Istana Klungkung

bangunan istana di Indonesia

Puri Agung Klungkung atau Puri Agung Smarajaya atau Puri Agung Semarapura adalah sebuah kompleks bangunan bersejarah yang terletak di Semarapura, ibu kota Kabupaten Klungkung, Bali, Indonesia. Istana atau puri ini diperkirakan mulai dibangun pada tahun 1686 sebagai istana kediaman raja Kerajaan Klungkung. Pada gerbang utama (Pemedal Agung) istana bertuliskan sebuah candrasengkala tahun saka 1622 (1700 M) yang diyakini sebagai tahun rampungnya istana ini, namun sebagian besar istana hancur karena perang puputan dan penaklukan kolonial Belanda pada 1908. Saat ini, reruntuhan istana yang tersisa berupa Aula Pengadilan Kertha Gosa, Paviliun Bale Kambang, dan Pintu Masuk Istana Kori Agung. Di dalam istana tua juga terdapat paviliun gantung bernama Bale Kambang yang selesai direnovasi pada 1940-an. Keturunan para raja yang pernah memimpin Klungkung sekarang tinggal di Puri Agung, sebuah kediaman di sebelah barat istana lama setelah tahun 1929.[1]

Puri Agung Klungkung
Puri Agung Smarajaya
Puri Agung Semarapura
Pemedal Agung Puri Agung Klungkung (1925)
Peta
Informasi umum
JenisKeraton
Gaya arsitekturBali (denah dan ukiran)
Jawa Kuno (tata letak)
KotaSemarapura
NegaraIndonesia
Peletakan batu pertama1686
Diresmikan1700
Tanggal renovasi1856 dan 1880
Dibongkar28 April 1908
PemilikPemerintah Kabupaten Klungkung
Desain dan konstruksi
ArsitekIda I Dewa Agung Jambe I, Ki Gusti Ngurah Singarsa (1686).
Ida I Dewa Agung Istri Kania, Ida Bagus Ungu, Ida Bagus Kibul (1856).
Ida I Dewa Agung Putra III (1883).
PenetapanKediaman resmi Raja-raja Klungkung
Dikenal karenaBale Khertagosa dan Pemedal Agung

Sejarah Awal

sunting

 

Kerajaan Klungkung merupakan kerajaan tertinggi dan paling berpengaruh di Bali pada masa pasca- Kerajaan Gelgel. Kerajaan ini dipandang sebagai penerus langsung dari kerajaan Bali sebelumnya, baik secara politik maupun spiritual. Pendirian Kerajaan Klungkung tidak dapat dipisahkan dari pembangunan Puri Agung Smarajaya, yang menjadi pusat pemerintahan dan simbol legitimasi kekuasaan para penguasa Klungkung.[2]

Sejerah awal pembangunan istana tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa "uwug Gelgel" (hancurnya Gelgel) yang diceritakan secara rinci pada tulisan lontar-lontar kuno Bali, Pada tahun 1651, Kerajaan Gelgel dilanda pemberontakan besar yang dipimpin oleh perdana menteri istana, Gusti Agung Maruti, Akibat pemberontakan ini, raja yang sah, Sri Dalem Dimade, terpaksa melarikan diri ke Guliang, sementara ibu kota dan istana di Gelgel dikuasai oleh para pemberontak.[3]

Meskipun berhasil merebut kekuasaan, pemerintahan Gusti Agung Maruti dengan cepat tidak memperoleh dukungan luas dari para bangsawan Bali. Sebagian besar penguasa tetap setia kepada Wangsa Kepakisan yang telah berkuasa di Bali sejak 4 Oktober 1352. Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1686, seorang pangeran kerajaan bernama Ida I Dewa Agung Jambe, atau Sri Agung Jambe, memimpin serangan balasan untuk merebut kembali Gelgel. Ia didukung oleh penguasa dari Denbukit, Badung, dan Karangasem.[4]Serangan besar tersebut berhasil mengalahkan kekuatan Maruti. Tetapi, ibu kota dan istana Gelgel rusak berat akibat perang. Dalam tradisi Bali, wilayah yang terkena darah dalam peperangan dianggap leteh (kotor secara spiritual), dan tidak pantas lagi dijadikan pusat pemerintahan.[5]

