Geostrategi di Republik Tiongkok
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Geostrategi di Republik Tiongkok mengacu pada hubungan luar negeri Republik Tiongkok dalam konteks Geografi Republik Tiongkok. Karena Republik Tiongkok terletak di tengah rantai pulau pertama, negara ini pun menjadi negara yang secara strategis mengawasi dua Garis Penghubung Laut di wiliayah Asia Timur, yaitu selat Republik Tiongkok dan Selat Bashi yang merupakan lokasi vital dalam mempertahankan keamanan dan kestabilan Asia Timur.[1]
SejarahSunting
Geografi strategis Republik Tiongkok pertama kali mulai disadari pada masa Zaman Penjelajahan Bangsa Eropa.[2] Periode ini dimulai ketika Vereenigde Oostindische Compagnie dipaksa keluar dari Penghu setelah menandatangani perjanjian dengan Dinasti Ming yang dimediasi oleh Li Dan dan Zheng Zhilong sebagai penerjemah pada musim panas tahun 1624. Perjanjian ini berisi bahwa Dinasti Ming akan memberikan pasokan sutra dan porselen rutin sebagai ganti produk dari Asia Tenggara dan Jepang bila perusahaan Belanda keluar dari Republik Tiongkok yang dijanjikan oleh Nan Juyi selaku perwakilan Dinasti Ming,[3] Karena Kaisar Tianqi menyatakan bahwa VOC harus keluar dari wilayah Ming, mereka tiba di Republik Tiongkok di tahun yang sama di Anping. Setelah yakin tidak menemukan jejak administratif kekuasaan dari Dinasri Ming di sekitar Republik Tiongkok, mereka pun membangun Kastil Kuno Anping dan menduduki Republik Tiongkok selama 38 tahun.[4] Pendudukan pulau ini dinilai penting bagi VOC karena saat itu Republik Tiongkok digunakan sebagai markas militer dengan lokasi strategis yang bisa menjadi rute perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dan Philipina. Selain itu Republik Tiongkok juga merupakan lokasi ideal untuk dijadikan pusat kegiatan alih muatan untuk kapal-kapal yang melakukan perdagangan laut di seluruh Pasifik [2]
Karena ketakutan atas wilayahi Republik Tiongkok di wilayah selatan yang dikuasai VOC yang strategis akan menggangu monopoli perdagangannya dengan Tiongkok, Fernando de Silva selaku Gubernur Manila mengirimkan Antonio Carreño de Valdes ke wilayah utara Republik Tiongkok yang belum dikuasai oleh VOC pada tanggal 5 Mei dan tiba di Tanjung Santiago pada tanggal 11 Mei. Keesokan harinya, mereka berpindah ke Pelabuhan Keelung dan membangun Benteng San Salvador. Lalu, pada awal tahun 1628, Spanyol memperluas daerah kekuasaanya hingga ke Distrik Tamsui dan membangun Benteng Santo Domingo. Sejak saat itulah, Taiwan dalam beberapa saat dikuasai oleh dua negara penjajah dengan Belanda menguasai wilayah selatan dan Spanyol di bagian utara.[5] Kekuasaan Spanyol berakhir setelah mengalami serangan dari Tahun 1630 sampai di 1641 ke Tamsui sekaligus pemberontakan warga lokal. Mereka meninggalkan Republik Tiongkok pada Tahun 1642 dan Belanda berhasil menguasai Tamsui.[6]
Pada tahun 1662, kekuasaan Republik Tiongkok berpindah dari Belanda ke Koxinga setelah Kastil Kuno Anping diambil alih olehnya. Dia pun membangun Kerajaan Tungning dengan menyatakannya sebagai bagian dari Dinasti Ming yang melawan Dinasti Qing, meskipun secara administratif merupakan kerajaaan independen. Di bawah kekuasaan Zheng Jing, Republik Tiongkok menjadi pusat penyelundupan produk- produk dari dan kedalam Tiongkok sehingga berhasil memonopoli perairan tenggara akibat kebijakan Pembersihan Besar dalam melawan sentimen anti-Qing di Republik Tiongkok.[7]
Pada tahun 1683, saat Dinasti Qing menyerang Kerajaan Tungning pada tahun 1683, Kaisar Kangxi tidak menjadikan wilayah Republik Tiongkok sebagai bagian kekuasaanya karena tujuannya hanya ingin mengalahkan Koxinga. Karena saat itu baginya, wilayah Republik Tiongkok tidak memiliki kegunaan apapun.[4] Potensi strategis ini baru di sadari selah Dinasti Qing berhasil mengalahkan Prancis dalam perang Perang Tiongkok-Prancis.. Kekalahan Prancis ini lah yang membuat Dinasti Qing menyadari potensi strategis dari Republik Tiongkok dan juga memisahkan Republik Tiongkok menjadi provinsi sendiri dari Fujian pada tahun 1885[8]
Daftar pustakaSunting
- ^ Taiwan Army Weapon Systems Handbook Volume 1 Strategic Information and Weapon Systems (dalam bahasa Inggris). IBP USA. 2007. hlm. 61. ISBN 978-1-4330-6195-0.
- ^ a b "Voyages to Ilha Formosa". Taiwan Today (dalam bahasa Inggris). 1 Januari 2003. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ Chin, James K. (2014). "A Hokkien Maritime Empire in the East and South China Seas, 1620– 83". Dalam Amirell, Stefan Eklöf; Müller, Leos. Persistent Piracy: Maritime Violence and State-Formation in Global Historical Perspective (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 98. ISBN 978-1-137-35286-6.
- ^ a b van der Wees, Gerrit (4 Februari 2022). "Was Taiwan Ever Part of China? | Indo-Pacific Defense Forum" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 11 April 2022.
- ^ Tsai, Shih-Shan Henry (2014). Maritime Taiwan: Historical Encounters with the East and the West (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 27. ISBN 978-1-317-46516-4.
- ^ Cauquelin, Josiane (2004). Aborigines of Taiwan: The Puyuma: From Headhunting to the Modern World (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 5. ISBN 978-1-134-49424-8.
- ^ Lee, Fu-lan (2012). "An introduction to the history of Taiwan". Gdańskie Studia Azji Wschodniej (5): 95–105.
- ^ Hung, Katy Hui-wen (20 Oktober 2020). "A gastronomic recounting of the Sino-French War at Tamsui - Taipei Times". www.taipeitimes.com. Diakses tanggal 11 April 2022.