Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 43:
 
=== Masa kecil ===
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.jpg|thumbjmpl|leftkiri|262px|[[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka]] yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersama ''anduang''nya selama di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]]]]
 
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 13 Muharram 1326<nowiki>]</nowiki></small> di Tanah Sirah, kini masuk wilayah [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Nagari Sungai Batang]], [[Kabupaten Agam]], [[Sumatera Barat]]. Ia adalah anak pertama, dengan tiga orang adik, dari pasangan [[Abdul Karim Amrullah]] "Haji Rasul" dan Safiyah. Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak, Fatimah yang kelak menikah dengan [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur|Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur]]. Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, [[Muhammad Amrullah]] adalah seorang pemimpin [[Tarekat Naqsyabandiyah]]. Istri Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.
Baris 56:
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali memasuki kelas belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. Sejak ia menemukan bahwa gurunya, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] membuka bibilotek, tempat penyewaan buku, Malik sering menghabiskan waktunya membaca. Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra terbitan [[Balai Pustaka]], cerita China, dan karya terjemahan Arab. Setelah rampung membaca, Malik menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang disadurnya dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perakat buku, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktunya agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Ayahnya sering mendapati Malik banyak membaca buku cerita dan pernah mengeluarkan pertanyaan, "Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita?" Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berupra-pura membaca.
 
[[Berkas:Masjid Jamik Parabek.PNG|rightka|thumbjmpl|262px|[[Masjid Jamik Parabek]]]]
 
Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, melakukan perjalanan ke Maninjau untuk mengunjungi ibunya. Namun, ia merasa tidak diperhatikan sejak ibunya menikah lagi. Malik didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar ''[[kaba]]'', kisah-kisah yang dinyanyikan bersama [[Musik Minang|alat-alat musik tradisional Minangkabau]]. Ia berjalan lebih jauh sampai ke [[Bukittinggi]] dan [[Payakumbuh]], sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Hampir setahun ia terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah dan mengantarnya pergi mengaji kepada ulama [[Ibrahim Musa|Syekh Ibrahim Musa]] di [[Parabek, Ladang Laweh, Banuhampu, Agam|Parabek]] sekitar lima km dari Bukittingg. Di Parabek, untuk pertama kalinya Hamka hidup mandiri.
Baris 65:
Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena ia selalu menjauh dari orangtuanya sendiri. Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa diketahui ayahnya dan hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari Maninjau, Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos pemberian andungnya. Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di [[Bengkulu]], berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan ongkos. Namun, dalam perjalananya, Malik didera penyakit beruntun. Ia ditimpa penyakit malaria saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan tubuhnya mulai diserang cacar, Malik meneruskan perjalanan ke [[Napal Putih, Bengkulu Utara|Napal Putih]] dan bertemu kerabatnya. Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, kerabatnya memulangkan Malik ke Maninjau. Bekas luka cacar menyisakan bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik remaja minder dan dicemooh teman-temannya.
 
[[Berkas:Danau Maninjau.jpg|rightka|195px||thumbjmpl|[[Danau Maninjau]], pemandangan sebelah barat Nagari Sungai Batang]]
 
Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama [[perantau Minang]] dan bertemu adik ayahnya, Jafar Amrullah di [[Yogyakarta]]. Pamannya itu membawanya ke tempat [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]] untuk belajar [[Tafsir Alquran|tafsir Al-Quran]]. Hamka menemukan keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Quran secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal [[Sarekat Islam]] dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu adalah [[Oemar Said Tjokroaminoto|HOS Tjokroaminoto]] dan [[Soerjopranoto|Suryopranoto]]. Cokroaminoto menaruh perhatian kepada Malik karena semangatnya dalam belajar. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya.
Baris 82:
Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari andungnya, Malik diceritakan bahwa ayahnya pernah berjanji akan mengirimnya belajar ke Mekkah selama sepuluh tahun. Karena takut kepada ayahnya, Malik merencanakan sendiri kepergiannya ke Mekkah. Ia tak menuturkan ke mana hendak pergi kepada ayahnya, hanya berkata hendak pergi ke tempat yang jauh. Karena keterbatasan ongkos, Malik berjalan kaki dari Maninjau ke Padang. Ketika kapal yang membawanya singgah di pelabuhan Belawan, Malik bertemu temannya, Isa yang mambantu ongkos perjalanannya. Pada permulaan Februari 1927, bertepatan dengan keberangkatan jemaah haji Indonesia pada bulan Rajab, Malik berangkat dari [[Pelabuhan Belawan]] menuju [[Jeddah]]. Selama di kapal, ia amat dihormati lantaran kepandaiannya membaca Al-Quran. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan ajengan. Dalam memoarnya, Hamka mengenang dirinya ditawari kawin dengan seorang gadis Bandung yang memang telah menawan hatinya, tetapi ia menolak. Sewaktu itu, kata Hamka, biasa saja orang menikah di atas kapal.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=91}}
 
