Industri kedelai menggunakan kedelai sebagai bahan baku pembuatan produknya. Cakupan industri kedelai pada industri pangan, non pangan dan pakan ternak. Beberapa jenisnya adalah industri tempe, industri tahu dan industri bungkil kedelai. Produk dari industri kedelai mengandung protein yang tinggi yang dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai pangan, dan oleh ternak khususnya unggas sebagai pakan.

Bahan baku dan cakupan indsustri

sunting

Industri kedelai menggunakan kedelai sebagai bahan konsumsi. Skala industri kedelai dalam skala rumahan maupun skala besar.[1] Kedelai digunakan untuk industri pangan dan industri non-pangan atau industri pakan ternak.[2] Industri pangan menggunakan kedelai untuk dua keperluan, yaitu pembuatan pangan fermentasi dan pangan non fermentasi. Pangan fermentasi meliputi pembuatan kecap, tauco dan tempe. Sedangkan pangan non fermentasi meliputi tahu dan susu. Sementara industri kedelai non pangan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari kedelai, yaitu minyak kasar, konsentrat protein dan lesitin, dan bungkil. Hasil pengolahan industri kedelai non pangan dibuat lagi menjadi produk pangan, pakan, obat dan bahan baku industri lainnya. Produk pangan diperoleh melalui minyak kasar dari kedelai yang diubah menjadi minyak salad dan mentega putih. Minyak kasar juga digunakan untuk menjadi bahan pengemulsi, pelarut dan pelumas. Dari konsentrat protein dan lesitin dibuat produk pangan berupa es krim, yoghurt dan kembang gula.  Konsentrat protein dan lesitin juga dibuat menjadi bahan baku dalam industri obat-obatan dan kosmetik. Sementara bungkil kedelai digunakan dalam industri pakan ternak.[3]

Industri kedelai dalam pembuatan makanan dan minuman menggunakan kedelai polong tua. Sementara kedelai polong tua jarang digunakan. Penggunaan kedelai polong tua lebih diminati karena dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kedelai polong muda.[4]

Industri kedelai pada skala rumah tangga juga memerlukan kedelai dalam kondisi tertentu. Kondisi ini utamanya diperlukan dalam pembuatan tahu dan tempe. Di Jawa Timur, industri kedelai menggunakan kedelai dengan ciri berwarna kekuningan atau kehijauan. Sementara di Jawa Barat hanya digunakan kedelai yang bijinya berwarna kuning dan berukuran besar.[5]

Industri tempe

sunting

Industri tempe sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kedelai dan harga belinya. Selain itu, industri tempe juga sangat dipengaruhi oleh modal usaha, sarana produksi dan pendapatan usahanya.[6] Produksi tempe dalam skala industri rumahan sangat kecil. Cara produksi menggunakan metode tradisional. Industri tempe meliputi dua kegiatan yaitu pemasakan kedelai dan fermentasi.[7] Industri tempe berkembang di banyak negara di dunia, yaitu Indonesia, India, Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru. Industri tempe juga berkembang di negara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Negara lain yang mengembangkan industri tempe yaitu Belgia, Austria, Republik Ceko, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swiss, dan Inggris.[8] Di Indonesia, sebanyak 88% produksi tempe digunakan untuk industri tempe.[9]

Industri tahu

sunting

Industri tahu sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kedelai dan harga belinya.[10]

Produk

sunting

Produk pangan

sunting

Dalam industri kedelai, kedelai dapat diolah menjadi aneka bahan makanan. Bahan makanan ini seperti susu kedelai dan minuman sari kedelai. Produk ini dikemas di dalam botol. Industri kedelai juga mengolah kedelai menjadi penyedap rasa dengan kandungan protein yang tinggi.[11] Industri kedelai pada skala rumahan menghasilkan produk berupa tahu dan tempe.[12]

Produk bukan pangan

sunting

Kedelai dapat dimanfaatkan dalam industri pakan ternak. Bahan baku industrinya adalah bungkil kedelai. Bungkil kedelai memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga dijadikan pakan ternak utama selain jagung.[13] Jenis ternak yang memakan bungkil kedelai adalah unggas.[14]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Ivan’s, E., dan Sari, N. A. (2021). "Potret Perbandingan Kebijakan Harga Pangan dengan Realita Harga Beras, Gula dan Kedelai di Tahun Pertama Pandemi Covid-19, Indonesia". Open Science and Technology. 1 (1): 85. ISSN 2776-169X. 
  2. ^ Hasan, Fuad (2012). "Strategi dan Kebijakan Pengurangan Impor Kedelai". Prosiding Semnas FAI 2012: 80. ISBN 978-602-18810-0-2. 
  3. ^ Profil Komoditas Kedelai (PDF). hlm. 13–14. 
  4. ^ Edison, Denmar, D., dan Nurchaini, D. S. (2013). "Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai pada Lahan Kering di Kabupaten Tebo Jambi" (PDF). Prosiding Seminar Nasional 2013: 82. 
  5. ^ Andayanie, Wuye Ria (2016). Pengembangan Produksi Kedelai Sebagai Upaya Kemandirian Pangan di Indonesia (PDF). Jakarta: Mitra Wacana Media. hlm. 98. ISBN 978-602-318-145-2. 
  6. ^ Fitrianto, R. F., Prasetyo, E., dan Roessali, W. (2021). "Analisis Permintaan Kedelai pada Industri Tempe di Kecamatan Semarang Selatan". Jurnal Sungkai. 9 (1): 8. 
  7. ^ Badan Standardisasi Nasional 2012, hlm. 7.
  8. ^ Badan Standardisasi Nasional 2012, hlm. 16.
  9. ^ Suhartono, S., dan Tandean, V. A. (2017). "Kajian Perilaku dan Strategi Pengrajin Tempe dalam Menghadapi Fluaktuasi Harga Kedelai di Sunter, Jakarta Utara". Akuntansi Manajemen. 6 (2). ISSN 2089-7219. 
  10. ^ Nuhung, Iskandar Andi (2013). "Kedelai dan Politik Pangan" (PDF). Forum Penelitian Agro Ekonomi. 31 (2): 124. 
  11. ^ Mursidah (2005). "Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Upaya Pengembangannya di Propinsi Kalimantan Timur" (PDF). EPP. 2 (1): 40. 
  12. ^ Aldillah, Rizma (2015). "Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia" (PDF). Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan. 8 (1): 10. ISSN 2301-8968. 
  13. ^ Sudaryanto, T., Rusastra, I. W., dan Saptana (2001). "Perspektif Pengembangan Ekonomi Kedelai di Indonesia" (PDF). FAE. 19 (1): 1. 
  14. ^ Rante, Yohanis (2013). "Strategi Pengembangan Tanaman Kedelai untuk Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Kabupaten Keerom Provinsi Papua". Jurnal Manajemen dan kewirausahaan. 15 (1): 77. ISSN 1411-1438. 

Daftar pustaka

sunting