Hikayat Malem Dagang

Hikayat Malem Dagang merupakan salah satu warisan dari kekayaan sastra Indonesia lama. Hikayat ini ditulis dalam bahasa Aceh [1].

Ringkasan Hikayat Malem Dagang sunting

Sultan Iskandar Muda memerintah dengan adil. Negerinya aman dan makmur. Barang-barang keperluan rakyat melimpah ruah. Kapal-kapal asing banyak berdatangan membawa barang. Pada suatu hari datanglah Raja Raden bersama putri Pahang menghadap Sultan. Mereka datang dari Banang, Malaka dengan maksud hendak memeluk agama Islam. Raja Raden juga mengatakan bahwa ia mempunyai seorang adik bernama Raja Si Ujut. Sesudah memeluk agama Islam putri Pahang dinikahkan dengan Sultan Iskandar Muda dan Raja Raden dinikahkan dengan adik Sultan sendiri [1].

Tiada berapa lama kemudian datanglah Si Ujut dengan armadanya yang besar yang terdiri dari tujuh buah kapal perang. Si Ujut seorang raja terkenal. Beberapa kerajaan takluk di bawah kekuasaannya. Ketika .kapal-kapal perang itu sudah merapat di pelabuhan, putri Pahang memerintahkan rakyat untuk menyambutnya dengan upacara adat. Si Ujut diterima di istana kerajaan. Kedatangannya ialah hendak membujuk Raja Raden supaya pulang kem bali ke Malaka. Raja Raden tidak mau dibujuk dah mengatakan ia sudah masuk agama Islam dan Sultan sangat setia kepadanya [1].

Si Ujut mengancam kalau Raja Raden tidak mau pulang negeri Aceh akan diperanginya dan rajanya rlibunuh. Raja Raden menasihati Si Ujut supaya jangan takabur, padahal Sultan sudah berbaik hati kepadanya dengan memberi izin menguasai daerah Ladong, Peukan dan Krueng Raya. Mendengar nasihat abangnya Si Ujut marah. Ia pergi ke daerah pantai. Rakyat dirampok. Ladong dan Krueng Raya dibumihanguskan. Dua orang pawang ikan dibunuh. Raja Raden memutuskan hubungan saudara dengan Si Ujut, dan menganjurkan Sultan supaya mempersiapkan armada yang besar untuk memerangi Malaka. Sultan mengerahkan seluruh rakyat mencari kayu di gunung untuk pembuatan kapal. Dalam waktu tujuh bulan tujuh ratus kapal selesai dibuat [1].

Setahun sejak peristiwa itu terjadi sebatang kayu besar terdampar di tepi pantai. Sultan sendiri menyaksikan kayu besar itu. Kayu itu menyatakan bahwa ia sebenarnya jin Islam. Si Ujut yang menebangnya dan hendak dijadikan kapal untuk memerangi Aceh. Jin itu meminta supaya Baginda segera membuat sebuah kapal dari kayu itu. Kapal itu nanti akan dapat menaklukkan setiap negeri. Tukang-tukang pun dikerahkan dan tak lama kemudian kapal pun selesai dengan dilengkapi tiga buah genta. Yang satu ditempatkan di haluan dan diberi nama Akidatoi Umu. Yang satu di buritan dengan nama Tulak Mara. Yang satu lagi di tengah-tengah kapal dan diberi nama Kasira Khairan. Kemudian Baginda memberi nama kapal itu dengan Cakra Donya [1].

Ketika diluncurkan rakyat beramai-ramai menariknya tetapi tidak bergerak. Baru sesudah Baginda meminta para ulama membaca doa, kapal itu mau meluncur. Dalam rencana memburu Si Ujut Baginda meminta pendapat putri Pahang. Putri mengatakan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh Baginda dalam penyerangan ke Malaka. Pertama harus diingat bahwa arus di perairan Malaka sangat deras. Kedua di Asahan. Di sana banyak lawan. Ketiga ialah di laut Banang. Di situ meriam tidak boleh dibunyikan sebab dua orang wali yang mula-mula memiliki negeri itu bersemayam di situ. Setiap meriam yang dibunyikan akan patah dua. Armada Sultan Iskandar Muda berlayar menuju Malaka. Baginda sendiri berangkat melalui darat. Di Sigli Sultan disambut rakyat Pidie dengan panglimanya Maharaja Indra. Pidie sudah siap dengan lima buah kapal perang. Baginda memerintahkan supaya kapal-kapal perang Pidie mengikuti Cakra Donya. Dari Sigli Sultan melanjutkan perjalanan ke Meureudu. Ternyata Meureudu kosong. Penduduknya sedang bekerja di hutan. Baru sesudah tujuh hari mereka pulang. Dengan disertai seorang ulama bernama Ja Pakeh mereka menghadap Sultan. Mula-mula Sultan tidak mau menerima kedatangan mereka. Ja Pakeh marah, tetapi kemudian ia dipanggil lagi dan ditanyakan mengapa baru tujuh hari rakyat pclang dari gunung. Ja Pakeh mengatakan bahwa sebabnya ialah karena Sultan tidak mengangkat seorang hulubalang di Meureudu. Tetapi Sultan beralasan bahwa Meureudu adalah daerah raja sendiri. Ja Pakeh diminta Sultan supaya ikut ke Malaka [1].

