Bahasa Jawa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 367:
Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkat tutur, atau ragam bahasa yang berhubungan dengan etika pembicara pada lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Pilihan penggunaan tingkat tutur bergantung pada hal-hal seperti derajat tingkat sosial, umur, jarak kekerabatan dan keakraban.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=10}}{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=56–57}} Perbedaan antara tingkat tutur dalam bahasa Jawa utamanya adalah pada kosa kata serta imbuhan yang digunakan.{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=57}} Berdasarkan derajat formalitasnya, kosa kata dalam bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) ''ngoko'', 2) ''madya'', dan 3) ''krama''.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=10}} Bentuk ''ngoko'' digunakan untuk berbicara kepada atau mengenai orang yang akrab dengan pembicara. Bentuk ''krama'', yang jumlahnya ada sekitar 850 kata, digunakan untuk berbicara secara formal kepada atau mengenai orang yang belum akrab atau derajat sosialnya lebih tinggi. Beberapa imbuhan juga memiliki padanan ''krama''. Sementara itu, bentuk ''madya'' jumlahnya amat terbatas, hanya sekitar 35 kosa kata khusus, dan digunakan untuk mengekspresikan derajat formalitas yang sedang.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=10–11}}{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}}
Selain tiga ragam kosa kata yang didasarkan pada derajat formalitas, ada pula jenis kosa kata yang digunakan untuk menandakan penghormatan atau perendahan diri, yaitu ''krama inggil'' dan ''krama andhap''.{{sfn|Robson|2014|p=xvii}}{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}} Bentuk ''krama inggil'' digunakan untuk merujuk pada seseorang yang dihormati oleh pembicara, kepemilikannya, beserta hal-hal yang ia lakukan.
== Keterangan ==
|