Kerajaan Klungkung

kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan Klungkung(Aksara Bali:ᬓᬘ᭄ᬭᬶᬢᬓ᭄ᬮᬸᬂᬓᬸᬂ Kérajaan Klúngkúng) adalah suatu kerajaan maritim bercorak Hindu yang didirikan pada abad ke-17 di Pulau Bali bagian tenggara.[2] Kerajaan ini juga menguasai pulau-pulau di lepas pantai Selat Badung yaitu Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, dan Nusa Penida. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Klungkung berstatus sebagai Daerah Tingkat II Klungkung.

Kerajaan Klungkung

ᬓᬘ᭄ᬭᬶᬢᬓ᭄ᬮᬸᬂᬓᬸᬂ
1668–sekarang
Bendera Krajaan Klúngkung
Bendera
Wilayah kerajaan Klungkung pada tahun 1938 beserta koloninya termasuk pulau Nusa penida,Nusa Lembongan dan nusa Ceningan yang pada saat itu disatukan menjadi (koloni kepulauan nusa) [1]
Wilayah kerajaan Klungkung pada tahun 1938 beserta koloninya termasuk pulau Nusa penida,Nusa Lembongan dan nusa Ceningan yang pada saat itu disatukan menjadi (koloni kepulauan nusa) [1]
StatusKerajaan Maritim
Ibu kotaSemarapura
Bahasa yang umum digunakanBali (Utama)
Kawi dan Sansekerta (Religius)
Agama
Hindu (Resmi)
DemonimAnak Klungkung • Wong Klungkung
PemerintahanMonarki absolut
Raja 
• 1686-1722
Dewa Agung Jambé I (pertama)
• 2010-Sekarang
Dewa Agung Cokorda Géde Agung Sémaraputra
Sejarah 
• Didirikan
1668
1908
• Restorasi Kerajaan
1929
• Bergabung dengan Indonesia
sekarang
Mata uangperak lokal, dan Uang kepeng China
(pis bolong)
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Gelgel
Indonesia
Sekarang bagian dari Indonesia
Klungkung
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Lahirnya Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung berdiri bersamaan dengan dibangunnya Puri Agung Klungkung di Semarapura pada tahun 1686 setelah putra Dalem Di Made, I Dewa Agung Jambe, mengalahkan Pemberontakan I Gusti Agung Maruti. Istana Gelgel yang berhasil direbut I Gusti Agung Maruti tidak dipulihkan kembali setelah rata dengan tanah. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Kerajaan Klungkung berakhir dengan perang Puputan Klungkung tahun 1908 sebagai kerajaan terakhir di Bali yang melakukan perlawanan dengan cara puputan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai kerajaan yang merdeka terhadap meluasnya praktik politik kolonial Belanda di Nusantara.[3]

Sistem Sosial

Sebagai sebuah kerajaan secara struktur tampak unsur-unsur yang saling mengait di dalamnya. Hubungan antara kepemimpinan raja, Dewa Agung sebagai penjelmaan Wisnu (gusti) dengan rakyat (kaula) atau bagawanta dengan raja dan rakyatnya sisya. Stratifikasi sosial yang dipengaruhi oleh Hinduisme dengan pembagian yang mirip dengan kasta-kasta di India. Tradisi-tradisi kerajaan seperti: tawan karang, mesatia, penobatan raja, hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya, kerja sama antara kerajaan-kerajaan Bali dalam menghadapi musuh dari luar, hubungan kerajaan Klungkung dengan pemerintah Hindia Belanda. Tradisi-tradisi Majapahit seperti pusaka-pusaka keraton seperti keris dan tombak, asal usul keturunan raja bersal dari Majapahit.

Masyarakat kerajaan di Klungkung memperlihatkan ciri masyarakat yang bertingkat-tingkat sesuai dengan golongan yang ada. Dalam situasi sosio-kultural seperti inilah kelompok elite yang memimpin tumbuh dan dibesarkan serta berpengaruh di masyarakat. Pengaruh yang sangat kuat tampak jelas dalam peran yang dimainkan oleh elite politik dan religius senantiasa bisa dikembalikan pada golongan brahmana. Raja-raja yang memerintah sampai raja terakhir yaitu Dewa Agung Jambe dengan para kerabatnya yang memegang kekuasaan disatu pihak dan Bagawanta dipihak lain memiliki posisi sentral dalam pemerintahan di Klungkung, posisi sentral kelompok pemimpin ini diperkuat lagi dengan adanya bentuk-bentuk kepercayaan yang bersifat magis.

