Osing: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
{{takakurat}}
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
Menurut sejarahwan dari Belanda Pegeot (dalam Bukunya Runtuhnya Kerajaan Islam [[Mataram]]), orang [[Blambangan]], cikal bakal [[Banyuwangi]], sangat kuat istrigatsnya kepada wilayah dan pimpinannya. Sehingga, meski Mataram berhasil menguasai Blambangan dan Kerajaan Mengwi mundur, namun tidak serta-merta orang Blambangan ini tunduk terhadap Mataram sebagai penguasa baru di Tlatah Blambangan. Sebaliknya, mereka justru lari atau mengungsi dalam kelompok-kelompok kecil ke daerah pedalaman. Ini terbukti, dialek Bahasa Using sangat banyak. Lain kampung, maka lain dialeknya, meski hanya dibatasi sungai atau jalan. Maka orang Banyuwangi asli (Using) akan mudah dikenali asal daerah mereka, dengan mengenali cara mereka berbicara dan menggunakan Bahasa Using, baik intonasi maupun kosakatanya. Misalnya antara orang Mangir dengan Melik atau Gambor, atau juga dengan orang Penataban.
 
Sementara ketika Mengwi kembali menguasai Blambangan, maka orang asli Banyuwangi ini lebih condong ke Bali yang mengaku masih satu keturunan. Maka pada kesimpulannya, Pigeud akhirnya mengatakan, "SuaruaSuatu ketika pengaruh Mataram kuat, baik secara budaya maupun dalam kehidupan sehari. Namun suatu saat juga melemah, ketika Mengwi berhasil menguasai lagi sebagian wilayah Blambangan". Tidak heran, dalam kesenian Banyuwangi banyak percampuran antara Bali dan Jawa.
 
Konon kesenian "Janger" yang berkembang di Banyuwangi hingga saat ini, itu hasl rekayasa Mataram untuk menarik orang-orang Using. Mereka meski sudah dikuasai, namun masih sulit menerima perintah dan pengaruh budaya Mataram. Sehingga penguasa Mataram perlu mengadaptasi kesenian "LangendriaLangendrian" yang sudah ada di Mataram. Dalam perkembangannya, kesenian ini seperti Ketroprak. Namun Janger di Banyuwangi pada waktu itu hanya menampilkan lakon Damarwulan dengan ''setting'' daerah Majapahi dan Blambangan. Tujuan idologisnya, agar orang Osing tidak menghargai pemimpinannya atau rajanya, yaitu Menakjinggo yang digambarkan buruk muka dan tidak punya tatakrama.
 
Namun untuk menarik minat orang Osing mendatangi pertunjukan "Janger Langendrian" ini, sengaja musik pengiring bukan gemelan jawa dan kostum pelakunya seperti layaknya raja-raja Jawa, melainkan menggunakan gemaelan dan kostum Bali. Sehingga kesenian yang selalu dibuka dengan tari Legong ini seakan membius orang Osing, bahwa mereka sedang menikmati kesenian dari saudara tuanya, yaitu Bali. Namun setelah memasuki cerita, baru penguasa Mataram memasukkan unsur-unsur Jawa-Mataram dan bahasa dialog dan "ontowacononya". Cara ini sangat efektif, karena orang Osing akhirnya tidak memedulikan siapa pemimpinnya, bahkan keranjingan menggunakan bahasa Jawa untuk dialog sehari-hari. Ada semacam gengsi tersendiri di kalangan orang Osing, apabila bila berbicara menggunakan bahasa Jawa.
 
Setelah masa penjajahan Belanda, sikap orang Osing terhadap penjajah tidak jauh berbeda ketika ditujukan kepada Mataram. Bahkan mereka tidak mau mengikuti perintah keras Belanda untuk kerja paksa. Akibat sulitnya Belnada menundukan orang-orang Osing ini, akhirnya muncul julukan orang Banyuwangi asli sebagai orang "Using", karena "sing" atau "tidak" mau diajak kompromi dalam berbagai hal untuk mendukung penjajah. Bahkan dalam perang habis-habisan, atau "Puputan BatuBayu" ribuan orang Using dibantai Belanda hingga kepalanya dipajang di sepanjang Lincing Rogojampi, untuk membuat jera yang lain agar mau bekerja sama dengan Belanda.
 
Namun secara sosiolinguistik, bahasa Using bukan dari Bahasa Jawa, melainkan dari Bahasa Jawa Kuno. Terbukti dalam bahasa Jawa Kuno dan Using itu tidak ada strata bahasa, atau unggah-ungah seperti halnya Bahasa Jawa. Jadi antara Bahasa Using dan Bahasa Jawa sama satu induk, buka sebagai subordinat. Namun akibat letak geografi Banyuwangi (sebelum ada jalan penghubung dengan Jember dan Situbondo) bahasa Using cenderung statis dibanding bahasa Jawa yang diawali dari bahasa Kraton yang ada unggah-ungguhnya. Bahkan budayawan Banyuwangi Hasan Ali berani menyatakan, kosa-kata Bahasa Using banyak digunakan dalam kosa kata Bahasa Bali. Karena sebelum menyusun Kamus Bali-Belanda, Lackercker puluhan tahun tinggal di Banyuwangi. Disinyalir, saat itu sudah menyusun kata-kata yang ditemukan diBanyuwangi dan digunakan dalam Bahasa Bali. Sehingga kata "sing" Bahsa Bali dan BanyuwangiBahasa Using sama artinya, yaitu "tidak.
 
== Lihat juga ==