Cut Nyak Dhien: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Dikembalikan ke revisi 14147551 oleh Mimihitam (bicara).
Tag: Pembatalan
Baris 66:
{{cquote2|Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah [[syahid]]<ref name="tjoet"/>}}
 
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun [[1901]] karena tentara [[Belanda]] sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.<ref name="deddi"/><ref name="tokohindonesia"/>
 
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba.<ref name="deddi"/><ref name="tokohindonesia"/> Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil [[rencong]] dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.<ref>Sudarmanto, Y.B. 1999. ''Jejak Pahlawan Indonesia''. Penerbitan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).</ref><ref name="makam">[http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/0619/wis01.html sinarharapan.co.id: Makam Cut Nyak Dhien Sepi Akibat Perang Saudara]</ref> Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.<ref name="tjoet"/>
 
== Masa Tua dan Kematian ==
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 102-08.jpg|jmpl|Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien]]
 
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke [[Kota Banda Aceh|Banda Aceh]] dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, [[Jawa Barat]], karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
 
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.<ref name="tjoet"/> Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama [[Islam]], sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".<ref name="tjoet"/>
 
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun [[1959]] berdasarkan permintaan [[Gubernur Aceh]] saat itu, [[Ali Hasan]].<ref name="makam"/> "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden [[Soekarno]] sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] melalui SK Presiden [[Indonesia|RI]] No.106 Tahun [[1964]] pada tanggal [[2 Mei]] [[1964]].<ref name="tjoet"/><ref name="deddi"/>
 
== Makam ==
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 103-08.jpg|jmpl|Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien]]
 
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.<ref name="makam"/> Masyarakat Aceh di [[Sumedang]] sering menggelar [[acara sarasehan]]. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua [[kilometer]].<ref name="makam"/> Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di [[Kota Bandung|Bandung]] sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama [[Lebaran]]. Selain itu, orang Aceh dari [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]] melakukan acara Haul setiap bulan [[November]]
 
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada [[1987]] dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh [[Ibrahim Hasan]] pada tanggal [[7 Desember]] [[1987]]. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 [[meter|m]]<sup>2</sup>. Di belakang makam terdapat [[musholla]] dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.<ref name="makam"/>
 
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan [[bahasa Arab]], [[Surah At-Taubah]] dan [[Surah Al-Fajr|Al-Fajr]], serta hikayat cerita Aceh.
 
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena [[Gerakan Aceh Merdeka]] melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari [[Republik Indonesia]]. Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.<ref name="makam">[http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/0619/wis01.html sinarharapan.co.id: Makam Cut Nyak Dhien Sepi Akibat Perang Saudara]</ref>
 
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.<ref name="makam"/>
Baris 96:
[[Berkas:Tjoet Nja' Dhien.jpg|200px|jmpl|ka|Poster Film Tjoet Nja' Dhien]]
 
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam [[film drama]] [[film epos|epos]] berjudul ''[[Tjoet Nja' Dhien (film)|Tjoet Nja' Dhien]]'' pada tahun [[1988]] yang [[sutradara|disutradarai]] oleh [[Eros Djarot]] dan dibintangi [[Christine Hakim]] sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, [[Slamet Rahardjo]] sebagai [[Teuku Umar]] dan juga didukung [[Rudy Wowor]]. Film ini memenangkan Piala [[Citra]] sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di [[Festival Film Cannes]] (tahun [[1989]]).
 
Pada 13 April 2014, sebuah karya seni untuk mengenang semangat perjuangan dan perjalanan hidup Cut Nyak Dhien (CND) dalam bentuk teater monolog yang dimainkan dan disutradarai oleh [[Ine Febriyanti|Sha Ine Febriyanti]]; dipentaskan pertama kali di Auditorium Indonesia Kaya, Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit yang ditulis oleh Prajna Paramita tersebut kemudian dipentaskan kembali pada 2015 di Jakarta, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan dipentaskan di Australia dan Belanda.
 
Biografi beliau juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak ''Ananda''.