Kepercayaan terhadap kekuatan magis dan kitos tentang tokoh pemimpin terutama sangat menonjol sekitar pribadi raja, Dewa Agung, yang dianggap sebagai penjelmaan Wisnu. Benda-benda pusaka seperti keris, tombak dan meriam I Seliksik memegang peranan penting dalam menambah kewibawaan raja yang memerintah.[4]

Kemunduran Kerajaan

 
Balekambang Kerta Ghosa di dalam kompleks Puri Agung Klungkung di Semarapura.

Hindia Belanda mulai mengurangi kedaulatan Kerajaan Klungkung dan ingin memasukkan ke dalam wilayahnya. Pada tanggal 24 Mei 1843, diadakan perjanjian penghapusan tradisi tawan karang Kerajaan Klungkung. Perjanjian ini telah menimbulkan rasa tidak senang dikalangan pejabat kerajaan. Ditambah dengan sebab-sebab lainnya, seperti perampasan dua buah kapal yang kandas di Bandar Batulahak (Kusamba). Keterlibatan laskar Klungkung dalam perang antara Buleleng dengan Militer Belanda di Jagaraga tahun 1848-1849 mempertajam permusuhan antara pihak Belanda dengan pihak Kerajaan Klungkung. Permusuhan dan rasa tidak puas Dewa Agung Istri Balemas memuncak, dan akhirnya meletus menjadi perang terbuka yaitu Perang Kusamba tahun 1849. Pada perang itulah Jenderal Michiels, pimpinan ekspedisi militer Belanda, tewas.

Dari peristiwa perang Kusamba, menurut sumber penulis Belanda, ialah munculnya tokoh wanita yaitu Dewa Agung Istri Balemas sebagai seorang wanita yang sangat benci dan menentang intervensi Belanda dan ia dianggap pemimpin golongan yang senantiasa menggagalkan perjanjian perdamaian dengan pihak Belanda.

Diawal Abad ke-20, disodorkan lagi perjanjian tentang Tapal Batas antara Kerajaan Gianyar dengan Kerajaan Klungkung, tepatnya pada tanggal 7 Oktober 1902. Setelah penandatanganan perjanjian Tapal Batas timbul perselisihan antara Kerajaan Klungkung dengan Gubernemen mengenai Daerah Abeansemal, Vasal Kerajaan Klungkung yang berada di daerah Kerajaan Gianyar. Dukungan raja Klungkung dilakukan semasa meletusnya perang Puputan di Kerajaan Badung tahun 1906.

Perjanjian tanggal 17 Oktober 1906 tentang kedaulatan Gubernemen atas Kerajaan Klungkung telah menurunkan status kenegaraan dan politik Kerajaan Klungkung sebagai sesuhunan raja-raja Bali. Hal ini memperkuat sikap menentang Dewa Agung Jambe II dan kalangan pembesar kerajaan yang memuncak pada perlawanan Puputan Klungkung tahun 1908, yang menyebabkan kehancuran kerajaan dengan terbunuhnya raja Dewa Agung Jambe II beserta banyak pengikutnya.

Pada 25 Juli 1929, pemerintah Hindia Belanda merestorasi kepemimpinan Kerajaan Klungkung dengan mengangkat Dewa Agung Oka Geg sebagai Regent. Selanjutnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Klungkung hanya berstatus sebagai sebuah kabupaten di dalam pemerintahan Provinsi Bali.

Daftar Raja dan Ratu Klungkung

 
Dewa Agung Jambe II pada tahun 1908.
  • Dewa Agung Jambe I (1686-1722)
  • Dewa Agung Gede (1722-1736)
  • Dewa Agung Made (1736-1760)
  • Dewa Agung Sakti (1760-1790)
  • Dewa Agung Putra I Kasamba (1790-1809)
  • Dewa Agung Panji
  • Dewa Agung Putra
  • Dewa Agung Putra I
  • Gusti Ayu Karang (1809-1814)
  • Dewa Agung Putra II (1814-1851)
  • Dewa Agung Putra III (1851-1903)
  • Dewa Agung Jambe II (1903-1908)
  • Interregnum (1908-1929)
  • Dewa Agung Oka Geg (1929-1965)
  • Interregnum (1965-1998)
  • Dewa Agung Cokorda Gede Agung (1998-?)
  • Dewa Agung Cokorda Gede Agung Semaraputra (2010-Sekarang)

Referensi

  1. ^ "Perang Bali tahun 1846-1849". 13 Oktober 2012. 
  2. ^ "Sejarah Singkat Kerajaan Klungkung". 30 Juni 2013. 
  3. ^ "Sejarah Klungkung". 30 Juni 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-19. Diakses tanggal 2013-06-30. 
  4. ^ "Peninggalan Kerajaan Klungkung". 30 Juni 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-23. Diakses tanggal 2013-06-30. 

Lihat Pula

Pranala luar