Anak negeri yang tidak ikut terutama wanita oleh Sultan diberi modal untuk usaha menenun kain. Beberapa hari kemudian datanglah rakyat Samalanga yang sudah siap dengan lima buah kapal perang untuk mengikuti Cakra Donya memburu Si Ujut. Baginda-melanjutkan perjalanan melalui Peudada. Di Peusangan rombongan Sultan disambut rakyat jelata. Peusangan juga mempunyai lima buah kapal perang. Kapal-kapal itu pun diperintahkan untuk mengikuti Cakra Donya. Rakyat Peusangan tidak ikut ke Malaka. Mereka sibuk memelihara ulat sutra. Kemudian Sultan sampai di Lhokseumawe [1].

Ja Pakeh menceritakan asal-usul nama Lhokseumawe. Tempat itu menjadi dalam karena pasirnya banyak diambil oleh Brahim Papa. Demikian pula nama Pase yang berasal dari nama seekor anjing kepunyaan Brahim Papa. Sampai di Jambo Aye Sultan baru memikirkan calon Panglima Perang. Panglima Pidie Maharaja Indra tidak bersedia dengan alasan tidak memiliki banyak ahli famili. Baginda mencalonkan Malem Dagang yaitu cucu Ja Pakeh sendiri tetapi Ja Pakeh tidak setuju karena ia masih sangat muda [1].

Baginda tetap pada pendiriannya karena menurut beliau panglima muda ini sangat tepat untuk diserahi pimpinan perang, dengan janji Malem Dagang akan diberi daerah yang luas meliputi Asahan, Meulaboh dan Tripa. Malem Dagang menanyakan pendapat panglima-panglima yang lain. Semuanya menunjuk Malem Dagang. Ja Pakeh pun memberi semangat perang suci melawan musuh agama. Sesudah pengangkatan di Jambu Aye, pasukan Sultan lskandar Muda di ·bawah pimpinan Malem Dagang menuju kapal dan berlayar [1].

Tiga hari tiga malam dalam pelayaran sampailah armada besar itu di Asahan. Negeri Asahan diperintah oleh seorang raja yang belum beragama, namanya Raja Muda. Banyak negeri yang sudah ditaklukkan dan banyak putri raja serta harta-benda dirampasnya. Sultan memerintahkan Malem Dagang membunyikan meriam. Di darat terdengar tujuh belas kali tembakan meriam pertanda negeri Asahan akan dihadang. Utusan Raja Muda menemui Malem Dagang di atas kapalnya dan menanyakan maksud kedatangan armada Iskandar Muda itu. Malem Dagang mengatakan bahwa armadanya sedang menuju negeri Johor. Meskipun telah disarankan oleh utusannya supaya annada Malem Dagang jangan dihadang, namun Raja Muda tetap hendak menyerang [1].

Raja Muda mengerahkan pasukannya. Armada Malem Dagang ditembakinya dari darat selama tujuh hari. Mula-mula Sultan Iskandar Muda menyarankan jangan melawan karena akan menghadapi Raja Si Ujut. Tetapi Malem Dagang dengan sembilan ratus kapal perangnya ingin melawan Raja Muda. Armada Malem Dagang mulai menembakkan meriamnya ke darat. Satu per satu benteng Raja Muda rubuh, namun beberapa orang perwira Malem Dagang mulai takut. Malem Dagang menyuruh pilih tewas dalam pertempuran sebagai pahlawan atau mati dalam keadaan lari. Mereka bertekad kembali melanjutkan perang. Pasukan mendarat dan meskipun banyak korban, akhirnya semua benteng dapat direbut, kecuali benteng istana yang tangguh. Mereka ngeri melihat benteng itu. Ja Pakeh berdoa agar pasukan Malem Dagang dapat merebut benteng yang penuh dengan rintangan itu. Dipimpin oleh Malem Dagang sendiri dengan bantuan Raja Raden dan Panglima Pidie akhirnya benteng istana dapat ditaklukkan [1].

