Larvul Ngabal

(Dialihkan dari Hukum Larvul Ngabal)

Larvul Ngabal adalah hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Kepulauan Kei, di sebelah tenggara Kepulauan Maluku. Sebagai prinsip-prinsip dasar yang melandasi adat-istiadat Kei, hukum adat ini terdiri atas tiga asas utama: Nevnev, Hanilit, dan Hawear Balwirin.[1]

Hukum Larvul Ngabal yang terdiri atas hukum pidana, hukum keluarga, dan hukum properti ini merupakan gabungan dua tatanan hukum yang berbeda dari dua moietas dalam masyarakat Kei, yakni Ursiu (serikat sembilan) dan Lorlim (serikat lima). Menurut riwayat-riwayat lisan, hukum adat ini dirumuskan dalam dua pertemuan para bangsawan pendatang (bahasa Kei: mel) yang prihatin melihat ketiadaan tatanan di Kepulauan Kei, dan yang kemudian menetapkannya demi menghadirkan ketertiban di kepulauan itu.[2]

Hukum adat ini digambarkan pula sebagai sebuah kontrak sosial dari zaman prakolonial yang menaungi seluruh masyarakat Kepulauan Kei. Tatanan hukum yang menaungi dan mempersatukan seluruh kelompok masyarakat semacam ini tidak dijumpai di Maluku Tengah yang juga memiliki moietas serupa.[3][4]

Etimologi sunting

Larvul adalah gabungan kata "lar" yang berarti "darah" dan "vul" yang berarti "merah"; sementara ngabal adalah gabungan kata "nga" yang berarti tombak, dan "bal" yang berarti "Bali". Secara harfiah, Larvul Ngabal berarti darah merah dan tombak Bali. Frasa ini erat kaitannya dengan berbagai riwayat turun-temurun mengenai peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi perumusan asas-asas hukum Larvul Ngabal.[A]

Sejarah sunting

Menurut tom-tad (sejarah lisan) masyarakat Kei, hukum Larvul dan hukum Ngabal diprakarsai oleh anak-anak dari dua orang pendatang adik-beradik dari Pulau Bali, yakni Kasdeu dan Jangra. Rombongan yang dipimpin Kasdeu memilih untuk menetap di Pulau Nusyanat (sekarang Nuhu Roa atau Pulau Kei Kecil), sementara rombongan yang dipimpin Jangra memilih[B] untuk menetap di Pulau Nustēn (sekarang Yūt atau Pulau Kei Besar). Kedua pulau ini sesungguhnya tidak terlampau berjauhan, bahkan berdekatan di ujung selatan.

Sebelum kedatangan Kasdeu dan Jangra, penduduk Kepulauan Kei telah hidup bermasyarakat dalam permukiman-permukiman besar maupun kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang hala'ai (pembesar).[C] Beberapa permukiman bahkan sudah membentuk persekutuan atas dasar kekerabatan atau kerjasama, dan ada pula yang sudah memiliki hukum adat sendiri. Meskipun demikian, belum ada satu tatanan yang seragam atau diterima secara luas, sehingga sering kali berlaku hukum rimba. Masyarakat Kei menyebut hukum rimba sebagai hukum Dalo Ternat (hukum Jailolo-Ternate).[D]

Jangra memiliki seorang putri yang bernama Dit Somar. Dengan berbekal beberapa bilah tombak bawaan ayahnya dari Pulau Bali, Dit Somar berupaya menjalin persekutuan dengan para penguasa setempat. Upaya ini disambut baik oleh lima penguasa di Pulau Nustēn yang kemudian berkumpul dan merumuskan hukum Ngabal sebagai pedoman bersama, sekaligus membentuk persekutuan Lorlim (serikat lima).

Di Pulau Nusyanat, putri Kasdeu yang bernama Dit Sakmas mengalami perundungan dalam perjalanan menuju kampung calon suaminya. Tipu daya dan pertumpahan darah yang menyusul peristiwa perundungan ini mendorong abang Dit Sakmas yang bernama Tebtut untuk mengumpulkan para penguasa di Pulau Nusyanat guna merumuskan suatu hukum bersama sekaligus membentuk persekutuan demi menyokong penegakannya. Ikhtiar Tebtut disambut baik oleh sebelas orang penguasa; sembilan di antaranya berkumpul dan merumuskan hukum Larvul sekaligus membentuk persekutuan Ursiu (serikat sembilan).

