Geostrategi di Taiwan

Geostrategi di Taiwan mengacu pada hubungan luar negeri Taiwan dalam konteks Geografi Taiwan. Karena Taiwanterletak di tengah rantai pulau pertama, negara ini pun menjadi negara yang secara strategis mengawasi dua Garis Penghubung Laut di wiliayah Asia Timur, yaitu selat Taiwan dan Selat Bashi yang merupakan lokasi vital dalam mempertahankan keamanan dan kestabilan Asia Timur.[1]

Sejarah sunting

Geografi strategis Taiwan pertama kali mulai disadari pada masa Zaman Penjelajahan Bangsa Eropa.[2] Periode ini dimulai ketika Vereenigde Oostindische Compagnie dipaksa keluar dari Penghu setelah menandatangani perjanjian dengan Dinasti Ming yang dimediasi oleh Li Dan dan Zheng Zhilong sebagai penerjemah pada musim panas tahun 1624. Perjanjian ini berisi bahwa Dinasti Ming akan memberikan pasokan sutra dan porselen rutin sebagai ganti produk dari Asia Tenggara dan Jepang bila perusahaan Belanda keluar dari Taiwanyang dijanjikan oleh Nan Juyi selaku perwakilan Dinasti Ming,[3] Karena Kaisar Tianqi menyatakan bahwa VOC harus keluar dari wilayah Ming, mereka tiba di Taiwandi tahun yang sama di Anping. Setelah yakin tidak menemukan jejak administratif kekuasaan dari Dinasri Ming di sekitar Taiwan, mereka pun membangun Kastil Kuno Anping dan menduduki Taiwan selama 38 tahun.[4] Pendudukan pulau ini dinilai penting bagi VOC karena saat itu Taiwandigunakan sebagai markas militer dengan lokasi strategis yang bisa menjadi rute perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dan Philipina. Selain itu Taiwanjuga merupakan lokasi ideal untuk dijadikan pusat kegiatan alih muatan untuk kapal-kapal yang melakukan perdagangan laut di seluruh Pasifik [2]

Karena ketakutan atas wilayahi Taiwandi wilayah selatan yang dikuasai VOC yang strategis akan menggangu monopoli perdagangannya dengan Tiongkok, Fernando de Silva selaku Gubernur Manila mengirimkan Antonio Carreño de Valdes ke wilayah utara Taiwanyang belum dikuasai oleh VOC pada tanggal 5 Mei dan tiba di Tanjung Santiago pada tanggal 11 Mei. Keesokan harinya, mereka berpindah ke Pelabuhan Keelung dan membangun Benteng San Salvador. Lalu, pada awal tahun 1628, Spanyol memperluas daerah kekuasaanya hingga ke Distrik Tamsui dan membangun Benteng Santo Domingo. Sejak saat itulah, Taiwan dalam beberapa saat dikuasai oleh dua negara penjajah dengan Belanda menguasai wilayah selatan dan Spanyol di bagian utara.[5] Kekuasaan Spanyol berakhir setelah mengalami serangan dari Tahun 1630 sampai di 1641 ke Tamsui sekaligus pemberontakan warga lokal. Mereka meninggalkan Taiwanpada Tahun 1642 dan Belanda berhasil menguasai Tamsui.[6]

Pada tahun 1662, kekuasaan Taiwanberpindah dari Belanda ke Koxinga setelah Kastil Kuno Anping diambil alih olehnya. Dia pun membangun Kerajaan Tungning dengan menyatakannya sebagai bagian dari Dinasti Ming yang melawan Dinasti Qing, meskipun secara administratif merupakan kerajaaan independen. Di bawah kekuasaan Zheng Jing, Taiwanmenjadi pusat penyelundupan produk- produk dari dan kedalam Tiongkok sehingga berhasil memonopoli perairan tenggara akibat kebijakan Pembersihan Besar dalam melawan sentimen anti-Qing di Taiwan.[7]

Pada tahun 1683, saat Dinasti Qing menyerang Kerajaan Tungning pada tahun 1683, Kaisar Kangxi tidak menjadikan wilayah Taiwansebagai bagian kekuasaanya karena tujuannya hanya ingin mengalahkan Koxinga. Karena saat itu baginya, wilayah Taiwantidak memiliki kegunaan apapun.[4] Potensi strategis ini baru di sadari selah Dinasti Qing berhasil mengalahkan Prancis dalam perang Perang Tiongkok-Prancis.. Kekalahan Prancis ini lah yang membuat Dinasti Qing menyadari potensi strategis dari Taiwandan juga memisahkan Taiwanmenjadi provinsi sendiri dari Fujian pada tahun 1885[8]

Daftar pustaka sunting

  1. ^ Taiwan Army Weapon Systems Handbook Volume 1 Strategic Information and Weapon Systems (dalam bahasa Inggris). IBP USA. 2007. hlm. 61. ISBN 978-1-4330-6195-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-01. Diakses tanggal 2022-04-11. 
  2. ^ a b "Voyages to Ilha Formosa". Taiwan Today (dalam bahasa Inggris). 1 Januari 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-01. Diakses tanggal 12 April 2022. 
  3. ^ Chin, James K. (2014). "A Hokkien Maritime Empire in the East and South China Seas, 1620– 83". Dalam Amirell, Stefan Eklöf; Müller, Leos. Persistent Piracy: Maritime Violence and State-Formation in Global Historical Perspective (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 98. ISBN 978-1-137-35286-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-01. Diakses tanggal 2022-04-12. 
  4. ^ a b van der Wees, Gerrit (4 Februari 2022). "Was Taiwan Ever Part of China? | Indo-Pacific Defense Forum" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-07. Diakses tanggal 11 April 2022. 
  5. ^ Tsai, Shih-Shan Henry (2014). Maritime Taiwan: Historical Encounters with the East and the West (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 27. ISBN 978-1-317-46516-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-01. Diakses tanggal 2022-04-12. 
  6. ^ Cauquelin, Josiane (2004). Aborigines of Taiwan: The Puyuma: From Headhunting to the Modern World (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 5. ISBN 978-1-134-49424-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-01. Diakses tanggal 2022-04-12. 
  7. ^ Lee, Fu-lan (2012). "An introduction to the history of Taiwan". Gdańskie Studia Azji Wschodniej (5): 95–105. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-12. Diakses tanggal 2022-04-12. 
  8. ^ Hung, Katy Hui-wen (20 Oktober 2020). "A gastronomic recounting of the Sino-French War at Tamsui - Taipei Times". www.taipeitimes.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-11. Diakses tanggal 11 April 2022.