Meulaboh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 5:
}}
 
'''Kota Meulaboh''' merupakan ibukota dari [[Kabupaten Aceh Barat]], [[Aceh]], [[Indonesia]]. Kota ini terletak sekitar 245 km tenggara [[Kota Banda Aceh]] di [[Pulau SumateraSumatra]]. Meulaboh adalah kota kelahiran Pahlawan Nasional [[Teuku Umar]] Johan Pahlawan. Meulaboh merupakan salah satu area terparah akibat bencana [[tsunami]] yang dipicu oleh [[gempa bumi Samudra Hindia 2004]]. Pekerjaan sebagian besar penduduknya mencerminkan kehidupan perkotaan, yakni perdagangan dan jasa.
 
== Sejarah ==
Baris 16:
Pada periode Kolonial Belanda, Meulaboh menjadi pusat administrasi dan sekaligus sebagai pusat perdagangan untuk ''Atjeh Westkust/ Westkust Van Atjeh''. Masa kemerdekaan, Meulaboh menjadi salah satu wilayah administrasi yang dibentuk pada tahun 1946. Wilayah administratif kota Meulaboh sendiri yang meliputi perkampungan/desa: Pasar Aceh, Panggung, Kampung Belakang, Kampung Pasir, Kampung Suak Indrapuri. Administrasi kota ini langsung di bawah Bupati selaku kepala daerah TK II Aceh Barat.( Teuku Dadek dan Hermansyah, 2013 : 81-82)
 
Sedangkan, wilayah administratif kabupaten Aceh Barat dibentuk pada tahun 1956, hal tersebut berdasarkan UU Darurat (Drt) Nomor 7 tahun 1956 tentang “Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi SumateraSumatra Utara” Pada UU ini wilayah Aceh Barat dimekarkan menjadi 2 Kabupaten yaitu: Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan ibukota Meulaboh terdiri dari 12 Kecamatan yaitu: Johan pahlawan, Samatiga, Arongan Lambalek, Woyla, Woyla Barat, Woyla Timur, Kaway XVI, Meureubo, Pante Ceureumeun, Panton Reu, dan Sungai Mas. UU Darurat (Drt) Nomor 7 Tahun 1956 kemudian disahkan menjadi UU Nomor 24 tahun 1956, hal ini berkenaan dengan hasrat pemerintah dalam usahanya meninjau kembali pembentukan-pembentukan daerah otonom Provinsi sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat di daerahnya masing-masing. (Teuku Dadek dan Hermansyah, 2013 : 82-83)
 
Sejak ditetapkan menjadi Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1956, kota Meulaboh sebagai pusat administratif mengalami perubahan dalam perkembangannya, salah satunya pada aspek infrastruktur. Perkembangan pembangunan daerah pasca kemerdekaan hingga sekarang mengalami perubahan yang signifikan terutama pasca bencana gempa bumi dan tsunami. Banyak infrastruktur di kota Meulaboh dibangun kembali, baik jalan, jembatan, sarana dan prasarana kota, gedung sekolah, dan sebagainya. Infrastruktur di kota Meulaboh jauh lebih membaik, hal ini sangat berpengaruh terhadap sosial ekonomi,karena apabila infrastruktur seperti jalan dan jembatan relatif baik maka transportasi untuk akses ke kota Meulaboh pun lancer, sehingga pertumbuhan terhadap sosial ekonomi semakin cepat berkembang. <ref>Safriaton,Fitri. 2015. ''Perkembangan Kota Meulaboh,1956-2014 (Studi Tentang Infrastruktur dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi)''. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. </ref><!--
Baris 30:
Pendapat bahwa asal muasal penamaan Kota Meulaboh oleh orang Minang itu perlu dipertanyakan lagi, mengingat Kota Meulaboh sendiri telah ada sejak 402 tahun lalu, sedangkan [[Perang Paderi]] baru terjadi pada abad XVIII. Disamping itu, sebutan Meulaboh juga terdapat pada banyak tempat di [[Aceh Barat]]. Ada Babah Meulaboh, Tanjong Meulaboh, Meulaboh Dua (ini malah di Nagan Raya) dan Krueng Meulaboh. Nama itu sama umumnya dengan penggunaan kata "padang" pada kampung atau tempat-tempat di Aceh, karena dalam [[bahasa Aceh]] sendiri, kata "padang" dapat diartikan sebagai tempat atau tanah luas/lapang; misalnya: Kuta Padang, Padang Panyang, Padang Sikabu, Blang Padang, Padang Tiji dan lain-lain. Berdasarkan fakta tersebut, kisah pendaratan warga Minang di Pasi Karam belum dapat dijadikan bukti konkrit bahwa nama itu diberi oleh orang Minang.
 
Kedatangan para Datuk itu benar adanya, namun ada pendapat yang menyebutkan bahwa mereka itu orang Aceh yang didatangkan kesana pada masa [[Sultan Iskandar Muda]], yaitu ketika Aceh menguasai pesisir pantai barat [[SumateraSumatra Barat]], tidak sampai ke pedalaman pusat [[Kerajaan Pagaruyung]]. Para petinggi Aceh di pesisir barat itu menjadi pemangku adat dan pemerintahan. Namun peran mereka tereduksi akibat adanya reformasi yang dilakukan kaum paderi yang terpengaruh paham Wahabi di [[Arab Saudi]]. Tercatat tiga orang ulama yang pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah [[Haji Piobang]], Haji Miskin dan [[Haji Sumanik]]. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu beraliran Sunni. Karena terdesak oleh kaum paderi, para datuk itu ingin pulang kampung (kembali ke Aceh) dan sebagian lagi tidak.
 
Namun terdapat beberapa kelemahan pada pendapat ini, yaitu apabila orang-orang tersebut adalah orang Aceh, kenapa mereka disebut [[Aneuk Jamee]] (Anak Tamu) setelah sampai di Aceh?, dan kenapa mereka adanya di Meulaboh dan beberapa tempat di pesisir barat Aceh?. Kalau memang mereka orang-orang pemerintahan Aceh tentulah mereka punya kampung halaman asli, dan tentu mereka akan kembali kesana.
 
Yang kedua, penguasaan Aceh hanya di pesisir pantai ketika Pagaruyung dalam keadaan lemah, dan tidak pernah sampai ke pedalaman Minangkabau. Sedangkan para datuk dan rombongannya itu berasal dari pedalaman, yaitu Rawa atau [[Rao, Pasaman]], [[Kabupaten Agam|Agam]] dan Sumpu atau [[Sumpur, Batipuh Selatan, Tanah Datar|Sumpu, Tanah Datar]]. Orang-orang yang tidak setuju dengan [[Kaum Padri]] banyak yang meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari perang. Mereka tidak hanya ke utara (pantai barat SumateraSumatra) tetapi juga ada yang ke [[Semenanjung Malaya]] dan berbagai wilayah lainnya.
 
Setelah menetap di wilayah baru, para Datuk dan rombongannya itu hidup berbaur dengan masyarakat setempat, bahkan ada yang menjadi pemimpin, di antaranya: Datuk Machdum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.