Pembentukan serikat sembilan dan serikat lima ini mungkin meniru bentuk moietas serupa yang juga terbentuk di Maluku Utara dan Maluku Tengah. Keberadaan moietas Siwa-Lima di seluruh Kepulauan Maluku mungkin timbul sebagai dampak persaingan berabad-abad di Nusantara dalam bidang niaga rempah-rempah Maluku antara golongan saudagar pemeluk agama Siwa (pemuja sembilan Dewata penguasa penjuru-penjuru jagat) dan golongan saudagar pemeluk agama Buddha (penganut lima pantangan). Meskipun bukan penghasil rempah-rempah, Kepulauan Kei merupakan tempat persinggahan (Tua di Pulau Du dan Hār di Pulau Nustēn) di jalur niaga yang menghubungkan kawasan barat Nusantara dengan kepulauan Aru, Semenanjung Onin, dan pesisir utara Benua Australia. Sebagaimana yang terjadi di Maluku Utara dan Maluku Tengah, hubungan serikat lima dan serikat sembilan di Kepulauan Kei juga kerap diwarnai persaingan dan perseteruan terkait wilayah dan pengaruh. Meskipun demikian, hukum Larvul dan hukum Ngabal tidak saling dipertentangkan, malah dianggap saling melengkapi, dan lambat laun diterima sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan dari satu hukum adat seluruh masyarakat Kepulauan Kei, baik yang bergabung dalam persekutuan Ursiu, persekutuan Lorlim, maupun masyarakat Lorlabai (pihak netral).[E]

Penjabaran sunting

Keseluruhan tatanan hukum Larvul Ngabal diringkas dalam tujuh petuah:

  1. Ūd entauk na atvunad, kepala kita bertumpu di tengkuk kita.
  2. Lelad ain fo mahiling, leher kita yang sebatang hendaklah diluhurkan.
  3. Ul nit envil atumud, kulit mati membungkus badan kita.
  4. Lar nakmot na ivud, darah menggenang di perut kita.
  5. Rek fo mahiling, ambang bilik hendaklah diluhurkan.
  6. Moryain fo kelmutun, bilik petiduran hendaklah disucikan.
  7. Hira ni fo i ni, it did fo it did, milik orang biarlah miliknya, milik kita biarlah milik kita.[5]

Empat petuah terawal merupakan ringkasan hukum pidana yang disebut Hukum Nevnev, dan diyakini sebagai Hukum Larvul yang dirumuskan dalam pertemuan para mel pembentuk serikat sembilan di Elaar, Nuhu Roa. Dua petuah berikutnya adalah ringkasan hukum keluarga yang disebut Hukum Hanilit, sementara petuah terakhir adalah ringkasan hukum properti yang disebut Hukum Hawear Balwirin. Hukum Hanilit dan Hukum Hawear Balwirin diyakini merupakan Hukum Ngabal yang dirumuskan dalam pertemuan para mel pembentuk serikat lima di Ler Ohoilim, Yūt.[6]

Hukum Nevnev, Hukum Hanilit, dan Hukum Hawear Balwirin masing-masing terdiri atas tujuh macam dosa (bahasa Kei: sa sor fit).

Hukum Nevnev
  1. Mu'ur nar suban med, mencaci-maki dan bersumpah serapah
  2. Haung hebang, bermufakat jahat
  3. Rasung smu rudang dad, meracun dan mengguna-guna
  4. kev bangil, meninju dan memukul
  5. Tev ahai sung tavat, menumbuk dan melempar, menikam dan menusuk
  6. Fedan na tetat vanga, membunuh, menetak dan memenggal
  7. Tivak luduk fo vavain, mengubur dan menenggelamkan hidup-hidup
Hukum Hanilit
  1. Sis af sivar usbūk, mendesis dan menggamit, bersiul dan bersuit
  2. Kifuk mat ko, bermain mata
  3. Kis kafir temar u mur, mencubit dan mencolek, memalit dengan ujung depan dan ujung belakang busur
  4. En'a lebak enhumak voan, memeluk dan mencium
  5. Enval siran baraun enkom lavur ngutun tenan, menyingkap cawat dan mengoyak penutup aurat
  6. Enwel ev yan, hamil di luar nikah
  7. Manu'u marai, melarikan anak gadis atau istri orang
Hukum Hawear Balwirin
  1. Faryatad sa, mengincar barang orang
  2. Itkulik fanaub, menyimpan barang curian
  3. Itbor, mencuri
  4. Tef'en itna-il tomat ni afa it li'ik ken te itfanaub, enggan mengembalikan barang orang yang ditemukan atau dicuri
  5. Ta'an rorom, makan dari hasil mencuri
  6. Itlavur kom hira ni afa, merusak barang orang
  7. Itna ded vut-raut fo enfasus tomat lian, menyengsarakan orang dengan berbagai macam cara

