Daftar Kaisar Mughal: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Nampak, +Tampak; -nampak, +tampak; -Nampaknya, +Tampaknya; -nampaknya, +tampaknya)
Baris 44:
Melalui perang dan diplomasi, Akbar dapat meluaskan kekaisaran tersebut di seluruh arah, dan menguasai hampir seluruh anak benua India di utara sungai [[Godawari]]. Ia membuat kelas baru dari bangsawan yang setia kepadanya dari arsitokrasi militer dari kelompok-kelompok sosial India, menerapkan pemerintahan modern dan mendukung pengembangan kebudayaan.<ref name="Berndl" /> Pada saat yang sama, Akbar mengintensifikasikan perdagangan dengan perusahaan-perusahaan dagang Eropa. Sejarawan India [[Abraham Eraly]] menyatakan bahwa bangsa-bangsa asing seringkali ditunjang oleh kekayaan melimpah dari pemerintahan Mughal, namun menyoroti bahwa pemerintahan tersebut menyembunyikan kenyataan-kenyataan yang lebih glap, yakni tentang seperempat keuntungan produk nasional kekaisaran tersebut dimiliki oleh 655 keluarga sementara sebagian besar 120 juta orang di India hidup dalam kemiskinan.<ref>Eraly, Abraham ''The Mughal Throne The Sage of India's Great Emperors'', London: Phonenix, 2004 page 520.</ref> Setelah mengalami apa yang menjadi perebakan epileptik pada tahun 1578 saat berburu harimau, yang ia anggap sebagai pengalaman keagamaan, Akbar makin melonggarkan Islam, dan untuk mendorong perpaduan sinkretistik dari Hindu dan Islam.<ref>Eraly, Abraham ''The Mughal Throne The Sage of India's Great Emperors'', London: Phonenix, 2004 page 191.</ref> Akbar membolehkan kebebasan berekspresi keagamaan dan berupaya untuk menyelesaikan perbedaan sosio-politik dan kebudayaan di kekaisarannya dengan mendirikan sebuah agama baru, [[Din-i-Ilahi]], dengan karakteristik kaut dari pemujaan penguasa.<ref name="Berndl" /> Ia meninggalkan para penerusnya sebuah negara yang stabil secara internal, pada pertengahan masa keemasannya, sebelum masa ketegangan politik timbul.<ref name="Berndl" /> Putra Akbar, [[Jahangir]], yang memerintah kekaisaran tersebut pada masa puncaknya, namun karena ia kecanduan [[opium]], urusan kenegaraan menjadi terbengkalai, dan menjadi berada di bawah pengaruh para pejabat pemerintahan saingan.<ref name="Berndl" /> Pada masa pemerintahan putra Jahangir, [[Shah Jahan]], budaya dan perkembangan pemerintahan mewah Mughal mencapai puncaknya saat [[Taj Mahal]] dibangun.<ref name="Berndl" /> Pada masa itu, keutamaan pemerintahan dimulai untuk pembiayaan melebihi pendapatan.<ref name="Berndl" />
 
Putra sulung Shah Jahan, [[Dara Shikoh]] yang liberal, menjadi pemangku raja pada tahun 1658, karena ayahnya sakit. Namun, adiknya, [[Aurangzeb]], bersekutu dengan kalangan Islam ortodoks melawan kakaknya, yang menentang agama dan budaya Hindu-Muslim sinkretis, dan naik tahta. Aurangzeb mengalahkan Dara pada tahun 1659 dan dieksekusi.<ref name="Berndl" /> Meskipun Shah Jahan sepenuhnya pulih dari penyakitnya, Aurangzeb mendeklarasikannya tak kompeten untuk memerintah dan memenjarakannya. Pada masa pemerintahan Aurangzeb, kekaisaran tersebut meraih lebih banyak kekuatan politik, namun konservatisme dan intoleransi keagamaannya menjatuhkan stabilitas masyarakat Mughal.<ref name="Berndl" /> Aurangzeb meluaskan kekaisaran tersebut untuk melingkupi hampir seluruh Asia Selatan, namun di kematiannya pada tahun 1707, beberapa bagian kekaisaran terjerumus dalam pemberontakan terbuka.<ref name="Berndl" /> Usaha-usaha Aurangzeb untuk menaklukkan kembali tanah-tanah leluhur keluarganya di Asia Tengah tak berhasil sementara penaklukan suksesnya di kawasan Deccan berujung pada kemenangan Pyrrhic yang sangat menghabiskan biaya kekaisaran dalam hal darah dan harta benda.<ref name="D'souza pages 3-30">D'souza, Rohan "Crisis before the Fall: Some Speculations on the Decline of the Ottomans, Safavids and Mughals" pages 3-30 from ''Social Scientist'', Volume 30, Issue # 9/10, September–October 2002 page 21.</ref> Masalah lanjutan bagi Aurangzeb adalah ketentaraan yang selalu berbasis pada aristokrasi kepemilikan tanah India utara yang mengerahkan kavaleri untuk kampanye-kampanye, dan kekaisaran tersebut tak memiliki pasukan yang setara dengan pasukan [[Janisari]] dari Kekaisaran Utsmaniyah.