Hadidjah Lena Mokoginta

Hadidjah Lena Mokoginta Soekanto (23 Mei 1912 – 1 Maret 1986)[1] adalah seorang pendiri Bhayangkari dan istri kapolri pertama, Soekanto Tjokrodiatmodjo. Ia lahir di desa Kotabangon, Sulawesi. Ayahnya pejabat Rijkbestuur yang dalam bahasa setempat disebut Yogugu sementara ibunya merupakan putri sulung Raja Bolaang Mongondow.[2]

Kiprah sunting

Lena bersekolah di HIS Kotamobagu lalu melanjutkan ke MULO di Tondano, Sulawesi Utara selama enam bulan sebelum pindah ke MULO Pasar Baru. Ketika menginjak kelas dua, Lena pindah ke Christelijke MULO di Gang Menjangan. Di sinilah Lena berkawan dengan Johanna Tumbuan yang kemudian dikenal dengan Jo Masdani. Lena juga bergabung dengan Jong Celebes yang kala itu diketuai Empu Senduk (dr. Senduk).

Ketika organisasi kedaerahan itu difusikan menjadi Indonesia Muda (IM), Lena terpilih menjadi ketua pertemuan tersebut. Di IM, ia akrab dengan Soenarti, yang kemudian hari menikah dengan Soelistio Wironagoro. Soenarti yang mengenalkan Lena pada kakaknya, Soekanto.

Di masa pendudukan Jepang, Lena dan Soekanto tinggal di asrama Sekolah Kepolisian di Sukabumi. Soekanto mengajar di sana. Sementara, Lena bergabung dengan Palang Merah di Rumahsakit Bunut, membantu dr. Abu Hanifah dan mengajar baca-tulis serta keterampilan lain pada perempuan muda buta huruf.

Setelah Proklamasi, Soekanto ditunjuk Bung Karno untuk membentuk polisi nasional yang disebut Jawatan Kepolisian, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dalam karya berjudul Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disusun Awaloedin Djamin dan G Ambar Wulan, ketika ibukota pindah ke Yogyakarta, Kementrian Dalam negeri juga memindahkan kantornya, namun ke Purwokerto. Kantor Jawatan Kepolisian Negara yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga dipindah ke Purwokerto. Soekanto beserta staf memulai tugasnya di sana.

Kebetulan, ayah dari ajudan Kepala Kepolisian Negara Toti Soebianto menjabat sebagai Patih Banyumas yang berkedudukan di Purwokerto. Raden Mochammad Poerwodirejo (ayah Toti Soebianto) kemudian menyediakan tempat untuk dijadikan markas kepolisian negara.

Lena mengikuti Seokanto pindah ke Purwokerto. Seminggu sekali, Soekanto berangkat ke Yogyakarta untuk melapor pada Bung Karno dan Hatta.

Pada Juli 1947, tentara Belanda membombardir Purwokerto. Penduduk kalang kabut, termasuk tentara Indonesia. Lena sendiri terpisah dari Soekanto yang sedang menghadap presiden di Yogyakarta. Lantaran tak memungkinkan bertahan di Purwokerto, ia pun berjalan kaki ke Yogyakarta dan mengungsi dari desa ke desa bersama pembantunya, Mbok Irah.

Dalam perjalanan bersama keluarga Mudang, Lena bersimpati pada Nyonya Mudang, seorang putri Solo, yang harus meniti terjalnya tebing sungai. Namun Lena yang ingin lekas sampai ke Yogyakarta harus meninggalkan keluarga Mudang karena mereka harus beristirahat lantaran Nyonya Mudang sakit.

Wajah Lena yang tak terlihat seperti orang Jawa membuat penduduk suka menanyakan identitasnya selama di perjalanan. Mbok Irah selalu pasang badan dan menjawab dalam bahasa Jawa bahwa Lena merupakan menantunya.

Ketika keduanya sampai di sebuah desa, penduduk sudah mengungsi. Mereka lantas menginap di rumah lurah yang hanya dijaga oleh dua orang suami-istri lanjut usia. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Ketika sedang beristirahat di tepi sungai, Lena dikagetkan dengan kedatangan dua orang pemuda. Karena takut, Lena berusaha sembunyi namun kemudian diteriaki dua pemuda itu.

Di Yogya, mereka tinggal di kediaman Bung Hatta yang sudah ditinggal pergi pemiliknya mengungsi ke Madiun. Lena dan Soekanto mendapat kamar di depan. Alangkah senangnya Lena karena bisa berbaring di kasur setelah beberapa hari berjalan dan tidur tidak menentu.[2]

Pendirian Bhayangkari sunting

Mendengar Kongres Wanita Indonesia akan mengadakan pertemuan pada akhir Agustus 1949, ia langsung bersemangat untuk ikut bergabung. Selain karena keinginannya untuk bergabung dengan perjuangan perempuan, ia menyadari selama masa perjuangan kemerdekaan, bantuan dari para istri polisi masih terpencar dan belum terlihat secara nyata.

