forensik pada skenario DVI adalah sebagai bagian dari tim medis pada fase lokasi/TKP, antemortem, postmortem, dan rekonsiliasi. Dalam menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan korban bencana, seperti pencarian, pemulihan, proses identifikasi, penanganan bencana serta keluarga korban, idealnya juga ditangani oleh ahli antropologi forensik karena mereka telah terlatih dalam menangani hal-hal tersebut.[5]

Referensi sunting

  1. ^ a b http://www.flevin.com/id/lgso/legislation/Mirror/czozMToiZD1ibisyMDExJmY9Ym40NjYtMjAxMS5wZGYmanM9MSI7.pdf
  2. ^ a b http://fk.unri.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/48-Taufik-Hidayat-Rika-Susanti.pdf
  3. ^ a b c d e f g h i j ojs.atmajaya.ac.id/index.php/damianus/article/view/243/197
  4. ^ a b "Forensik dan Ruang Lingkupnya Dalam Mengungkap Tindak Pidana". hukumonline.com/klinik (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-06. 
  5. ^ a b c d e "PERAN FORENSIK ANTROPOLOGI DALAM OPERASI-OPERASI DVI DI INDONESIA". Tribrata News NTB. 2016-09-11. Diakses tanggal 2017-11-06. [pranala nonaktif permanen]
  6. ^ a b c d https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/12109/11690
  7. ^ a b http://www.vikaasriningrum.com/2009/12/peran-antropologi-forensik[pranala nonaktif permanen]
  8. ^ a b c d e f "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 2017-11-06. 
  9. ^ Mun’im Idries, Abdul dan Legowo Tjiptomartono, Agung. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto, 2008; p. 88
  10. ^ a b Forensic Anthropology. Available from: Id.termwiki.com/id/forensic_anthopology
  11. ^ http://repository.maranatha.edu/8764/3/0810216_Chapter1.pdf.
  12. ^ Idrianti E. Antropologi Forensik: Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi Biologis dalam Konteks Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press, 2004.
  13. ^ Rathburn TA, Buikstra JE. Human identifcation: Case studies in forensic anthropology. Springfeld: Charles C. Thomas; 1984.
  14. ^ Steadman DW. Hard evidence: Case studies in forensic anthropology. 2nd ed. Prentice Hall: Pearson; 2009.
  15. ^ Reichs KJ. Forensic osteology. Advances in identifcation of humans.Springfeld: Charles C Thomas Pub; 1998.
  16. ^ Blau S, Ubelaker D. Handbook of forensic anthropology and archaeology. California: Left Coast Press, Inc;2011.
  17. ^ Indriati E. The roles of forensic anthropology in fetal death investigation. Berkala Ilmu Kedokteran. 1999; 31 (3): 181-7.
  18. ^ Indriati E. Penentuan individu pada penggal kepala dengan kongruensi vertebra. Berkala Ilmu Kedokteran.2000;32 (3): 1147-54.
  19. ^ Indriati, E. 2010. Antropologi Forensik. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta

Kategori:Antropologi