<ref>D'souza, Rohan "Crisis before the Fall: Some Speculations on the Decline of the Ottomans, Safavids and Mughals" pages 3-30 from ''Social Scientist'', Volume 30, Issue # 9/10, September–October 2002 page 22.</ref> Penaklukan yang lama dan menghabiskan biaya dari Deccan telah sangat memeloroti "aura sukses" yang mengelilingi Aurangzeb, dan dari akhir abad ke-17 dan seterusnya, kalangan aristokrasi menjadi makin tak berkehendak untuk menyediakan pasukan bagi peperangan kekaisaran tersebut karena menganggap wilayah hasil dari perang sukses nampaktampak makin lama makin berkurang.<ref>D'souza, Rohan "Crisis before the Fall: Some Speculations on the Decline of the Ottomans, Safavids and Mughals" pages 3-30 from ''Social Scientist'', Volume 30, Issue # 9/10, September–October 2002 pages 22-23.</ref> Selain itu, fakta bahwa akibat dari penaklukan Deccan, yang sangat selektif memberikan beberapa keluarga bangsawan dengan tanah rampasan di Deccan telah membuat mengabaikan para aristokrat yang tak meraih tanah rampasan sebagai pemberian dan karena penaklukan Deccan benar-benar menghabiskan biaya, dirasa makin mengurungkan dan tak mengkehendaki keikutsertaan dalam kampanye-kampanye lanjutan.<ref>D'souza, Rohan "Crisis before the Fall: Some Speculations on the Decline of the Ottomans, Safavids and Mughals" pages 3-30 from ''Social Scientist'', Volume 30, Issue # 9/10, September–October 2002 pages 21-22.</ref> Putra Aurangzeb, [[Bahadur Shah I|Shah Alam]], mengulang kebijakan-kebijakan keagamaan dari ayahnya, dan berupaya untuk mereformasi pemerintahan. Namun, setelah ia meninggal pada 1712, dinasi Mughal jatuh dalam pertikaian dan kekerasan. Pada tahun 1719 sendiri, empat kaisar secara bergantian memegang tahta.<ref name="Berndl" />
 
Pada masa pemerintahan [[Muhammad Shah]], kekaisaran tersebut mulai terpecah, dan sebagian besar wilayah India tengah diserahkan dari Mughal ke [[Kekaisaran Maratha|Maratha]]. Perang Mughal selalu berbasis pada artileri berat untuk pengepungan, kavaleri berat untuk operasi ofensif dan kavaleri ringan untuk penyerbuan dan peredaman.<ref name="D'souza pages 3-30" /> Untuk mengendalikan sebuah wilayah, Mughal selalu berusaha untuk menduduki benteng strategis di beberapa kawasan, yang akan dijadikan sebagai titik penting dimana tentara Mughal akan ditempatkan saat musuh manapun menantang kekaisaran tersebut.<ref name="D'souza pages 3-30" /> Sistem ini tak hanya menghabiskan biaya, namun juvga membuat tentara menjadi tak fleksibel karena asumsi selalu membuat musuh akan menarik diri ke dalam benteng untuk dikepung atau akan mengadakan pertempuran desisif dari pengosongan medan terbuka.<ref name="D'souza pages 3-30" /> Hindu Maratha militan adalah pakar pasukan kuda yang menolak ikut serta dalam pertempuran, namun lebih sering ikut serta dalam kampanye-kampanye perang gerilya, perang penyerbuan, penyergapan dan serangan terhadap garis-garis suplai Mughal.<ref name="D'souza pages 3-30" /> Maratha tak dapat mengambil alih benteng Mughal melalui penyerbuan atau pengepungan formal karena mereka kekurangan artileri, namun melalui secara diam-diam memeriksa kolom-kolom suplai, mereka dapat menyerang benteng-benteng Mughal melalui cara tersebut.<ref name="D'souza pages 3-30" /> Para komandan Mughal suksesif menolak untuk membeberkan taktik-taktik mereka dan mengembangkan strategi kontra-pemerontakan yang disahkan, yang berujung pada kekalahan Mughal terhadap Maratha.<ref name="D'souza pages 3-30" /> [[invasi India oleh Nader Shah|Kampanye India]] oleh [[Nader Shah]] dari Persia berpuncak dengan [[Kejatuhan Delhi]] dan memusnahkan sisa-sisa kekuatan dan ketonjolan Mughal,<ref name="Berndl" /> serta secara drastis mengakselerasikan penurunannya dan memperingatkan para penginvasi jauh lainnya, termasuk kemudian [[East India Company|Inggris]]. Beberapa kalangan elit kekaisaran sekarang memegang kontrol urusan mereka sendir, dan terpecah untuk membentuk kerajaan-kerajaan independen.<ref name="Berndl" /> Namun, Kaisar Mughal masih menjadi manifestasi tertinggi dari kedaulatan. Tak hanya priyayi Muslim, namun para pemimpin Maratha, Hindu, dan Sikh ikut serta dalam pagelaran seremonial kaisar sebagai penguasa India.<ref name="MSA2">{{Cite book