Hukum Kanun Pahang

Hukum Kanun Pahang Jawi: حكوم قانون ڤهڠ ), juga dikenal sebagai Kanun Pahang[1] atau Undang-Undang Pahang[2] adalah Qanun atau norma hukum Kesultanan Pahang lama. Hukum ini berisi ketentuan penting yang menegaskan kembali keutamaan adat Melayu, sementara pada saat yang sama mengakomodasi dan mengasimilasi syariat Islam. Norma hukum ini sebagian besar berdasarkan model Undang-Undang Melaka dan Undang-Undang Laut Melaka, dan disusun pada masa pemerintahan Sultan Pahang ke-12, Abdul Ghafur Muhiuddin Syah. Hukum ini dianggap sebagai salah satu intisari hukum tertua yang disusun di dunia Melayu.[2][3]

Secara historis, Hukum Kanun Pahang diterapkan di Johor,[2] setelah penyatuan antara Pahang dan Johor pada 1623, dan juga memiliki pengaruh penting dalam pemakluman Undang-Undang di Perak[2] dan Brunei.[4] Pada tahun 2012, Hukum Kanun Pahang dimasukkan dalam Daftar Warisan Negara Malaysia, di bawah kategori objek warisan berwujud.[5]

Sejarah

sunting

Penerapan berbagai aspek sistem administrasi pemerintahan Melaka berasal dari pertengahan abad ke-15, ketika Kerajaan Pahang Tua ditaklukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Kesultanan Melaka. Para penguasa awal Kesultanan Pahang kemudian, yang didirikan sebagai vasal Melaka, mempermaklumkan tradisi istana berdasarkan sistem Melaka sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Melaka dan Undang-Undang Laut Melaka, dan menegakkan aturan-aturan adat dan agama yang ada untuk mempertahankan tatanan sosial. Semua aturan, larangan, dan adat istiadat yang telah dikodifikasikan sebagai hukum, pada gilirannya dihimpun melalui tradisi lisan dan dihafal oleh para menteri senior.[6]

Antara tahun 1592 dan 1614, atas perintah Sultan Pahang ke-12, Abdul Ghafur Muhiuddin Syah, undang-undang ini diperbaiki dengan rincian-rincian dan yang paling penting, tercatat. Naskah hukumnya berisi ketentuan-ketentuan terperinci tentang masalah seremonial, penyelesaian konflik sosial, masalah maritim, hukum Islam, dan masalah umum. Undang-Undang Melaka asli dengan 44 klausul,[7] dikembangkan menjadi undang-undang Pahang dengan 93 klausul.[3]

Tak lama setelah kematian Abdul Ghafur Muhiuddin Syah, Pahang jatuh ke dalam kekacauan setelah menderita serangan dahsyat dari Aceh. Dilantiknya seorang kerabat, Raja Bujang, duduk di singgasana Pahang, dan beberapa tahun kemudian pada tahun 1623, di singgasana Johor, telah menyatukan kedua negara di bawah satu pemerintahan. Undang-Undang Pahang merupakan bagian dari unsur-unsur yang diintegrasikan ke dalam pemerintahan baru. Disebutkan dalam naskah Hukum Kanun Pahang yang masih bertahan, bahwa undang-undang tersebut juga diberlakukan di Johor.[2]

Hukum Kanun Pahang ini juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam diundangankannya Hukum Kanun Brunei (Undang-Undang Brunei)[4] dan "Undang-Undang 99" ("Undang-Undang Perak 99").[2] Meskipun Perak dan Brunei tidak pernah ditundukkan oleh Pahang, hal ini dimungkinkan karena kedua negara menjalin hubungan diplomatik, perdagangan, dan bahkan perkawinan yang kukuh dengan para penguasa Pahang. Sultan Abdul Ghafur sendiri menikah dengan seorang putri Saiful Rijal dari Brunei, dan dia menunangkan putra sulungnya dengan seorang cucu perempuan Sultan Perak.[8]

Lihat juga

sunting

Catatan

sunting

Bibliografi

sunting
  • Abd. Jalil Borham (2002), Pengantar Perundangan Islam (An Introduction to Islamic Legislature), Johor Bahru: Universiti Teknologi Malaysia press, ISBN 983-52-0276-1 
  • Liaw, Yock Fang (2013), A History of Classical Malay Literature, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-4459-88-4 
  • Mohammad bin Pengiran Haji Abd. Rahman (2001), Islam di Brunei Darussalam, Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, ISBN 978-999-1701-81-3 
  • Siti Mashitoh Mahamood (2006), Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives, University of Malaya press, ISBN 983-100-287-3 
  • Zaini Nasohah (2004), Pentadbiran undang-undang Islam di Malaysia : sebelum dan menjelang merdeka, Utusan Publications, ISBN 978-967-6115-19-5