Sebagai gantinya Dewa Agung Jambe kemudian mendirikan pusat kekuasaan baru di wilayah utara Gelgel, yang dikenal sebagai Klungkung. Ia mendirikan kota kerajaan bernama Semarapura dan membangun istana baru yang disebut Puri Agung Smarajaya(berarti "Kemenangan Cinta Kasih"). Pembangunan istana ini dipercaya rampung secara resmi pada tahun 1622 Saka atau 1700 Masehi, sebagaimana tercatat dalam candrasengkala yang terukir pada kolofon di Pemedal Agung, gerbang utama istana. Beberapa benda peninggalan istana Gelgel dipercaya juga turut dibawa ke Smarajaya sehingga menambah legitimasi sebagai penerus istana lama. [6]

Sejak saat itu, Puri Agung Smarajaya menjadi kediaman resmi para raja Kerajaan Klungkung, yang bergelar Dewa Agung. Kompleks istana ini selanjutnya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, budaya, dan spiritualitas kerajaan hingga terjadinya peristiwa Puputan Klungkung pada 28 April 1908, ketika raja dan keluarganya gugur dalam perlawanan terakhir melawan kolonial Belanda.[7]

Tata Letak dan Arsitektur

sunting

Puri Agung Smarajaya diyakini dirancang oleh Dewa Agung Jambe, pendiri Kerajaan Klungkung, dengan menggabungkan konsep tata ruang Jawa Kuno dan prinsip arsitektur tradisional Bali. Puri ini dibangun berdasarkan konsep Catus Pata, yaitu perempatan agung yang menjadi pusat kosmologis kerajaan. Letak puri berada tepat di tengah kota Semarapura dan menjadi titik nol dari sistem penataan ruang kota kerajaan.

Salah satu kekhasan tata letak Puri Smarajaya adalah orientasinya yang membelakangi arah selatan (laut), sebagaimana lazim dalam tradisi Jawa kuno, yang menganggap laut sebagai tempat suci yang layak dihormati. Ini berbeda dengan kebanyakan puri agung lainnya di Bali yang umumnya menghadap ke gunung (kaja) sebagai arah suci utama. Dengan demikian, tata letak Puri Smarajaya mencerminkan bentuk sinkretisme arsitektural antara Jawa dan Bali.[8]

Konsep Kosmologi dan Ruang

sunting

Penataan ruang dalam Puri Smarajaya mengikuti prinsip kosmologi Hindu-Bali, seperti konsep:

  • Tri Angga – pembagian vertikal atas tiga bagian tubuh (utama, madya, nista).
  • Asta Kosala-Kosali – prinsip tata letak berdasarkan nilai kesucian dan fungsi.
  • Manunggaling Kawula lan Dalem – filosofi kesatuan antara raja dan rakyat.

Dalam praktiknya, bagian tersuci (utama) berada di arah hulu (utara atau kaja), yaitu tempat berdirinya **Merajan Agung** atau tempat pemujaan leluhur keluarga kerajaan. Zona tengah (madya) dihuni oleh keluarga raja, termasuk bangunan semi-pribadi seperti **Bale Mas** tempat tinggal putra dan putri mahkota. Zona terluar (nista) mencakup **Ancak Saji**, tempat umum untuk menerima tamu, menggelar rapat, dan pelaksanaan upacara.

Hubungan Puri dan Lingkungan Sekitar

sunting

Puri Smarajaya tidak berdiri terpisah, melainkan menyatu dengan struktur kota dan rakyat di sekitarnya. Penataan kawasan di sekeliling puri mencerminkan nilai filosofi manunggalnya raja dan rakyat:

  • Timur: Pasar kerajaan sebagai pusat ekonomi.
  • Selatan: Banjar Pemeregan, bertugas menjaga puri dari arah selatan.
  • Barat: Banjar Pekandelan, bertugas menjaga sisi timur istana.
  • Utara: Bencingah, sebagai alun-alun rakyat dan tempat pertemuan.
  • Tenggara: Banjar Pande, komunitas pandai besi kerajaan.
  • Barat laut: Puri Kaleran, kediaman bangsawan yang sejak 1814 menjadi penasihat dan bertindak sebagai mangkubumi kerajaan.

