Fransiskus Xaverius

Santo dan misionaris Katolik Spanyol (1506–1552)
(Dialihkan dari Francis Xavier)

Santo Fransiskus Xaverius (bahasa Inggris: Saint Francis Xavier, bahasa Latin: Sanctus Franciscus Xaverius, Bahasa Portugis: São Francisco Xavier, bahasa Tionghoa: 聖方濟各沙勿略; 7 April 1506 – 2 Desember 1552) adalah seorang pionir misionaris Katolik dan salah seorang pendiri Serikat Yesus (Ordo Yesuit). Nama komunitas Serikat Xaverian diambil nama dirinya. Gereja Katolik menganggap dia telah mengkristenkan lebih banyak orang dibanding siapapun semenjak Santo Paulus.

Santo Fransiskus Xaverius
Santo Fransiskus Xaverius, salah satu pendiri Serikat Yesus
Lahir(1506-04-07)7 April 1506
Navarro, Spanyol
Meninggal2 Desember 1552(1552-12-02) (umur 46)
Pulau Shangchuan, Tiongkok
Dihormati diGereja Katolik Roma
Gereja Lutheran
Komuni Anglikan
Beatifikasi25 Oktober 1619 oleh Paus Paulus V
Kanonisasi12 Maret 1622 oleh Paus Gregorius XV
Pesta3 Desember

Awal hidup

sunting

Xaverius terlahir bernama Francisco de Jaso y Azpilicueta di Kastel Xavier (dalam bahasa Spanyol modern Javier, bahasa Basque Xabier, bahasa Katalan Xavier) dekat Sangüesa dan Pamplona, di Navarro, Spanyol. Lahir sebagai putera bangsawan Basque di Navarro. Pada tahun 1512, Kastilla menginvasi Navarro. Banyak benteng yang dihancurkan, termasuk kastil keluarga, dan tanah-tanah disita. Ayah Fransiskus meninggal dunia pada tahun 1515.

Pada usia 19 tahun, Fransiskus Xaverius masuk Universitas Paris, di mana dia lulus dengan licence ès arts pada tahun 1530. Dia kemudian melanjutkan studi dalam bidang teologi di kota itu, dan berkenalan dengan Ignatius Loyola. Bersama dengan Ignatius, Pierre Favre dan empat orang lainnya, Xaverius mengikat janji di Montmartre dan membentuk Serikat Yesus pada 15 Agustus 1534, dengan mengucapkan kaul kemiskinan dan kesucian.

Karya misi

sunting

Fransiskus Xaverius mengabdikan sebagian besar dari masa hidupnya bagi karya misi di negeri-negeri terpencil. Karena Raja Yohanes III (Bahasa Portugis: Dom João III) dari Portugal menghendaki agar para misionaris Yesuit berkarya di Hindia-Portugis, maka ia pun diutus ke sana pada tahun 1540. Ia bertolak dari Lisboa pada tanggal 7 April 1541, bersama dua Yesuit lainnya dan Martin de Sousa raja muda yang baru, dengan menumpang kapal Santiago. Dari Bulan Agustus 1541 hingga bulan Maret 1542, ia singgah di Mozambik, dan kemudian mencapai Goa, India, ibu kota koloni Portugis, pada tanggal 6 Mei. Jabatan resminya di Goa adalah Nuncio Apostolik. Tiga tahun berikutnya digunakannya untuk berkarya di Goa.

Pada tanggal 20 September 1542, ia mengadakan perjalanan misinya yang pertama di antara kaum Parava, para penyelam mutiara di sepanjang pesisir Timur India Selatan, sebelah Utara dari tanjung Comorin. Ia kemudian berusaha mengkristenkan Raja Travancore, di pesisir Barat, dan juga mengunjungi Sailan. Tidak puas akan hasil upayanya, di kembali ke Timur pada tahun 1545, dan menyusun rencana perjalanan misi ke Makassar, di Pulau Sulawesi.