Keterangan sunting

  1. ^ Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa larvul adalah gabungan dari kata "lār" (bunyi "a" panjang) yang berarti "layar" dan "vul" yang berarti "merah". Dengan demikian, frasa Larvul Ngabal sebenarnya mengacu pada keyakinan turun-temurun masyarakat Kei mengenai asal usul para penggagas tatanan ini
  2. ^ Menurut berbagai versi tentang kisah datangnya kedua adik-beradik ini, rombongan perahu yang dipimpin Jangra terpisah dari rombongan perahu yang dipimpin Kasdeu akibat diamuk badai di perairan selatan Kepulauan Kei.
  3. ^ Secara harfiah hala'ai berarti "membesar", namun mungkin saja hala'ai hanyalah variasi pengucapan kata "ila'ai" (ain la'ai dalam bahasa Kei modern), semakna dengan kata "ila'a" dalam bahasa Fordata yang berarti "si besar" atau "yang besar", mirip dengan gelar ki ageng di Jawa.
  4. ^ Frasa "hukum Jailolo-Ternate" bukan berarti hukum yang berlaku di Jailolo atau di Ternate, melainkan mengacu pada perilaku sewenang-wenang orang Ternate terhadap suku-suku bangsa lain yang tunduk di bawah kekuasaannya. Jailolo adalah kerajaan Maluku tertua yang dikenal oleh leluhur masyarakat Kei, cikal bakal dari empat kerajaan yang berpusat di Maluku Utara. Sementara Ternate adalah salah satu dari empat kerajaan turunan Jailolo yang pengaruhnya meluas ke arah barat dan selatan; pengaruh Kerajaan Tidore meluas ke arah timur; sementara pamor dua kerajaan lainnya lambat laun meredup. Masyarakat Kei sendiri memandang Kepulauan Kei sebagai negeri di "Dalo soin Ternat wahan" (pinggiran Jailolo, perbatasan Ternate).
  5. ^ Lorlabai adalah sebutan bagi permukiman-permukiman yang memutuskan untuk tetap netral, dengan cara tidak menjadi anggota serikat lima maupun serikat sembilan dan tidak memihak salah satunya bilamana kedua persekutuan itu sedang bertikai. Lor berarti "rakyat" atau "kaum", dan labai mungkin berasal dari perkataan Bugis "sala bai" yang berarti "banci" (secara harfiah berarti "bukan perempuan").

Rujukan sunting

  1. ^ Laksono, Paschalis Maria (January 1, 2002). The Common Ground in the Kei Islands: Eggs from One Fish and One Bird (edisi ke-1st). Galangpress Group. hlm. 58. ISBN 979-9341-45-0. 
  2. ^ Truman Simanjuntak, Ingrid Harriet Eileen Pojoh, Muhamad Hisyam, ed. (2006). Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago: Proceedings of the International Symposium. LIPI Press. hlm. 400. ISBN 979-26-2436-8. 
  3. ^ Bräuchler, Birgit (2014). Oliver P. Richmond, ed. The Cultural Dimension of Peace: Decentralization and Reconciliation in Indonesia. 
  4. ^ Al Qurtuby, Sumanto (May 20, 2016). Religious Violence and Conciliation in Indonesia: Christians and Muslims in the Moluccas (edisi ke-1st). Routledge. hlm. 104. ISBN 978-1-138-96280-4. 
  5. ^ Timothy Lindsey, ed. (2008). Indonesia: Law and Society (edisi ke-2nd). Federation Press. hlm. 119. ISBN 978-186287-692-7. 
  6. ^ Timothy Lindsey, ed. (2008). Indonesia: Law and Society (edisi ke-2nd). Federation Press. hlm. 118-119. ISBN 978-186287-692-7. 

Pranala luar sunting