Maka, ia merencanakan pendirian organisasi agar para istri polisi bisa ikut turun dalam perjuangan kemerdekaan dengan pembentukan dapur umum dan membantu palang merah. Lena lantas mencarikan nama yang pas untuk organisasi barunya itu. Lena kemudian menemui Profesor Prijono, ahli sastra yang kemudian menjadi menteri pendidikan, untuk minta pendapat. Prijono menjelaskan bahwa Bhayangkara berasal dari bahasa Sansekerta bhayamkara, berarti “yang menyebabkan takut”. Versi feminin dari Bhayangkara ialah Bhayangkari. Namun, Prijono menganggap nama itu kurang elok dan ia bersedia membantu mencarikan nama yang lebih bagus dari Bhayangkari.

Tawaran Prijono tak dituruti Lena karena merasa sudah cukup puas dengan nama Bhayangkari. Terlebih lagi, ia mesti cepat mendirikan organisasi agar bisa ikut hadir dalam Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia yang diselenggarakan akhir Agustus.

Jam 9 malam keesokannya, utusan Prijono datang membawa pesan untuk Lena. Dalam pesan tersebut, Prijono mengatakan bahwa nama Bhayangkari bagus namun Prijono mengusulkan Kemala Hikmah yang berarti permata memancarkan sinar. Usulan nama organisasi ini langsung dirundingkan Lena dengan teman-temannya. Hasilnya, mereka setuju menggunakan nama Bhayangkari. Sementara, Kemala Bhayangkari digunakan untuk menamakan lambang organisasi tersebut.

Lena akhirnya duduk sebagai pelindung organisasi dan mendampingi pengurus harian menjalankan tugas-tugasnya. Struktur organisasi Bhayangkari pun bersifat independen. Ketua Bhayangkari dipilih oleh anggota tidak berdasar jabatan suami di kepolisian.

Lantaran Lena ingin sekali ikut dalam Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia yang diselenggarakan pada 26 Agustus-2 September 1949, Bhayangkari langsung bergabung dengan federasi Kongres Wanita Indonesia. Mereka pun berangkat mengikuti pertemuan perempuan di Yogyakarta dengan dipimpin Nyonya Hafni Abu Hanifah.

Perjalanan yang mereka tempuh tidak mudah. Peserta perempuan yang berangkat dari Jakarta berjumlah 360 orang menggunakan kereta. Tiap kali melewati daerah yang dikuasai Belanda, mereka selalu diinterogasi dan digeledah.

Pendirian Bhayangkari secara resmi dilakukan pada 17 Agustus 1949. Dalam Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia disebutkan bahwa pembentukan Bhayangkari diharapkan dapat mengorganisir perjuangan para istri polisi agar lebih efektif.

Kongres bisa berjalan dengan cukup lancar. Beberapa hasil kongres ialah mengusulkan adanya perlindungan untuk pekerja perempuan. Keputusan ini kemudian dikirim ke delegasi Indonesia untuk diperjuangkan di KMB. Kongres juga menyepakati untuk mengurus keluarga tawanan dan keluarga korban perjuangan, mengadakan protes terhadap perbuatan kejam yang dilakukan tentara Belanda, salah satunya pembunuhan pegawai PMI pengungsi di Solo.

Selain bergabung dengan Bhayangkari, Lena aktif di Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) sebagai bagian seksi hukum pengurus pusat. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial, seperti pendirian Badan Kerja Sama Panti Asuhan (BKSPA).

Keaktifan Lena di Kowani membuatnya dipercaya untuk mewakili federasi menghadiri Conference of Associated Country Women of the World bersama pemimpin Perwari, Nyonya Sophie Sarwono, di Sri Lanka pada 1954. Sepulangnya dari konferensi, ia mampir ke New York, Birma, dan Muangthai untuk menemui tokoh-tokoh organisasi wanita di sana.

Pada 1958, Lena kembali dipercaya mewakili federasi untuk menghadiri League of Democratic Women Federation di Republik Rakyat Tiongkok bersama Sujatin Kartowijono.[3]

Referensi sunting

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-07. Diakses tanggal 2022-05-25. 
  2. ^ a b "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-25. Diakses tanggal 2022-05-25. 
  3. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-25. Diakses tanggal 2022-05-25.