G.K.R. Mangkubumi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Wagino 20100516 memindahkan halaman Ratu Pembayun ke Pembayun menimpa pengalihan lama: menghilangkan gelar
Baris 26:
Rentetan acara pernikahan diawali dengan prosesi "Nyantri" <ref>http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2002/5/28/n2.htm</ref> dimana calon pengantin pria [[Nieko Messa Yudha]] yang sebelumnya telah diberi gelar [[Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro]] mulai masuk ke Keraton pada tanggal 27 Mei 2002.
 
Sesuai dengan adat yang berlaku di Keraton, Sri Sultan Sendiri yang menikahkan puterinya dengan [[KPH Wironegoro]]. Prosesi "panggih" pernikahan dihadiri oleh pejabat tinggi negara, termasuk Presiden [[Megawati Soekarnoputri]] serta Duta-duta besar perwakilan negara-negara sahabat.<ref>http://www.tempo.co/read/news/2002/05/28/05811565/Presiden-dan-Pejabat-Tinggi-Negara-Hadiri-Pernikahan-Puteri-Sultan-HB-X</ref>. Sebagai Putri Raja, Ratu Pembayun melewati prosesi "pondongan" dalam prosesi panggih dimana mempelai pria dibantu salah seorang paman dari mempelai wanita [[GBPH Yudhaningrat]] memondong (mengangkat) mempelai wanita sebagai simbol "meninggikan" posisi seorang istri. Beberapa berita melaporkan bhwbahwa prosesi panggih ini diliputi oleh suasana "magis" berkaitan dengan angin kencang yang bertiup di dalam tembok keraton serta petir yang menggelegar di siang hari bolong<ref>http://www.pda-id.org/library/index.php?menu=library&act=detail&gmd=Artikel&Dkm_ID=20020120</ref>
 
Usai panggih, kedua mempelai kemudian dikenalkan kepada masyarakat melalui prosesi "kirab". Sebagai putri pertama, Ratu Pembayun harus dikirab keliling benteng Keraton, menggunakan kereta pusaka Kanjeng Kyai Jongwiyat, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Prosesi Kirab yang sudah tidak pernah dilaksanakan lagi sejak jaman pemerintahan Sultan [[Hamengkubuwono VIII]] ini dihadiri oleh ratusan ribu warga yogyakarta.<ref>http://news.liputan6.com/read/34992/kirab-pengantin-keraton-yogyakarta-disambut-meriah</ref> Pernikahan agung Keraton Yogyakarta ini mengikuti tradisi yang dipertahankan sejak ratusan tahun dan diteruskan hingga adik-adik dari Ratu Pembayun yaitu [[Ratu Maduretno]], [[Ratu Hayu]] dan [[Ratu Bendoro]]
 
Pernikahan Ratu Pembayun dan [[Pangeran Wironegoro]] dikaruniai dua orang anak: 1) Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari Wironegoro dan 2)
Raden Mas Drasthya Wironegoro. Putri pertamanya "Artie" sudah cukup dewasa untuk menjalani upacara adat "tetesan" pada tanggal 22 Desember 2013. Upacara ini menandai bahwa seorang anak perempuan sudah menginjak dewasa.<ref>http://www.harianjogja.com/baca/2013/12/22/tetesan-putri-pembayun-jaga-kesehatan-sekaligus-lestarikan-budaya-476538</ref>
 
==Pekerjaan==
Selain aktif dalam berbagai organisasi sosial dan kemasyarakatan, GKR Pembayun menjabat sebagai Direktur PT. Yogyakarta Tembakau Indonesia (perusahaan [[rokok kretek]] yang dibangun untuk mengurangi angka pengangguran di [[Bantul]]) dan PT. Yarsilk Gora Mahottama, serta Komisaris Utama PT Madubaru.<ref name="kab">[http://kabare.jogja.com/?a=b1R5L0ZlWjNWRi9JblVkUmhOIHk%3D= Kabare Jogja Magazine: Kondhang : GKR Pembayun “Jadi Raja itu Nggak Enak”], 19 Juni 2006.</ref>