Setelah tiba di Malaka pada bulan Oktober tahun itu dan selama tiga bulan menunggu kapal tumpangan ke Makassar yang tak kunjung tiba, akhirnya ia membatalkan tujuan semula dari pelayarannya. Ia bertolak dari Malaka pada tanggal 1 Januari 1546. Pada 14 Februari 1546, ia berlabuh di Hative.[1] Ia kemudian tinggal di pulau itu hingga pertengahan bulan Juni. Setelah itu, ia mengunjungi pulau-pulau lainnya di Maluku, termasuk Ternate dan Moro. Segera setelah hari raya Paskah tahun 1547, ia kembali ke pulau Ambon, dan kemudian menuju Malaka pada 15 Mei 1547.[2] Misi di Ambon ini menjadi salah satu awal sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Selama rentang waktu tersebut, disebabkan kekecewaannya terhadap para petinggi Goa, Santo Fransiskus menulis sepucuk surat kepada Raja Dom João III meminta diberlakukannya Inkuisisi di Goa. Meskipun demikian, inkuisisi Goa baru mulai dijalankan delapan tahun setelah kematiannya.

Pada bulan Desember 1547, di Malaka, Fransiskus Xaverius berjumpa dengan seorang bangsawan Jepang dari Kagoshima bernama Anjiro. Anjiro telah mendengar kabar mengenai Fransiskus pada tahun 1545 dan berlayar dari Kagoshima ke Malaka dengan maksud bertemu dengannya. Anjiro melarikan diri dari Jepang setelah dituduh melakukan pembunuhan. Ia lalu mencurahkan isi hatinya kepada Fransiskus Xaverius, menceritakan riwayat hidupnya serta adat dan budaya tanah airnya. Anjiro adalah seorang Samurai sehingga dapat membantu Xaverius dengan keahliannya sebagai mediator dan penerjemah dalam karya misi di Jepang yang kini tampaknya semakin dapat terwujud. “Saya bertanya [kepada Anjiro] apakah orang-orang Jepang bersedia menjadi Kristen jika saya pergi bersamanya ke negeri itu, dan dia menjawab bahwa mereka tidak akan serta-merta menjadi Kristen, namun terlebih dahulu akan mengajukan banyak pertanyaan lalu melihat apa saja yang saya ketahui. Di atas segala-galanya, mereka akan mencermati apakah hidup saya sesuai dengan ajaran saya… Semua pedagang Portugis yang kembali dari Jepang meyakinkan saya bahwa dengan pergi ke sana saya dapat mempersembahkan lebih banyak pelayanan bagi Allah Tuhan kita, lebih daripada di antara orang-orang India, karena orang Jepang adalah suatu ras yang amat mementingkan akal budi.” Karena diyakinkan sedemikian rupa, Xaverius membaptis Anjiro—dengan nama baptis Paulo de Santa Fe—dan mulai menyusun rencana suatu misi bagi negeri yang belum lama ditemukan itu. Anjiro membantu Fransiskus Xaverius menerjemahkan beberapa paragraf ajaran Kristiani ke dalam fonem Bahasa Jepang yang kemudian dihafal oleh Xaverius.

Ia kembali ke India pada bulan Januari 1548. Selama 15 bulan berikutnya ia disibukkan dengan berbagai perjalanan dan urusan-urusan administrasi di India. Karena tidak senang dengan apa yang dianggapnya sebagai “sikap hidup yang tidak-Kristiani” dari orang-orang Portugis, yang menghambat usaha penyebaran agama Kristen, ia berangkat dari Selatan ke Timur Benua Asia. Ia meninggalkan Goa pada tanggal 15 April 1549, singgah di Malaka dan mengunjungi Kanton dengan ditemani Anjiro, dua pria Jepang lain, Pastur Cosme de Torrès dan Bruder Juan Fernandez. Ia juga membawa serta hadiah-hadiah bagi "Raja Jepang" karena ia beniat memperkenalkan diri sebagai Nuncio Apostolik.

Xaverius mencapai Jepang pada tanggal 27 Juli 1549, namun baru pada tanggal 15 Agustus ia menginjakkan kakinya di Kagoshima, pelabuhan utama provinsi Satsuma di Pulau Kyūshū. Ia disambut dengan ramah-tamah dan dijamu oleh keluarga Anjiro hingga bulan Oktober 1550. Dari Oktober hingga Desember 1550, ia berdiam di Yamaguchi. Tak lama sebelum Natal, ia menuju Kyoto namun gagal bertemu Kaisar. Ia kembali ke Yamaguchi pada bulan Maret 1551 dan diizinkan berkhotbah oleh daimyo provinsi itu. Akan tetapi karena kurang lancar berbahasa Jepang, ia hanya membacakan dengan lantang terjemahan katekismus. Xaverius diterima dengan baik oleh para rahib Shingon karena ia menggunakan kata “Dainichi” untuk Allah Kristen. Begitu Xaverius mendalami makna religius dari kata itu, ia menggantinya dengan kata “Deusu” dari kata Latin dan Portugis “Deus”. Para rahib pun sadar, Xaverius tengah menyebarkan suatu agama tandingan.