Selain itu, Puri Smarajaya juga dijaga oleh puri-puri satelit yang tersebar mengelilingi kota:

  • Puri Kanginan (timur)
  • Puri Kaler Kangin (timur laut)
  • Puri Kaleran (utara)
  • Puri Kelodan (selatan)
  • Puri Denpasar (utara pasar)
  • Puri Kawan (barat)

Arsitektur dan Struktur Bangunan

sunting

Semua bangunan di dalam Puri Smarajaya menerapkan prinsip arsitektur Bali tradisional sepenuhnya, baik dalam hal struktur, material, hingga hiasan ukiran. Tata letak bangunan mengikuti pedoman Asta Kosala-Kosali, di mana setiap bangunan memiliki fungsi dan makna simbolis tersendiri. Puri ini terdiri atas lebih dari 20 unit mandala atau kompleks ruangan yang dihubungkan dengan gerbang-gerbang antar mandala.

Beberapa bangunan penting di dalam puri antara lain:

  • Pesaren Gede atau Gedong Dalem – kediaman utama raja.
  • Bale Mas – tempat tinggal para putra dan putri mahkota.
  • Ancak Saji – pelataran luar untuk menerima tamu dan kegiatan administratif.
  • Paviliun Kertagosa – tempat raja menjalankan urusan pemerintahan dan pengadilan.

Puri ini merupakan contoh arsitektur Bali klasik yang tidak hanya menampilkan estetika, tetapi juga memuat struktur sosial, politik, dan spiritual masyarakat kerajaan Bali.[9]

Paviliun Kerta Gosa

sunting
 
Paviliun Kerta Ghosa

Kota ini, pada waktu itu, dikenal karena seni, lukisan, tarian, dan musiknya. Pada akhir abad ke-18, Paviliun Kerta Gosa, juga dieja Kertha Gosa atau Kertha Ghosa, bermakna Aula Pengadilan, didirikan di sudut utara-timur kompleks istana. Paviliun ini melambangkan gaya arsitektur dan lukisan Klungkung. Karena Kerta Gosa adalah pengadilan tinggi raja Bali, kasus-kasus di pulau yang tidak dapat diselesaikan dipindahkan ke situs ini. Tiga imam Brahmana memimpin pengadilan. Para terpidana (dan juga pengunjung hari itu) dapat melihat langit-langit yang menggambarkan berbagai hukuman di akhirat, hasil karma, sementara mereka menunggu hukuman. Lukisan langit-langit Kerta Gosa adalah salah satu contoh luar biasa dari lukisan Kamasan (atau gaya Wayang).[10] Lukisan-lukisan itu mungkin awalnya dilukis pada pertengahan abad ke-19, dan diperbarui berturut-turut pada tahun 1918, 1933, dan 1963, dengan panel-panel individual diperbaiki pada 1980-an dan 1990-an. Seniman terkemuka dari desa Kamasan seperti Kaki Rambut, Pan Seken, Mangku Mura dan Nyoman Mandra bertanggung jawab atas pengecatan ulang pada abad ke-20. Lukisan-lukisan utama menggambarkan kisah Bima di surga dan neraka, tetapi cerita lain juga digambarkan adalah Tantri, kisah Garuda, dan pemandangan yang memprediksi pertanda gempa bumi (Palindon).