Pasukan Raja Muda kucar-kacir. Yang selamat lari ke gunung-gunung termasuk Raja Muda sendiri. Malem Dagang memerintahkan menyita lima ribu pucuk senapang peninggalan pasukan Asahan untuk dibawa ke kapal. Demikian pula harta rampasan lainnya. Ketika Malem Dagang memasuki ruangan istana ditemuinya seratus orang istri Raja Muda sedang menangis. Malem Dagang memperingatkan para perwiranya agar tidak tergoda oleh wanitawanita cantik itu. Ia mengingatkan bagaimana nasib sendiri kalau kalah perang istri diam bil orang. Malem Dagang menawan permaisuri Raja Asahan yang bernama Putri Keumala Donya. Sesudah tiga hari beristirahat Sultan menyarankan agar perjalanan tidak dilanjutkan. Sebaiknya menunggu Si Ujut dengan membangun benteng di Pulau We [1].

Tetapi Malem Dagang bertetap hati untuk melanjutkan pelayaran ke Malaka. Sesudah tujuh hari permaisuri di laut Raja Muda beserta rakyatnya turun dari gunung.Mereka menyangka semua wanita dibawa pasukan Malem Dagang. Raja Muda masih menemukan istri-istrinya. Hanya Keumala Donnya yang tidak ada. Dengan membawa sejumlah emas dan bawaanbawaan lainnya sebagai tebusan Raja Muda menghadap Malem Dagang di atas kapal. Malem Dagang menolak tebusan. Keumala Donya akan dikembalikan jika Raja Muda mau memeluk agama Islam. Keumala sendiri sebenarnya ingin mengikuti Malem Dagang ke Aceh. Setelah memeluk agama Islam Putri Keumala diminta oleh Malem Dagang untuk mengikuti suaminya yang baru memeluk agama Islam pulang ke Asahan. Sebelum turun dari kapal Putri Keumala memberikan sebentuk cincin kepada Malem Dagang. Cincin itu berkhasiat sebagai pengawet jenazah. Apabila ada orang yang mati dalam peperangan cincin itu dimasukkan ke dalam mulutnya untuk mencegah pembusukan. Dipesannya pula supaya sewaktu-waktu Malem Dagang singgah di Asahan [1].

Armada Malem Dagang melanjutkan pelayarannya, dan tujuh hari kemudian sampai di Malaka. Di Kuala Banang armada Malem Dagang beristirahat. Sultan mengingatkan Ja Pakeh akan pesan Putri Pahang agar tidak membunyikan meriamnya di tempat itu. Pada suatu hari Malem Dagang bertemu dengan ayah Putri Pahang dan sesudah dipertemukan dengan Sultan, ayah Putri Pahang menceritakan tentang kejahatan Si Ujut dan ia bersedia membantu Sultan tetapi beliau menolak tawaran itu. Oleh karena Si Ujut sudah pergi ke Johor Lama, maka Sultan dengan beberapa kapal perang menuju ke sana. Sesampai di Johor Lama meriam dibunyikan tetapi tidak ada balasan dari darat. Ternyata Si Ujut sudah pergi ke Johor Bali dalam rangka persiapan hendak menyerang negeri Aceh. Di pantai Johor Lama Sultan membangun tujuh buah benteng yang kukuh [1].

Sesudah tujuh belas bulan armada Sultan di Johor, armada Si Ujut muncul di Laut Banang. Malem Dagang minta izin kepada Ja Pakeh untuk menyerang. Ja Pakeh menasihatinya untuk bersabar dua tiga hari dan disuruh masuk ke dalam kamar untuk sembahyang dan membaca Quran. Ja Pakeh memerintahkan seorang utusan untuk memberitahukan kepada Sultan di Johor bahwa armada Si Ujut sudah berada di Kuala Banang. Malem Dagang mohon izin dari Sultan tetapi beliau menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada Ja Pakeh. Sesudah. Ja Pakeh memberi izin, Malem Dagang memakai seragam perang lalu mulai menembakkan meriamnya ke arah kapal-kapal Si Ujut, disusul oleh Raja Raden dan Panglima Pidie. Berpuluh-puluh kapal Si Ujut tenggelam. Pasukan Si Ujut tidak menyangka bahwa yang menyerang mereka pasukan dari Aceh. Disangkanya serangan itu datang dari Banang sendiri. Panglima armada itu ialah mertua Si Ujut sendiri yaitu raja negeri Guha bernama Modeulikah. Si Ujut sendiri masih berada di negeri Guha [1].