Seiring berjalannya waktu, kehadirannya di Jepang dapat dianggap membuahkan hasil yakni dibentuknya jemaat-jemaat Kristiani di Hirado, Yamaguchi dan Bungo. Xaverius berkarya lebih dari dua tahun di Jepang dan menyaksikan lahirnya Yesuit-Yesuit penerusnya. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke India. Dalam pelayarannya itu, suatu badai dahsyat memaksanya untuk singgah di sebuah pulau dekat Guangzhou, Tiongkok tempat ia berjumpa dengan Diégo Pereira, seorang pedagang kaya-raya, sabahat lamanya dari Cochin, yang memperlihatkan padanya sepucuk surat dari orang-orang Portugis yang dipenjarakan di Guangzhou yang minta agar seorang duta besar Portugal diutus kepada Kaisar Tiongkok guna membahas nasib mereka. Selanjutnya dalam pelayarannya itu, ia singgah di Malaka pad tanggal 27 Desember 1551, lalu sampai di Goa pada bulan Januari 1552.

Pada tanggal 17 April ia berlayar bersama Diégo Pereira, meninggalkan Goa dengan menumpang kapal Santa Cruz menuju Tiongkok. Ia memperkenalkan diri sebagai Nuncio Apostolik dan Pereira sebagai duta besar dari Raja Portugal. Tak lama setelah berlayar, ia baru menyadari bahwa surat penunjukannya sebagai Apostolic Nuncio telah tertinggal. Sampai di Malaka, ia digugat oleh Capitan Alvaro de Ataide de Gama yang kini memegang kendali penuh atas bandar itu. Sang capitan menolak untuk mengakui gelar Nuncio-nya, meminta Pereira mengundurkan diri dari jabatannya sebagai duta besar, mengganti para awak kapal, serta menuntut agar hadiah-hadiah bagi Kaisar Tiongkok ditinggalkan di Malaka.

Di awal September 1552, Santa Cruz mencapai pulau Shangchuan di Tiongkok, 14 km jauhnya dari pesisir Selatan daratan Tiongkok, dekat Taishan, Guangdong, 200 km ke arah Barat Daya dari tempat yang kelak bernama Hong Kong. Saat itu, ia hanya ditemani seorang murid Yesuit, Alvaro Ferreira, seorang pria Tionghoa bernama Antonio dan seorang pelayan Malabar bernama Khristoforus. Sekitar pertengahan November, ia mengirim sepucuk surat yang dalam isinya ia berkata bahwa seorang pria sudah setuju untuk membawanya ke daratan Tiongkok jika dibayar dengan sejumlah besar uang. Dengan mengirim pulang Alvaro Ferreira, ia tinggal seorang diri bersama Antonio.

Pada tanggal 21 November, ia pingsan seusai merayakan Misa. Ia meninggal dunia di pulau itu pada tanggal 2 Desember 1552, pada umur 46 tahun, tanpa pernah menginjakkan kakinya di daratan utama Tiongkok.

Awalnya ia dimakamkan di sebuah pantai di Shangchuan. Jenazahnya yang masih utuh dipindahkan dari pulau itu pada bulan Februari 1553 dan disemayamkan sementara waktu di gedung gereja Santo Paulus di Malaka pada tanggal 22 Maret 1553. Sebuah makam terbuka dalam gereja itu saat ini menandai tempat jenazah Xaverius pernah disemayamkan. Pereira tiba dari Goa pada tanggal 15 April 1553, dan tak lama kemudian ia memindahkan jenazah Xaverius ke rumahnya.

Pada tanggal 11 Desember 1553, jenazah Xaverius kembali dibawa berlayar, diangkut dengan sebuah sampan berhias. Peti jenazah ditempatkan dalam sebuah kabin dikelilingi tirai sutera di tengah-tengah lilin-lilin bernyala dan wewangian yang dibakar, diiringi lambaian perpisahan dari seisi bandar Malaka. Ketika melewati selat antara Pulau Penang dan pantai, sampan itu sempat kandas pada gugus pasir namun tiba-tiba bertiup angin kencang yang mendorongnya kembali ke perairan dalam. Setelah singgah sebentar di Sailan, kemudian Cochin, akhirnya jenazah Xaverius tiba di Goa pada tanggal 15 Maret 1554.