Sejarah

sunting

Awal mula

sunting

Keturunan raja-raja pertama, Dewa Agung Jambe (menjadi raja c.1686-1722), memerintah dalam berbagai kejayaan selama lebih dari dua abad. Mereka selalu dikenal dengan sebutan Dewa Agung. Dewa Agung Gede alias Surawirya (memerintah. 1722-1736) bersekutu dengan raja Mengwi yang berpengaruh dan melakukan ekspedisi ke Jawa bersama dengannya.[11] Setelah kematiannya pada 1736, pertempuran internal pecah antara kedua putranya Dewa Agung Gede (Jr.) dan Dewa Agung Made. Dewa Agung Gede (Jr.) meminta bantuan dari kerajaan Karangasem, tetapi dikalahkan.[a][13] Pemenangnya, Dewa Agung Made, digantikan oleh putra yang sakit jiwa, Dewa Agung Sakti (memerintah sebelum 1769-akhir abad ke-18). Istri Dewa Agung Sakti sampai harus melarikan diri ke Karangasem di mana putranya Dewa Agung Putra I dibesarkan. Sekitar akhir abad ke-18, para pembantunya di Karangasem menempatkannya sebagai penerus takhta Klungkung. Dewa Agung Putra I tampaknya telah menjadi pemimpin yang kuat tetapi jatuh dalam perang kecil di Bangli pada tahun 1809. Ia meninggalkan seorang putra, Dewa Agung Putra II (memerintah 1814-1850) dan seorang putri dan wakil bupati, Dewa Agung Istri Kanya.[14]

Campur tangan Belanda

sunting
 
Pertemuan antara Raja Klungkung (kanan) dan Karangasem (kiri), gambar dibuat sebelum tahun 1864.

Bersama dengan raja-raja Bali lainnya, Dewa Agung Putra II menandatangani kontrak dengan otoritas kolonial Belanda pada tahun 1843, tetapi karena berbagai interpretasi kontrak yang tidak sama segera menyebabkan gesekan. Gesekan ini adalah latar belakang dari tiga ekspedisi militer Belanda pada tahun 1846, 1848 dan 1849. Ekspedisi terakhir ini menyerbu wilayah Klungkung. Ratu agung Dewa Agung Istri Kanya membuat Belanda terhenti, dan ini diikuti oleh rekonsiliasi umum antara raja-raja Bali dan pemerintah Belanda.[15] Pada dekade-dekade berikutnya, kerajaan dipimpin oleh cucu Dewa Agung Sakti, Dewa Agung Putra III (memerintah 1851-1903). Dia adalah seorang pemimpin aktivis yang campur tangan dalam urusan kerajaan Bali selatan lainnya, yang masih secara nominal melekat pada Hindia Belanda. Pada 1885, ia memenjarakan Raja Gianyar, dan pada 1891 ia sangat bertanggung jawab atas kehancuran kerajaan Mengwi. Setelah tahun 1900, kehadiran Belanda membuat dirinya semakin terasa di Bali selatan. Dalam situasi ini, Dewa Agung Putra III wafat dan digantikan oleh putranya Dewa Agung Jambe II (memerintah 1903-1908). Dia mengambil sikap menentang terhadap kolonialisme yang dianggap melanggar batas.[16]

Jatuhnya Kerajaan

sunting

Sebuah insiden, yaitu dugaan penjarahan kapal Sri Kumala yang terdampar pada tahun 1904, menyebabkan intervensi militer Belanda yang baru pada tahun 1906. Pasukan kolonial menduduki Kerajaan Badung setelah serangan bunuh diri terhadap penjajah, yang disebut puputan ("penyelesaian"). Dua tahun kemudian, dengan cara yang sama, sebuah insiden di desa Gelgel yang berdekatan memicu ekspedisi kolonial untuk "menghukum" Klungkung (lihat intervensi Belanda di Bali (1908)). Elit lokal Bali memilih untuk bertahan melawan Belanda. Dewa Agung Jambe II, para anggota dinastinya dan pengikut-pengikut mereka keluar dari istana dan bertunangan dengan seekor anak anjing. Pertarungan, yang berlangsung pada 18 April 1908, berlangsung hingga kematian pejuang terakhir, termasuk wanita dan anak-anak.[17]

Setelah puputan, anggota keluarga kerajaan yang masih hidup diasingkan, dan istana sebagian besar diratakan ke tanah. Pada tahun 1929, keluarga diizinkan kembali, dan menetap di Puri Agung yang baru dibangun. Hari ini, sejarah Klungkung, dan puputan, diperingati di sebuah museum dekat dengan sisa-sisa istana. Di sebelah utara istana sebuah monumen didirikan untuk mengenang kejadian puputan.

