Sejarah Indonesia (1965–1966): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 21:
|accessdate = 2008-12-30}}</ref>
 
Digambarkan sebagai "dalang" besar di media, posisi kekuasaan Presiden Soekarno bergantung pada keberhasilannya menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) dan [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Ideologi Soekarno yang anti-imperialisme kemudian membawa Indonesia semakin tergantung pada dukungan [[Uni Soviet]] dan [[ChinaTiongkok]]. Pada tahun 1965 di puncak [[Perang Dingin]], PKI telah merambah semua tingkat pemerintahan Indonesia secara luas. Dengan dukungan dari Soekarno dan [[Angkatan Udara]], PKI memperluas pengaruhnya dengan mengurangi kekuasaan tentara, sehingga membuat permusuhan dari pihak militer.<ref>Ricklefs (1991), page 282</ref> Pada akhir 1965, TNI telah terbagi antara faksi sayap kiri yang pro-PKI, dan faksi sayap kanan yang sedang didekati oleh [[Amerika Serikat]].<ref>Ricklefs (1991), pages 272–280</ref>
 
=== Perpecahan Militer ===
Baris 80:
Dua hari setelah pengumuman Soekarno tersebut, sebuah kerumunan besar berusaha menyerbu istana presiden. Keesokan harinya, saat kabinet baru Soekarno sedang dilantik, tentara dari [[Resimen Tjakrabirawa]] (pengawal presiden) menembaki kerumunan di depan istana, membunuh pengunjuk rasa mahasiswa [[Arif Rahman Hakim]], yang kemudian diangkat menjadi martir dan diberi pemakaman pahlawan hari berikutnya.<ref name="HUGHES"/><ref name="SEKNEG_2"/>
 
Pada [[8 Maret]] 1966, mahasiswa berhasil menjarah gedung kementerian luar negeri, dan mendudukinya selama lima jam. Mereka mengecat slogan, salah satunya menuduh Soebandrio membunuh para jenderal dalam G30S, dan menggambar grafiti yang menggambarkan Soebandrio sebagai anjing Peking (sebuah referensi anggapan tentang kedekatannya terhadap pemerintahan komunis ChinaTiongkok) atau tergantung di tiang gantungan.<ref name="HUGHES"/>
 
Soekarno kemudian merencanakan serangkaian pertemuan yang berlangsung tiga hari untuk memulihkan kekuasaannya. Yang pertama, pada tanggal [[10 Maret]], melibatkan para pimpinan [[partai politik]]. Ia berhasil membujuk mereka untuk menandatangani deklarasi peringatan terhadap perlawananan atas otoritas presiden oleh demonstrasi mahasiswa. Tahap kedua adalah rapat kabinet yang direncanakan untuk tanggal [[11 Maret]]. Namun, saat pertemuan ini sedang berlangsung, sebuah kabar mencapai Soekarno bahwa pasukan tak dikenal sedang mengepung istana. Soekarno segera meninggalkan istana dengan tergesa-gesa menuju [[Bogor]], di mana malam itu, ia menandatangani dokumen [[Supersemar]] sebagai serah terima wewenang untuk memulihkan ketertiban kepada Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto bertindak cepat. Keesokan harinya, tanggal 12 Maret ia segera melarang PKI. Pada hari yang sama, terlihat "unjuk kekuatan" oleh TNI Angkatan Darat di jalan-jalan Jakarta, yang disaksikan oleh orang banyak yang bersorak.<ref name="HUGHES"/> Pada tanggal 18 Maret Soebandrio dan 14 menteri lainnya ditangkap, termasuk deputi perdana menteri ketiga [[Chairul Saleh]]. Malam itu, radio mengumumkan bahwa para menteri tersebut berada di tahanan perlindungan.<ref name="HUGHES"/>
Baris 95:
* [[Avonturisme]] ekonomi, menghasilkan penciptaan sengaja sebuah kekacauan ekonomi.<ref name="FEITH_CASTLES">''Feith & Castles (Eds) (1970)</ref>
 
Rezim baru ini berpaling dari ChinaTiongkok dan mulai bergerak untuk mengakhiri [[konfrontasi Indonesia-Malaysia]], dan menyimpang dari keinginan Soekarno.<ref name="HUGHES"/>
 
Sementara itu, Soeharto dan sekutunya terus membersihkan lembaga-lembaga negara dari loyalis Soekarno. Kesatuan pengawal istana, [[Resimen Tjakrabirawa]] dibubarkan, dan setelah demonstrasi mahasiswa selanjutnya di depan gedung legislatif pada tanggal [[2 Mei]], pimpinan [[Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong]] (DPR-GR) digantikan dan anggota legislatif yang Soekarnois dan pro-komunis diskors dari DPR-GR dan [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara]] (MPRS), badan pembuatan hukum tertinggi. Pengganti mereka yang Pro-Soeharto kemudian diangkat.<ref name="RICKLEFS"/><ref name="HUGHES"/>
Baris 121:
=== Undang-undang Anti-Tjina ===
{{lihatpula|Tionghoa Indonesia|Undang-undang tentang Tionghoa-Indonesia}}
Walaupun kebencian terhadap keturunan [[Tionghoa]] oleh keturunan [[pribumi]] di Indonesia berawal di era [[Hindia Belanda]], [[Orde Baru]] menghasut terciptanya undang-undang anti-ChinaTiongkok menyusul usahanya menghapuskan total paham komunisme (karena negara ChinaTiongkok menganut paham komunisme). Walaupun [[stereotip]] negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk [[Tionghoa-Indonesia]] kala itu) adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya histeria anti-komunisme setelah peristiwa G30S dan hubungan orang Tionghoa-Indonesia dengan [[Republik Rakyat Tiongkok]] memperparah keadaan dengan menyebabkan adanya pandangan bahwa orang Tionghoa juga termasuk [[kolom kelima]] (simpatisan rahasia) komunis.
 
Hubungan diplomatik Indonesia dengan ChinaTiongkok yang kala itu ramah diputus, dan [[Kedutaan Besar]] ChinaTiongkok di Jakarta dibakar oleh massa. [[Undang-undang tentang Tionghoa-Indonesia|Undang-undang baru]] yang mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini termasuk pelarangan tanda-tanda [[Aksara Tionghoa]] pada toko-toko dan bangunan lain, penutupan sekolah [[bahasa Tionghoa]], pengadopsian nama yang terdengar "Indonesia", termasuk pembatasan pembangunan [[klenteng]]. Masa pemerintahan Orde Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimen-sentimen serupa.
 
=== Sebuah sistem politik baru ===