Keesokan harinya seluruh masyarakat mengiringi pengantaran jenazah orang kudus itu ke katedral. Peti jenazah dibuka dan setelah 16 bulan isinya masih saja segar. Selama tiga hari dan tiga malam berikutnya masyarakat diijinkan memberikan penghormatan terakhir. Ribuan pria dan wanita menciumi kaki jenazah Xaverius dan banyak mujizat dilaporkan terjadi. Jenazah yang tidak membusuk itu kini disemayamkan di Basilika Bom Jésus Diarsipkan 2007-07-05 di Wayback Machine. di Goa, dalam sebuah peti perak pada tanggal 2 Desember 1637. Peti perak itu diturunkan untuk dilihat oleh umum hanya dalam penyelenggaraan pameran umum Diarsipkan 2005-06-17 di Wayback Machine. yang berlangsung selama 6 minggu, tiap 10 tahun sekali, terakhir kali diselenggarakan pada tahun 2004. Ada silang pendapat mengenai bagaimana jenazah Xaverius tetap utuh sedemikian lama. Beberapa orang berpendapat bahwa jenazahnya telah dimumikan, sementara yang lain menganggapnya sebagai suatu Mujizat.

Lengan depan (siku hingga pergelangan) sebelah kanan, yang digunakan Xaverius untuk memberkati dan membaptis orang, dipisahkan oleh Prefektur Jenderal Serikat Yesus Claudio Acquaviva pada tahun 1614 dan kini dipamerkan dalam sebuah relikuarium (Tempat penyimpanan Relikui) perak dalam gereja Il Gesù,[3] gereja utama Yesuit di Roma.


Pengakuan

sunting

Fransiskus Xaverius diakui sebagai seorang santo oleh Gereja Katolik Roma dan Gereja Anglikan. Ia dibeatifikasi oleh Sri Paus Paulus V pada tanggal 25 Oktober 1619, dan dikanonisasi oleh Sri Paus Gregorius XV pada tanggal 12 Maret 1622, bersamaan dengan kanonisasi Ignatius Loyola.

Sophia University di Tokyo, Jepang didirikan pada tahun 1913 untuk menghormatinya .

Pada tahun 1839, Theodore James Ryken mendirikan Xaverian Brothers, atau Kongregasi Santo Fransiskus Xaverius (CFX). Kini, sebanyak 20 kolose atau SMU merupakan Xaverian Brothers Sponsored Schools (XBSS).

Dia adalah santo pelindung Australia, Kalimantan, Tiongkok, Hindia Timur, Goa, Jepang, dan Selandia Baru. Perayaan peringatannya ditetapkan tiap tanggal 3 Desember.

Banyak gereja di seluruh dunia dinamakan menurut namanya. Salah satunya adalah Gereja Katedral Santo Fransiskus Xaverius, Keuskupan Amboina, Ambon. Basilika Santo Fransiskus Xaverius di Dyersville, Iowa adalah salah satu dari 52 basilika minor di Amerika Serikat dan satu-satunya yang berada di luar kawasan metropolitan.

Ada pula sebuah universitas terkenal di Kanada yang dinamakan menurut namanya di Antigonish, Nova Scotia yakni St. Fransiskus Xaverius University.

Javierada adalah ziarah tahunan dari Pamplona ke Xavier yang dimulai sejak tahun 1940-an.

Xaverius adalah salah satu dari sedikit nama yang dimulai dengan huruf X. Fransiskus Xaverius umum digunakan sebagai nama diri, di Indonesia biasanya disingkat F.X. "Xavier" adalah nama laki-laki yang populer di Portugal, Brasil, Spanyol dan negara-negara berbahasa Spanyol, Prancis dan Belgia. Di Austria dan Bavaria nama ini ditulis Xaver (diucap Ksaber dan kerap mengikuti nama "Francis" yakni Franz-Xaver)

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Heuken, Adolf (2008). Steeinbrink, Karel; Aritonang, Jan Sihar, ed. A History of Christianity in Indonesia. Brill. hlm. 35. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-27. Diakses tanggal 19 Mei 2020. 
  2. ^ Heuken, Adolf (2008). Steeinbrink, Karel; Aritonang, Jan Sihar, ed. A History of Christianity in Indonesia. Brill. hlm. 37. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-27. Diakses tanggal 19 Mei 2020. 
  3. ^ Cappella di san Francesco Saverio Diarsipkan 2011-06-17 di Wayback Machine., at the official web site of Il Gesù. Text in Italian.

Pranala luar

sunting