Galeri

sunting

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Vickers, Adrian (1990). "Sights of Klungkung; Bali's most illustrious kingdom". Dalam Oey, Eric (ed.). Bali, Island of the Gods. Singapore: Periplus. hlm. 166–167.
  2. ^ C. Geertz,Negara; The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton: Princeton University Press 1980, pp. 110-3. This book provides a layout map of the Klungkung Palace as it was in c. 1905, just before the Dutch conquest (p. 110).
  3. ^ Schulte Nordholt, H. (1996). The Spell of Power: A History of Balinese Politics 1650–1940. KITLV Press.
  4. ^ Vickers, Adrian. (1989). Bali: A Paradise Created. Periplus Editions.
  5. ^ Wiener, Margaret J. (1995). Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. University of Chicago Press.
  6. ^ Hägerdal, H. (2001). Bali in the Sixteenth and Seventeenth Centuries. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
  7. ^ Wiener, Margaret J. (1995). Visible and Invisible Realms. University of Chicago Press.
  8. ^ Geriya, I Wayan. (1995). Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Balai Kajian Arsitektur Bali.
  9. ^ Sudarsana, I Made. (2009). Pura dan Arsitektur Suci Bali. Denpasar: Pustaka Bali.
  10. ^ Idanna Pucci,Bhima Swarga; The Balinese Journey of the Soul. Boston etc.: Bulfinch Press, pp. 14-8.
  11. ^ H. Creese (1991), 'Sri Surawirya, Dewa Agung of Klungkung (r. c. 1722-1736); The historical context for dating the kakawin Parthayana',Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde147-4, pp. 402-19.
  12. ^ Pham 2015, hlm. 3-4.
  13. ^ I Wayan Warna et al. (1986), Babad Dalem; Teks dan terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, pp. 115-7.
  14. ^ Adrian Vickers,Bali, A Paradise Created. Singapore: Periplus 1989, p. 66.
  15. ^ Hanna, Willard A. (2004). Bali chronicles. Singapore: Periplus. hlm. 82–83, 94–99.
  16. ^ Hanna 2004, hlm. 139-143.
  17. ^ M. Wiener (1995),Visible and invisible realms; Power, magic and colonial conquest in Bali. Chicago: University of Chicago Press.

Catatan

sunting
  1. ^ Penting untuk diingat bahwa "kronik" atau babad dalam bahasa Bali, bukanlah "historis" dalam pengertian Barat. Pertama-tama, para penulisnya adalah kaum brahmana, ksatria atau Waisya yang sangat dekat dengan peradaban Hindu-Jawa, yang mereka pandang sebagai landasan ke-Bali-an dan tulisan mereka didominasi model kerajaan, ritual, dan etika India dan Jawa. Selain itu (atau sebagai efek samping dari hal ini), sebagian besarnya berkaitan dengan silsilah, yang berarti bahwa banyak anggota keluarga penguasa dapat disebutkan tetapi tokoh-tokoh sejarah lainnya bahkan tidak disebutkan, betapapun pentingnya hal ini bagi sejarah. Mereka juga memiliki bias yang kuat terhadap peningkatan keluarga penguasa tersebut: kekalahan perang dan peristiwa-peristiwa meremehkan lainnya mungkin dibungkam, direduksi menjadi insiden, atau dijelaskan dalam istilah-istilah mitologis.[12]

Bacaan lanjutan

sunting
  • Pham, Daniel M. D. (2015). Power, ecstasy, and enlightenment: the rôle of the Bale Kambang in 17th century Balinese kingship (master in Art history). university of Hawai, Manoa.
  • R. Pringle (2004), A short history of Bali; Indonesia's Hindu realm. Crows Nest: Allen & Unwin.
  • H, Schulte Nordholt (1996), The spell of power; A history of Balinese Politics, 1650-1940. Leiden: KITLV Press.
  • Ida Bagus Sidemen et al. (1983), Sejarah Klungkung. Klungkung: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

Pranala jaba

sunting