[[Berkas:Masjid al-Haram 1.jpg|thumbjmpl|260px|leftkiri|[[Masjidil Haram]], [[Mekkah]] pada 1900-an. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'']]
 
Sampai di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah pemandu haji "syekh" Amin Idris. Untuk memenuhi biaya hidup, ia bekerja di percetakan Tuan Hamid Kurdi, mertua ulama Minangkabau [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi|Ahmad Chatib]]. Di tempat ia bekerja, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, ia bergabung dengan perkumpulan orang-orang Indonesia Persatuan Hindia-Timur. Ia memiliki bahasa Arab yang fasih. Ketika perkumpulan itu berencana menyelenggarakan manasik haji bagi jemaah Indonesia, Malik dipercaya memimpin anggota delegasi menemui [[Faisal dari Arab Saudi|Amir Faishal]], putra [[Ibnu Saud]] dan [[Imam Besar Masjidil Haram]] [[Abu Samah]]. Pengajarannya berlangsung di kompleks Masjidil Haram. Malik sempat memberikan pelajaran agama sebelum ditentang oleh pemandu hajinya.
Baris 127:
 
== Pindah ke Jakarta ==
[[Berkas:Hamka-1.jpg|thumbjmpl|270px|rightka|thumbjmpl|Hamka bersama istri dan anak-anaknya. Dari pernikahannya dengan Sitti Raham, ia dikaruniai sebelas orang anak (delapan dalam foto)]]Pada bulan Desember 1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia semula menyewa rumah milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk.{{sfn|Irfan|2013|pp=33}} Untuk memulai hidup, Hamka mengandalkan honorarium buku-bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirim tulisan untuk surat kabar ''Merdeka'' dan majalah ''Pemandangan''. Dalam surat kabar ''Abadi'', Hamka mengasuh rubrik "Dari Perbendaharaan Lama" yang terbit dalam edisi Minggu. Beberapa karangannya sempat terbit majalah ''Mimbar Indonesia'' yang dipimpin [[Hans Bague Jassin|H.B. Jassin]] dan majalah ''Hikmah''.
 
Ia diangkat sebagai pegawai [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama]] yang pada waktu itu menterinya dimpimpin [[Wahid Hasjim|KH Wahid Hasyim]]. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam. Di antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Muslim Ujungpandang. Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.
Baris 145:
 
== Tuduhan plagiat dan makar ==
[[Berkas:Natsir-Hamka-Isa Anshary.jpg|thumbjmpl|leftkiri|220px|Hamka (duduk) bersama [[Mohammad Natsir|Natsir]] (kiri) dan [[Muhammad Isa Anshary|Isa Anshary]] (kanan). Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno.]]Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Organisasi sayap PKI, [[Lembaga Kebudayaan Rakyat|Lekra]] menuduhnya sebagai "plagiator " dan pemerintah waktu itu menuduhnya sebagai orang yang akan berusaha melakukan makar. Pada September 1962, Lekra menuduh novel Hamka berjudul [[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]] dalah jiplakan dari karya pengarang Prancis Alphonse Karr ''Sous les Tilleus''. Novel ''Sous les Tilleus'' diterjemahkan oleh [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti|Mustafa Lutfi Al-Manfaluti]] ke bahasa Arab. Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan judul ''Magdalena''.
 
Keadaan memburuk bagi Hamka ketika ''Panji Masyarakat'' memuat artikel [[Mohammad Hatta|Muhammad Hatta]] berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan ''Panji Mayarakat'' berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu setengah juz dimuatkannya dalam majalah ''Gema Islam'' sampai akhir Januari 1962, yaitu dari juz 18 sampai juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat secara teratur dalam majalah hingga Januari 1964.