Fransisca Fanggidaej

Fransisca Casparina Fanggidaej lahir pada 16 Agustus 1925 dan meninggal pada 13 November 2013 dalam usia 88 tahun. Ia adalah seorang Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang diutus untuk menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia di India dan Cekoslowakia.

Fransisca Fanggidaej
Dilahirkan
Fransisca Casparina Fanggidaej

16 Agustus 1925
Kabupaten Kupang, Hindia Belanda
Mati 13 November 2013 (13-11-2013) (umur 88)
Kewarganegaraan Indonesia
Belanda
Pekerjaan Pejuang, penyiar radio, guru, penerjemah

Masa muda

sunting

Fransisca Casparina Fanggidaej lahir pada tanggal 16 Agustus 1925 di Noelmina, sebuah desa di Takari, Kabupaten Kupang. Ayahnya bernama Gottlieb Fanggidaej dan ibunya bernama Magda Mael. [1] Ayahnya bekerja sebagai kepala pengawas Burgerlijke Openbare Warken dan sering dipanggil dengan julukan "Belanda Hitam" oleh penduduk setempat. [1] Dia dibesarkan dalam budaya Indo dan karena posisi ayahnya maka Fransisca bisa mengikuti pendidikan seperti anak-anak kulit putih. Karena selalu berbicara bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya ia menjadi sangat fasih menggunakan bahasa tersebut. [1]

Karier

sunting

Pada awalnya, Fransisca selalu merasa terusik ketika melihat orang-orang menundukkan kepala dan berjalan jongkok saat memberi hormat kepada orang tuanya. Selain itu, ia juga bertemu dengan beberapa orang yang rasis karena keluarganya memiliki kulit berwarna. Hal itu kemudian mulai membangkitkan kesadaran anti kolonialisme di dalam dirinya sendiri. [1]

Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda Fransisca mulai aktif mengikuti diskusi-diskusi dengan pemuda Maluku di Surabaya, Jawa Timur. Ia kemudian juga bergabung dengan Pemuda Republik Indonesia. [1] Ia juga ikut menghadiri Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan November 1945, dan kemudian bergabung dalam Pertempuran Surabaya . [1]

Salah satu perannya di dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) adalah membentuk sebuah seksi perempuan di Mojokerto, Jawa Timur.[1] Setelah pindah ke Madiun, ia menjadi penyiar di Radio Gelora Pemoeda Indonesia yang berada di bawah pengawasan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. [1] Karena aktivitasnya sebagai penyiar berbahasa Inggris dan Belanda bersama dengan Yetty Zein, ia kemudian dicap sebagai pemberontak dan ekstremis oleh Belanda. [1]

Karirnya sebagai diplomat dimulai pada tahun 1946 ketika ia ditugaskan oleh Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia untuk melakukan safari revolusi pemuda di berbagai negara. [1] Dengan membawa brosur, foto, dan poster yang menginformasikan kemerdekaan Indonesia, ia berkeliling ke India dan Cekoslowakia. Ia sempat menghadiri konferensi Kalkuta pada tahun 1948 dan tercatat sebagai salah satu pembicara. Kemudian ia juga sempat menghadiri Konferensi Bandung pada tahun 1955. [1]

Kehidupan pribadi

sunting

Pernikahan Fransisca dengan suaminya Supriyo yang merupakan seorang jurnalis kelahiran tahun 1920 memberikannya 7 orang anak yaitu Nilakandi Sri Luntowati, Dien Rieny Saraswati, Godam Ratamtama, Nusa Eka Indriya (lahir 1956), Savitri Sasanti Rini, Pratiwi Widantini Matulessy, dan Mayanti Trikarini (lahir 1962). [2] [3]

Putrinya yang bernama Pratiwi kemudian menikah dengan seorang pria Muslim dari Iran bernama Rahim. Mereka kemudian melahirkan seorang putra, Reza Rahadian, yang kemudian menjadi aktor. [4]

Referensi

sunting