Kerajaan Pagaruyung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Dikembalikan ke revisi 12943702 oleh RaymondSutanto (bicara).
Baris 45:
Munculnya nama [[Pagaruyung]] sebagai sebuah kerajaan [[Melayu]] tidak dapat diketahui dengan pasti, dari [[Tambo]] yang diterima oleh masyarakat [[Minangkabau]] tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap [[Adityawarman]] sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi ''Tuhan Surawasa'', sebagaimana penafsiran dari [[Prasasti Batusangkar]].
 
Dari [[Prasasti Amoghapasa|manuskrip]] yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang [[Arca Amoghapasa]]<ref name="Kern">Kern, J.H.C., (1907), ''De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka'', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.</ref> disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di [[Malayapura]], Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada [[Prasasti Kuburajo]] dan anak dari [[Dara Jingga]], putri dari kerajaan [[Dharmasraya]] seperti yang disebut dalam [[Pararaton]]. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih [[Gajah Mada]] berperang menaklukkan Bali dan Palembang,<ref>Berg, C.C., (1985), ''Penulisan Sejarah Jawa'', (terj.), Jakarta: Bhratara</ref> pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
 
Dari [[prasasti Suruaso]] yang beraksara [[Melayu]] menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi ''taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi''<ref name="Cas">{{cite journal |last=Casparis |first= J.G. |authorlink=Johannes Gijsbertus de Casparis |title=An ancient garden in West Sumatra |journal=Kalpataru |year=1990 |issue=9|pages= 40-49}}</ref> yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu [[Akarendrawarman]] yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan [[adat Minangkabau]], pewarisan dari ''mamak'' (paman) kepada ''kamanakan'' (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.<ref name="Kozok">{{cite book|last=Kozok|first=U.|authorlink=Uli Kozok|title=Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua|location=Jakarta|publisher=Yayasan Obor Indonesia|year=2006|id= ISBN 979-461-603-6}}</ref> Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara ''Nagari'' atau [[Tamil]], sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan [[India]] dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.<ref name="Cas"/>
 
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (''uparaja'') dari [[Majapahit]].<ref name="Mul">{{cite book|last=Muljana|first=S.|authorlink=Slamet Muljana|title=Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara|location=Yogyakarta|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|year=2005|id= ISBN 979-98451-16-3}}</ref> Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan ''bhumi jawa'' dan kemudian dari berita [[Cina]] diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke [[Cina]] sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.<ref name="Kozok" />
 
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.<ref name="Mul" /> Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah [[Padang Sibusuk]]. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara [[Jawa]] berhasil dikalahkan.
 
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam [[konfederasi]], yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai [[Nagari]] dan [[Luhak]]. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat ([[Suku Minangkabau|Suku Minang]]).
Baris 58 ⟶ 62:
Dari [[prasasti Batusangkar]] disebutkan Ananggawarman sebagai ''yuvaraja'' melakukan ritual ajaran Tantris dari [[agama Buddha]] yang disebut ''hevajra'' yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan ''San-fo-ts'i'' kepada [[Kaisar Cina]] yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan ''San-fo-ts'i''.<ref>{{cite book|last=Suleiman|first=S.|authorlink=Satyawati Suleiman|title=The archaeology and history of West Sumatra|publisher=Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K|year=1977}}</ref>
 
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian [[Candi Padang Roco|Padangroco]], kawasan percandian [[Candi Padang Lawas|Padanglawas]] dan kawasan percandian [[Candi Muara Takus|Muara Takus]]. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.<ref name="Mul">{{cite book|title=Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara|last=Muljana|first=S.|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|year=2005|location=Yogyakarta|id=ISBN 979-98451-16-3|authorlink=Slamet Muljana}}</ref> Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah [[Kubilai Khan]] dari [[Mongol]] dan raja [[Kertanegara]] dari [[Singhasari]].<ref name="Poepo">{{cite book|last=Poesponegoro|first=M.D.|authorlink=|coauthors=Notosusanto, N.|title=Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno|year=1992|publisher=PT Balai Pustaka|location=Jakarta|id=ISBN 979-407-408-X }}</ref>
 
=== Pengaruh Islam ===
Perkembangan agama [[Islam]] setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, ''[[Suma Oriental]]'' yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi [[muslim]] sejak 15 tahun sebelumnya.<ref name="Cortes">Cortesão, Armando, (1944), ''The Suma Oriental of Tomé Pires'', London: Hakluyt Society, 2 vols.</ref>
 
Pengaruh [[Islam]] di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh [[Abdurrauf Singkil]] (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh [[Burhanuddin Ulakan]], adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama ''[[Sultan Alif]]''.<ref name="Dt">Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), ''Tambo Minangkabau dan Adatnya'', Jakarta: Balai Pustaka.</ref>
 
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: ''"Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah"'', yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada [[Al-Qur'an]]. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama [[Perang Padri]] yang pada awalnya antara ''Kaum Padri'' (ulama) dengan ''Kaum Adat'', sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.<ref name="Kep">Kepper, G., (1900), ''Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900'', M.M. Cuvee, Den Haag.</ref>
Baris 168 ⟶ 172:
{{Raja Malayapura}}
=== Aparat pemerintahan ===
''Adityawarman'' pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di [[Majapahit]]<ref name="Dt">Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), ''Tambo Minangkabau dan Adatnya'', Jakarta: Balai Pustaka.</ref> masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya ([[Kerajaan Dharmasraya|Dharmasraya]] dan [[Sriwijaya]]) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh [[Datuk di Minangkabau|Datuk]] setempat.<ref>{{cite book|last=Muljana|first=S.|authorlink=Slamet Muljana|title=Sriwijaya|location=Yogyakarta|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|year=2006|id= ISBN 979-8451-62-7}}</ref>
 
Setelah masuknya Islam, ''[[Raja Alam]]'' yang berkedudukan di [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu ''Raja Adat'' yang berkedudukan di [[Buo, Lintau Buo, Tanah Datar|Buo]], dan ''Raja Ibadat'' yang berkedudukan di [[Sumpur Kudus, Sijunjung|Sumpur Kudus]]. Bersama-sama mereka bertiga disebut ''[[Rajo Tigo Selo]]'', artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam [[bahasa Minang]] adalah ''tigo tungku sajarangan''. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem [[patrilineal]]<ref>{{cite journal |last=Benda-Beckmann |first=Franz von |title=Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra |journal=Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde | issue =86 |year=1979|pages=58 }}</ref> berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan ''suku'' yang masih tetap pada sistem [[matrilineal]].<ref name="Dt"/>