Sitor Situmorang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
→‎Riwayat: mengubah sumber referensi yang ada
Baris 39:
Waktu kelas dua SMP, Sitor berkunjung ke rumah abangnya di Sibolga dan menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli.l Buku itu selesai dibaca dalam 2-3 hari tanpa putus, walau penguasaan bahasa Belandanya belum memadai. Isi buku menyentuh kesadaran kebangsaannya. Ia menerjemahkan sajak ''Saidjah dan Adinda'' dari Max Havelaar ke dalam bahasa Batak. Sejak itu, minat dan pehatian terhadap sastra makin tumbuh, dan dibarengi aspirasi "kelak akan menjadi pengarang".<ref name="sitor2">{{id}} {{cite book|last = Situmorang|first = Sitor|title = Bunga di atas batu (si anak hilang) : pilihan sajak, 1948-1988|publisher = Gramedia|location = Jakarta|year = 1989|isbn = 9794036021|page = 355-356}}.</ref>
 
A. Teeuw menyebutkan bahwa Sitor Situmorang menjadi penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar. Sitor menjadi semakin terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, sebagai pengagum Presiden Soekarno, benar-benar melepaskan kesetiaanya kepada Angkatan '45 khususnya Chairil Anwar, pada masa ini.<ref name="sitor3">{{cite book|last = Teeuw|first = Teeuw|title = Modern Indonesian Literature|publisher = Martinus Nijhoff|location = The Hague|year = 1979|isbn = 9024723086|page = 2-3 }}</ref><ref name="sitor2" />
 
Sajak, cerita pendek, drama, cerita film, esai, dan kritik sastranya dianggap memberikan sumbangsih penting bagi pembaruan dalam alam seni kebudayaan Indonesia. Tidak saja isi, tema, kata-kata, dan irama yang baru, Sitor juga membawakan kekayaan batin dari pemikiran-pemikirannya.<ref>{{Cite web|url=http://www.sastra.xyz/2018/02/biografi-sitor-situmorang.html|title=Biografi Sitor Situmorang|website=www.sastra.xyz|access-date=2018-07-15}}</ref>