Sementara itu angkatan laut Malem Dagang terus menyerang. Dalam serangan itu Raja Modeulikah tewas dan banyak kapalnya yang tenggelam. Sisanya sepuluh buah kapal melarikan diri ke Guha. Tak lama kemudian Si Ujut mengetahui bahwa mertuanya telah meninggal. Demikian pula istrinya Putri Beuruhut amat sedih mendengar ayahnya telah tewas. Si Ujut sangat marah dan dengan segera mengerahkan seluruh rakyatnya. Tiga bulan kemudian berlayarlah armada Si Ujut menuju Laut Banang. Sampai di sana mereka mengepung armada Malem Dagang dari segala jurusan. Malem Dagang memberi semangat kepada pasukannya. Perang laut pun meletus [1].

Malem Dagang bekerja-sama dengan Raja Raden dan Panglima Pidie memimpin pertempuran. Sebegitu banyak kapal Si Ujut yang tenggelam sebegitu pula datang yang lain menggantikannya. Berkat doa Ja Pakeh tidak satu pun kapal Malem Dagang yang tenggelam. Panglima Pidie merasa ajalnya sudah tiba. Ia meminta pakaian Ja Pakeh. Pertempuran terjadi di atas kapal. Si Ujut mencari Ja Pakeh. Ketika melihatnya ia terus melepaskan tembakan, ternyata Panglima Pidie yang terkena dan tewas seketika. Sudah tiga bulan perang berkecamuk. Si Ujut mulai kewalahan. Pasukannya lari, hanya tinggal ia sendiri dengan sebuah kapalnya. Malem Dagang naik ke kapal Si Ujut dan berhadapan langsung dengannya. Dengan pedang di tangan ia menantang Malem Dagang. Dalam perkelahian itu Si Ujut dapat ditawan dan dalam keadaan dirantai ia dibawa kepada Sultan [1].

Armada Sultan Iskandar Muda meninggalkan Laut Banang pulang ke Aceh. Ketika ayah Si Ujut yaitu Raja Malaka mengetahui bahwa anaknya sudah tertawan ia pun melarikan diri bersama pengikutnya ke gunung. Sesampai di Asahan Armada Sultan disambut dengan meriali oleh Raja Muda. Sebulan lamanya Sultan beristirahat di Asahan. Si Ujut yang tidak beragama itu dibujuk oleh Sultan supaya memeluk agama Islam tetapi ia tetap menolak. Armada Sultan melanjutkan pelayaran, dan dalam waktu tujuh belas bulan sampailah di Aceh yang disebut Pulau Ruja. Di sana Si Ujut dijatuhi hukuman mati tetapi tiada senjata yang dapat menghabiskan nyawanya. Dia sendiri yang memberitahukan bahwa ia akan mati dengan dimasukkan timah panas ke dalam mulutnya. Dengan cara itulah raja Johor dari Guha itu meninggal. Semua pasukan pulang ke tempatnya masing-masing dan Baginda amat puas dapat mengalahkan musuhnya [1].

Pembukaan Hikayat Malem Dagang sunting

Bismillahirrahmanirrahim

Ajaeb Subhanallah

Tango kukisah raja-raja

Layeue keurajeuen Meukuta Alam

Raja jimeunan lskandar Muda

Pote ade amat sangat

Peutimang rakyat ban sigala donya

Meung rukon meuh muploh kuyan

Han sapeue tan di sroepada [1]

Penutupan Hikayat Malem Dagang sunting

Bujang tatron nyan u pasi

Jak taili u kuala

Jakleh takalon bak ureueng Aceh

Tapeusaheh raja Guha

Beukeusit nyo Si Ujut ka grupeutalo

Bujang kawoe bak kamoe sigra

Dami Si Ujut mee geurante

Han mee kudong le di nanggroe Meulaka [1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t H.K.J. Cowan (1980). Hikayat Malem Dagang (PDF). Jakarta.