Sejarah Gereja Katolik: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 164:
Prancis tetap sebuah negara Katolik. Hasil sensus tahun 1872 menunjukkan bahwa dari 36 juta warga negara Prancis, 35,4 juta jiwa memeluk agama Kristen Katolik, 600.000 jiwa memeluk agama Kristen Protestan, 50.000 memeluk agama Yahudi, dan 80.000 tercatat sebagai orang-orang berpikiran bebas. Revolusi Prancis gagal membinasakan Gereja Katolik, dan statusnya dipulihkan Konkordat 1801 yang ditandatangani Napoleon. Kembalinya wangsa Bourbon ke tampuk pemerintahan pada tahun 1814 memunculkan kembali banyak bangsawan dan tuan tanah kaya yang mendukung Gereja, yang mereka pandang sebagai kubu pertahanan konservatisme dan monarkisme. Meskipun demikian, biara-biara berikut tanah-tanahnya yang luas maupun kekuasaan politiknya yang besar sudah binasa. Sebagian besar tanah-tanah biara sudah dijual kepada para wirausahawan dari kota yang tidak memiliki ikatan sejarah dengan tanah maupun kaum taninya. Hanya sejumlah kecil padri yang ditahbiskan pada kurun waktu 1790–1814, sementara sejumlah besar padri meninggalkan Gereja. Akibatnya, jumlah rohaniwan paroki menyusut dari 60.000 orang pada tahun 1790 menjadi 25.000 orang saja pada tahun 1815, dan kebanyakan sudah uzur. Wilayah Prancis, terutama daerah sekitar kota Paris, hanya dilayani sejumlah kecil padri. Meskipun demikian, beberapa daerah masih teguh berpegang pada iman Katolik, di bawah pimpinan bangsawan-bangsawan dan keluarga-keluarga tua setempat.<ref>Robert Gildea, ''Children of the Revolution: The French, 1799–1914''(2008) hlm. 120</ref> Pemulihan berlangsung lamban, bahkan sangat lamban di kota-kota besar dan kawasan-kawasan industri. Melalui karya misi yang sistematis serta pengutamaan liturgi dan devosi-devosi kepada Santa Perawan Maria, ditambah dukungan dari Kaisar Napoleon III, kondisi Gereja Katolik di Prancis akhirnya membaik. Pada tahun 1870, ada 56.500 orang imam, yang merupakan tenaga-tenaga baru yang lebih muda dan lebih dinamis di desa-desa dan kota-kota kecil, dengan jaringan sekolah, lembaga amal, dan organisasi umat awam yang kuat.<ref>Roger Price, ''A Social History of Nineteenth-Century France'' (1987) bab 7</ref> Umat Katolik konservatif menguasai pemerintahan negara pada kurun waktu 1820–1830, tetapi lebih sering memainkan peran-peran politik sekunder atau harus melawan serangan-serangan dari golongan republikan, golongan liberal, golongan sosialis, dan golongan sekuler.<ref>Kenneth Scott Latourette, ''Christianity in a Revolutionary Age. Jld. I: The 19th Century in Europe; Background and the Roman Catholic Phase'' (1958) hlmn. 400–412</ref><ref>Theodore Zeldin, ''France, 1848–1945'' (1977) Jld. 2, hlmn. 983–1040</ref>
 
==== Zaman Republik Ketiga (1870–1940) ====
Pada zaman Republik Ketiga, timbul sengketa seputar status Gereja Katolik. Para rohaniwan dan uskup-uskup Prancis dipandang sebagai sekutu golongan monarkis, mengingat ada banyak rohaniwan yang berasal dari kalangan ningrat. Golongan republikan adalah golongan berbasis kalangan menengah Prancis yang antirohaniwan. Di mata mereka, persekutuan Gereja dengan golongan monarkis adalah ancaman politik terhadap ideologi republikanisme sekaligus bahaya yang mengintai semangat kemajuan modern. Golongan republikan merasa tidak senang terhadap Gereja karena afiliasi politik dan afiliasi kelas sosialnya. Bagi mereka, Gereja mewakili tradisi-tradisi, takhayul-takhayul, dan ideologi monarkisme yang sudah ketinggalan zaman. Golongan republikan didukung umat Protestan dan umat Yahudi. Berbagai aturan hukum diundangkan demi melemahkan Gereja Katolik.<!-- In 1879, priests were excluded from the administrative committees of hospitals and of boards of charity; in 1880, new measures were directed against the religious congregations; from 1880 to 1890 came the substitution of lay women for nuns in many hospitals. Napoleon's 1801 Concordat continued in operation but in 1881, the government cut off salaries to priests it disliked.<ref>Philippe Rigoulot, "Protestants and the French nation under the Third Republic: Between recognition and assimilation," ''National Identities,'' March 2009, Vol. 11 Issue 1, pp 45–57</ref>